Senin, 02 Mei 2016


Sumber gambar: kendaripos.co.id

Kadang saya membayangkan hal konyol seperti ini. Ya, andai suamiku kaya raya. Boleh yah kalau saya ikutan berandai-andai juga. Hihihi.

Andai suamiku kaya raya...

Saya ini orangnya sangat perhitungan. Prinsip ekonomi selalu terinstal dalam kepala saya. Bahkan (nggak usah nggumun), setiap saya punya HP, dari jadul sampai smart, hampir semua ada aplikasi perencanaan keuangannya. Ini menandakan betapa pitungnya saya. :D

Saking perhitungannya, saya rela lajo pp rumah-kampus karena dinilai lebih hemat 200 ribu ketimbang ngekos. Inget banget waktu itu ibu menyuruh saya untuk ngekos. Saya langsung beringsut ke kamar, ambil kalkulator. Ngitung, bandingin, dan hey..ternyata lebih hemat lajo euy!

Saya bahkan memilih meng-copy catatan dari teman kuliah ketimbang nulis sendiri. Kenapa? Karena setelah saya kalkulasi biayanya lebih hemat copy buram diperkecil dua kali ketimbang nulis sendiri. Secara harga looslif kala itukian mahal. Belum bolpennya. Alamak, perhitungannya kebangetan! (Catcil; hobi ngopynya jangan ditiru kalau kalian belum tahu cara belajar efektif efisien ala saya :D)

Dengan super duper perhitungannya saya, apa jadinya jika disandingkan dengan yang kaya raya? Sementara, setau saya, orang kaya selalu tidak perhitungan menggunakan uangnya (walau tidak semua).

Setiap kali saya digratisin teman atau rekan makan di restoran, ketika saya tahu berapa harganya, sesungguhnya ada sebongkok rasa 'sayang' disana. Yah, sayang banget jika segelas minuman itu seharga segitu, yang hampir-hampir tidak tega saya menyeruputnya. Gleg.

Saya juga terheran-heran sendiri jika ada teman berduit yang jajan berlebihan. Bahkan hanya jajan di warung pun dia bisa habis 50 ribu, meski dia juga membelikan lauk untuk orang rumah.

Yah, mungkin bagi mereka mengeluarkan uang segitu tidak ada artinya. Tapi, bagi saya, uang segitu setengahnya bahkan bisa untuk makan sehari keluarga kami. Malah, jika dengan lauk yang sederhana bisa untuk beli beberapa macam sayuran dan buah buat stok di kulkas.

Bisa kebayang bukan jika saya disandingkan dengan yang kaya raya? Bukannya bahagia, yang ada malah sebaliknya, karena saya terus terheran-heran dengan gaya hidup mereka. Bahkan sampai geregetan!

Andai suamiku kaya raya...

Dia mungkin akan memanjakan saya dengan barang-barang mewah. Baju mahal, sepatu bagus dan juga tas mewah.

Ngomongin baju, saya jadi teringat saat seorang ibu yang tinggal di dekat tempat saya bekerja dulu pernah menawari saya dan teman-teman untuk membeli baju muslimah pemberian rekan untuk putrinya. Ibu dan anaknya ini non muslim, tapi dia dapat hadiah baju muslimah. "Sebenarnya harganya 500 ribu, tapi bayar aja 300 ribu, Mbak." Kata ibunya.

Dalam hati saya membatin, andaikan baju itu diberikan gratis, saya juga nggak bakalan mau, Buk. Mote-motenya, aihh... Bagi saya, baju seharga 50 ribu atau gamis seharga 85 ribu sudah membuat saya sangat nyaman.

Ingat juga saat acara jumpa pendengar usai, teman-teman sibuk memilih model tas dari sponsor. Saya tidak ikut memilih sendiri. "Kenapa kamu nggak ikut milih?" tanya teman.

"Yang ransel kan udah diambil orang. Kalau tas begituan, hmmm...kayaknya enggak deh."

"Tapi, kan, kamu bisa kasih ke ibu atau yang lain. Mumpung gratis, kenapa gak diambil?"

Ah! Kenapa nggak kepikiran dari tadi. Begitu mau ambil, hanya tersisa satu. Apa boleh buat? :D

Jadi andaikan suamiku yang kaya raya itu membelikan saya dengan baju, sepatu atau tas mahal, bukannya bahagia, saya justru akan merasa aneh. Barang-barang mewah itu sungguh berasa gak matching dengan saya yang ndeso ini. hohoho.

Andai suamiku kaya raya...

Suamiku yang kaya raya mungkin juga akan sesekali menghadiahi saya dengan perhiasan mewah. Apa saya akan bahagia karena ini? Dasar saya yang nyeleneh, dihadiahi itu justru akan membuat saya garuk-garuk jilbab seraya tersenyum garing. Jika wanita pada umumnya sangat menyukai perhiasaan. Saya tidak seperti mereka.

Betapapun indah dan mewahnya perhiasan tak akan mampu membuat saya jadi tertarik karenanya. Bukan saya tidak matre, hahaha. Saya memang tidak suka perhiasan. Mungkin akan berbeda reaksi saya ketika itu diganti dengan uang lalu ditabung buat nambah pundi-pundi saldo saya. Hohoho. Etapi, saya tidak akan masalah jika pakai cincin. Cincin nikah khususnya. :p

Diapun mungkin akan sering mengajak saya traveling ke beberapa tempat, entah di dalam negeri atau luar negeri. Saya memang suka jalan-jalan. Tapi saya sudah terbiasa menikmati pemandangan tanpa dipungut biaya. Hanya duduk di pinggir rawa yang bukan area wisata, ini sudah cukup membuat saya bahagia. Hanya duduk sembari melihat mereka menjajal berbagai wahana, saya bahkan sudah bahagia. Yah, karena bahagia bagi saya itu sangat sederhana.

Seringkali saya jauh-jauh datang ke satu tempat, meski hanya sekadar mampir, saya hanya menikmati pemandangan di luar. Entah karena tiket masuknya kemahalan atau saya harus menaiki bukit untuk dapat sampai ke tempat yang dituju. Terkadang tempat yang letaknya di lembah pun, saya memilih tidak ikut masuk, karena jika mau balik pasti harus menaiki ribuan tangga. Dan kebayang, napas saya jelas akan ngos-ngosan. :D

Bagi orang-orang mungkin akan dinilai sayang ya? Hehe, iya juga sih. Tapi selama ini kan saya lebih menikmati perjalanannya, bukan tempat yang dituju. :)

Andai suamiku kaya raya...

Karena suamiku kaya raya, sudah jelas kemana-mana saya akan naik mobil. Mobil yang bagus dan mewah. Apa saya bahagia?

Kalian tahu, dari semua alat transportasi, saya lebih menyukai naik apa?

Saya bahagia sekali saat naik kereta dan bus. Kenapa? Karena disinilah saya banyak belajar tentang nilai hidup. Saya bertemu dengan beragam orang. Ada yang cuek meski di sebelahnya berdiri seorang nenek. Ada yang perhatian, nyatanya cuma menipu. Ada yang tampilannya bak seorang pegawai kantoran ternyata dia nyopet.

Sembari duduk di dekat jendela, kita juga bisa menikmati pemandangan di luar. Melihat hamparan sawah, perbukitan, bahkan lalu lalang orang di pinggir jalan pun sudah jadi hiburan tersendiri.

Saat duduk seperti ini, bukannya saya ngiri dengan mereka yang naik mobil. Saya malah iri dengan mereka yang naik sepeda. Terlihat damai dan nyaman. Setiap kali mereka mengayuh sepedanya di pinggir jalan, saya akan terkesima. Dan adem rasanya saat melihat suami pergi ke masjid menaiki sepeda dengan payung yang ditali di sebelahnya (jika sewaktu-waktu turun hujan).

Sudah jelas bukan? Dari beberapa alasan yang saya ungkap diatas, rasanya orang macam saya tidak cocok jika disandingkan dengan yang kaya raya. Allah jelas Maha Tahu yang tepat dan terbaik bagi hambaNya.

Alhamdulillah, Dia mempertemukan saya dengan suami yang tidak kaya raya, tetapi (semoga) hatinya selalu merasa kaya. Saya yang perhitungan ternyata juga dipilihkan dengan suami yang sama-sama pengiritan. Sudah pasti saya tak akan geregetan melihat gaya hidup suami yang hobi wisata kuliner di luar sana, karena sifat ngiritnya akan jadi alasan kenapa dia mau makan di rumah. xixixi.

Dari tulisan ini, saya berharap bisa mengubah pandangan istri tentang arti bahagia. Ya, karena bahagia itu sederhana. :)

*sumber gambar : google
Categories:

3 komentar:

Mohon maaf komentarnya saya moderasi. Hanya untuk memastikan ada komentar dan komentarnya sopan. Terima kasih. :)

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!