Sabtu, 27 September 2014



Memilih pasangan yang tepat adalah impian semua orang. Dalam hadits Nabi, ada empat kriteria yang biasanya selalu menjadi pilihan para lelaki bujang ketika ia hendak meminang seorang perempuan. Pertama, karena hartanya, kedua, karena keturunannya, ketiga, karena kecantikannya dan keempat, karena agamanya. Kriteria keempat inilah yang sering diabaikan saat memilih pasangan.

Memilih pasangan bukan hanya sekadar untuk menyenangkan naluri duniawiah saja. Andai kita sadari, betapa perannya sangat kompleks. Meski hanya sebagai pendamping, ia memegang peran-peran penting dalam biduk rumah tangga yang akan kita bangun. Ada ungkapan berbunyi, “Di balik pria hebat pasti ada perempuan hebat (istri).”

Ungkapan ini bukan berlebihan. Nabi Saw pernah didera ketakutan yang berlebihan ketika ia menerima wahyu untuk pertama kalinya. Tetapi istrinya, Khadijah ra, dengan rasa kasih sayangnya ia menenangkannya. Ia-lah wanita pertama yang beriman kepada Allah dan Rasulullah Saw. Ia juga yang mendukung penuh perjalanan dakwah suaminya, Nabi Muhammad Saw.

Istri menjadi penentu dalam membina keluarga yang sakinah mawadah warahmah (samara). Perannya bukan sekadar pendamping, tetapi melebihi pendamping biasa. Dari sekretaris pribadi sampai seorang psikolog keluarga disandangnya. Dari manajer keuangan sampai koki rumah tangga digelutinya. Dari pakar gizi hingga layaknya seorang perawat di rumah sakit juga ikut diperankannya. Bahkan tugasnya makin bertambah ketika ia sudah menjadi ibu. Kelak ia akan menjadi seorang guru sekaligus trainer handal untuk putra-putrinya.

Jika pasangan yang kita pilih tidak bisa menyadari peran-perannya sebagai istri dan ibu, maka impian membina keluarga yang samara bisa hancur dimakan oleh keegoisan. Istri lebih mementingkan karir ketimbang keluarga. Perhatian istri kepada keluarga terkalahkan oleh pekerjaan. Suami terabaikan, anak-anak juga ikut terlupakan. Karena sibuk bekerja, anak-anaknya harus berada dalam asuhan para pengasuh bayaran. Sungguh ironis keluarga seperti ini. Begitulah buntut jika kita salah memilih pasangan. Kita mengabaikan agama karena kepincut oleh kecantikan fisik, kekayaan atau dari keturunan pejabat.

Jangan Hanya Karena Cantik

Adalah wajar jika kecantikan fisik seorang wanita menjadi daya tarik seorang lelaki. Sama halnya ketika dalam memilih pasangan. Siapa yang tidak suka jika istrinya cantik? Kriteria inilah yang biasanya menjadi pertimbangan para lelaki bujang dalam memilih istri. Saat pengurus menyodori foto seorang wanita yang berwajah biasa-biasa saja dan tidak terlihat cantik, apalagi ditambah fisiknya yang agak berisi, biasanya langsung dienyahkan dari perhatian. Padahal boleh jadi si wanita ini memiliki profil hebat untuk dijadikan seorang istri shalihah.

Sebaliknya, ketika disodori foto seorang wanita yang terlihat cantik, dan saat dipertemukan pun juga sama cantiknya dengan yang ada di foto, maka jawaban yang sudah pasti akan diungkapkan kepada pengurus adalah “Ya, saya berkenan dengannya, dan ingin melanjutkan ke proses berikutnya (menikah)”. Tanpa mempertimbangkan bagaimana akhlaqnya, bagaimana kesungguhannya mengaji dan mengamalkan hasil kajian, kita langsung tertarik begitu saja karena melihat wajah cantik si gadis. Padahal boleh jadi si gadis cantik ini walaupun sudah mengaji tetapi pengamalan dari hasil mengajinya masih sangat kurang. Dalam hal penampilan, jilbab yang dikenakan masih mini dengan paduan baju yang ngepas di badan. Dalam hal akhlaq, si gadis ternyata juga tak mempermasalahkan budaya pacaran. Bisa jadi karena kecewa dengan pasangan, atau karena suruhan orangtua si gadis akhirnya mau setor foto dan profil ke pimpinan.

Jika kita beranggapan, “Ah, itu kan hanya masa lalu. Setelah jadi istri, dia akan saya didik dengan baik.” Pada faktanya, mendidik istri tak semudah membalikkan telapak tangan. Rasulullah Saw bahkan mengibaratkan wanita seperti tulang rusuk yang bengkok. Seperti sabdanya, “…Dan nasehatilah para wanita (para istri), karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan sesungguhnya sebengkok-bengkok rusuk adalah yang paling atas. Jika kamu paksa meluruskannya (dengan kekerasan), berarti kamu mematahkannya, dan jika kamu membiarkannya, maka akan tetap bengkok. Maka nasehatilah para wanita dengan baik”. [HR. Muslim juz 2, hal. 1091]

Dalam sebuah lagu, wanita juga diibaratkan seperti kaca yang berdebu. Jika tidak hati-hati membersihkannya, kaca bisa saja pecah. Kita harus benar-benar mempertimbangkan apakah ketika menjadi suaminya kita bisa mendidiknya hingga benar-benar mengikuti aturan Alqur’an dan Sunnah? Apalagi, ia kelak akan menjadi seorang ibu bagi anak-anak kita. Sabarkah kita meluruskan tulang rusuk yang bengkok dengan cara yang amat hati-hati? Jika tidak yakin, maka mundur adalah pilihan tepat. Tetapi jika tetap maju—meski hati didera keraguan apakah istri bisa dididik dengan baik—memutuskan menikahinya adalah keputusan yang terlalu dipaksakan. Bisa jadi dalam membina rumah tangga akan menemui banyak hambatan.

Hambatan yang muncul bisa saja bukan hanya dalam hal pendidikan agama. Kita lihat di luar sana, banyak istri pemalas yang ogah-ogahan memasak di dapur sendiri. Mereka lebih memilih beli di warung untuk makan sehari-hari. Atau jika tidak, jajan di restoran cepat saji atau tempat makan yang merogoh kocek berlebih. Apakah ini akan jadi masalah? Jelas akan menjadi masalah karena pengeluaran sudah pasti akan membengkak. Selain itu, gizi keluarga belum tentu akan tercukupi dengan baik, tidak higienis, banyak kandungan MSG dan sebagainya.

Lain jika istri mau memasak sendiri. Apalagi jika sang istri mengetahui banyak hal tentang masakan dan bagaimana kandungan gizinya, sudah pasti kesehatan keluarga akan terjamin. Anak-anak kita akan tumbuh lincah dan sehat karena tercukupi gizinya. Selain itu, memasak sendiri juga akan menghemat pengeluaran.

Dalam hal mengelola keuangan, istri juga memegang peranan penting. Jika ia tidak pintar mengelola nafkah yang diberi suami untuk mengurus kebutuhan rumah tangga dan cenderung boros, maka yang akan terjadi adalah ia selalu merasa kurang dan kurang dan menuntut tambahan nafkah. Padahal untuk menambah nafkah, suami harus kerja pontang-panting kesana kemari dan belum tentu akan menghasilkan uang lebih banyak.

Lain jika istri yang kita nikahi pintar mengatur keuangan keluarga. Di saat harga bumbu-bumbu dapur melambung tinggi, ia bisa menghemat pengeluaran sehemat mungkin. Ia memahami kondisi keuangan suaminya. Meski dengan nafkah yang sama, ia bisa mengelolanya dengan baik tanpa meminta tambahan nafkah biarpun harga kebutuhan dapur merangkak naik.

Ini baru beberapa hal yang sederhana, tapi efeknya bisa luar biasa besar jika kita tidak bisa sabar mendidik dan menasihati sang istri dengan baik. Maka pertimbangkanlah dengan baik saat kita mencari pasangan. Jangan hanya dilihat dari wajahnya yang menawan atau keelokan-keelokkan duniawinya saja. Tetapi lihatlah bagaimana kesungguhannya mengaji. InsyaAllah, segala sifat dan sikap baik itu akan kita dapatkan jika kita menemukan seorang istri shalihah. Dialah sebaik-baik perhiasan. 

Minggu, 14 September 2014


 Ariyani (bukan nama asli) sampai menangis saat mencurahkan apa yang ia rasakan kepada temannya. Air matanya terus bercucuran ketika ia mengungkapkan bagaimana perasaannya saat itu. Hatinya begitu patah hati saat mengetahui orang yang dicintainya ternyata sudah melamar wanita lain.
Ariyani rupanya salah mengartikan perhatian dari seseorang. Ia kira, orang yang selalu mengirimkan sms dan sering mengirimkan komentarnya dalam setiap update status-nya itu menyukainya. Ternyata ia hanya salah sangka atau bahasa anak mudanya: ke-GR-an. Karena ikhwan itu justru memilih wanita lain untuk menjadi istrinya. Bukan dirinya.
Padahal Ariyani sudah menunggu lama. Ia benar-benar berharap ikhwan tersebut datang melamarnya. Karena menantinya, ia bahkan menolak untuk dita’arufkan dengan ikhwan lain. Tapi yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang, sampai kemudian ia mendengar ikhwan yang dekat dengannya itu sudah mengkhitbah wanita lain.
Apa yang dialami Ariyani ternyata juga menimpa Mahmud (bukan nama asli). Mahmud juga salah mengartikan dari kebersamaan yang terjalin dengan salah satu teman kerjanya. Ia kira, akhwat tersebut menyimpan hati dengannya. Sampai-sampai ia kepedean untuk menunggu si akhwat hingga lulus kuliah. Tapi apa yang terjadi justru lain cerita, karena si akhwat malah dilamar oleh ikhwan lain sebelum ia lulus kuliah.
Ariyani ataupun Mahmud mungkin tak sendiri. Banyak dari sobat muda juga pernah mengalami hal yang sama. Beginilah buntut dari hati yang tidak dijaga. Membiarkan perasaannya membuncah dengan harapan-harapan semu. Lalu  impian indah itu harus dihancurkan oleh kenyataan lain. Dan patah hati menjadi torehan paling menyakitkan jika dibiarkan masuk dalam perasaan.


Menjaga Hati

Sebagai orang yang sudah mengaji, sudah pasti kita tidak akan meniru-niru budaya pacaran yang dilakukan oleh orang pada umumnya. Tetapi rupanya ada “penyakit” lain yang banyak menghinggapi sobat muda, yakni gaya pertemanan yang terjalin antara ikhwan dan akhwat.
Ariyani dan Mahmud mungkin tak sampai mengalami patah hati jika sang ikhwan atau sang akhwat tersebut tidak menjalin pertemanan yang begitu dekat dengannya. Akan lain ceritanya jika mereka tidak mengumbar obrolan meski ini hanya via sms atau chatting di media sosial. Ariyani bisa jadi tidak akan salah mengartikan kedekatan yang terjalin jika sang ikhwan tersebut tidak memberikan perhatian berlebih kepadanya. Mahmud pun begitu. Ia tidak akan ke-GR-an bahkan sampai berani sesumbar kepada temannya jika sang akhwat menyukainya andaikan tidak menanggapi sms atau pesan-pesan di inbox-nya.
Meski ini tidak dinamakan pacaran seperti orang pada umumnya, tetapi menjalin kedekatan seperti kisah Ariyani dan Mahmud tadi akan sangat banyak mudharatnya. Bukan hanya menorehkan luka di hati tetapi bisa juga akan menimbulkan trauma. Lantaran terlanjur mencintai, ia sampai menolak untuk dita’arufkan dengan orang lain karena hatinya yang belum siap menerima jika bersanding dengan yang lain. Bagaimanapun, ia tidak ingin menikah jika perasaannya masih tertaut pada seseorang yang mengisi relung hatinya. Untuk menata hati, melupakan orang yang tak layak dicintai, membutuhkan waktu yang lama dan tidak setiap orang mudah melakukannya.
Entah apakah sang ikhwan atau akhwat memang menyimpan perasaan yang sama, tetapi menjalin kedekatan antara dua insan berbeda jenis ada larangannya dalam Islam. Allah berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” [QS Al-Israa’ [17] : 32]
Allah melarang hamba-Nya mendekati jalan-jalan yang bisa menjurus pada zina. Meski kedekatan yang terjalin hanya sebatas mengirim sms, pesan melalui inbox atau chatting di media sosial, tetapi jika yang diobrolkan bukan sesuatu yang mengandung manfaat melainkan banyak mudharatnya, tentu obrolan macam ini tidak dibenarkan dalam Islam. Syaitan bisa berperan lebih jauh lagi. Tanpa kita sadari, kita telah banyak melakukan kemaksiatan karena jalinan kedekatan seperti ini.
Mungkin kita masih bisa menghalau, tidak sampai melakukan pacaran sebagaimana orang pada umumnya bahkan hingga berbuat zina. Tetapi jika setiap hari sms-an, saling membalas komentar tak kenal henti di dunia maya, chatting di media sosial siang malam, ini jelas akan mengundang banyak sekali mudharat di belakangnya.
Jika ada yang berkilah, “Obrolan kita hanya sekadar saling memberi nasihat atau hanya untuk berdiskusi.”, tetapi kenapa yang sering diberi nasihat dan diajak berdiskusi adalah seorang wanita? Apalagi obrolan ini tidak terjadi dalam forum umum yang memungkinkan orang lain ikut berdiskusi di dalamnya, melainkan ini hanya melibatkan dua insan berbeda jenis saja.
Ingat hadits Rasulullah Saw, “Janganlah salah seorang diantara kalian berkhalwat (berdua-duaan) dengan seorang wanita karena sesungguhnya syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” [HR. Ahmad] Meski berdua-duaan disini hanya lewat media, tetapi obrolan antara dua insan berbeda jenis ini sangat riskan godaan untuk berlaku maksiat.
Memberi nasihat itu merupakan hal yang bagus. Mengajak berdiskusi membicarakan hal-hal yang baik itu juga merupakan hal yang bagus. Tetapi kenapa harus memilih-milih siapa yang diberi nasihat dan diajak berdiskusi? Lebih-lebih yang diajak menjadi teman berdiskusi sehari-hari itu adalah seorang wanita.
Sudah menjadi tugas kita sebagai seorang muslim menasihati saudara kita agar selalu berjalan di jalan yang diridhai-Nya. Tetapi bukan lantas kita memilih-milih siapa yang pantas dinasihati, apalagi jika sasarannya selalu ditujukan pada seorang wanita.
Bukan berarti kita tidak boleh berbicara kepada seseorang yang berlainan jenis dengan kita. Agar tidak terjadi mudharat di belakangnya, kita hanya membicarakan yang sewajarnya dan seperlunya. Termasuk, menghindari pula obrolan-obrolan yang hanya melibatkan dua insan berbeda jenis. Jika terpaksa (karena begitu penting) pembicaraan hanya mencakup yang penting-penting saja dan tidak menambah-nambah obrolan lain yang tidak terlalu penting.
Ini dalam rangka menjaga hati, baik hati kita sendiri maupun orang lain. Agar tidak ada lagi Ariyani-ariyani lain yang salah mengartikan dari kedekatan yang terjalin. Atau Mahmud-mahmud lain yang salah menduga dari sikap terbuka sang akhwat yang seolah-olah memberi ruang kesempatan untuk menjadi pendampingnya kelak.
Jangan sampai apa yang dialami Ariyani dan Mahmud juga mendera kita. Maka, pintar-pintarlah menjaga hati. Mohonlah kepada Allah, agar kita bisa menjaga hati dari perasaan-perasaan yang belum layak masuk hingga relung hati. Karena yang pantas berada disana hanyalah orang yang menjadi pasangan kita kelak yang disatukan lewat pernikahan. Sungguh indah jika kita bisa menjaga hati sampai kita menikah nanti.   
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!