Selasa, 26 Juli 2016



WWL atau Weaning With Love (menyapih dengan cinta), memang tidak asing bagi sebagian besar ibu-ibu modern. Kini, dengan bekal ilmu bagaimana menyapih si kecil dengan metode penyapihan ala WWL, banyak dari mereka memilih metode ini untuk menyapih putra/putrinya yang telah lulus S3 ASI.

Mungkin bagi sebagian ibu yang lain akan ragu mempraktikkan metode ini. "Apa bisa sukses ya?" 
"Bagaimana kalau dia berontak?"
"Emang dia bisa ngerti kalau dikasih tahu kayak gitu?"
"Apa tidak terlalu lembut kalau nyapih dengan cara itu?"
Beberapa pertanyaan ini sering muncul di benak ibu, menambah keraguannya termasuk juga saya dulu. 

Pun begitu, sukses atau tidak nantinya, saya tetap memilih metode WWL untuk menyapih si sulung kala itu. Ya, karena saya tidak setuju dengan metode penyapihan yang biasa dilakukan oleh para orangtua dulu. Alasan pertama, karena membohongi si kecil. Mengatakan 'PD'-nya kena darahlah (karena diberi lipstik), lagi sakitlah (karena dikasih plester), atau ASI-nya jadi pahit (karena diolesi biji mahoni). Kedua, karena itu membodohi. Ketiga, karena memaksa secara sepihak. Dan keempat, saya takut dia justru akan trauma dengan cara pemaksaan ini.

Kunci dari kesuksesan WWL ini adalah ketegasan ibu. Ini kendala umum yang sering dialami oleh para ibu. Ya, karena dia tidak tega akhirnya justru malah molor terus masa penyapihannya. Niat hati dua tahun disapih, sampai umur tiga tahun pun masih ng-ASI. Sounding sih rajin, tapi hanya sekadar sounding tanpa ada ketegasan. "Ya, gimana? Orang kalau dibilangin, dia malah berontak. Nangis terus kalau belum nenen."

Meski menggunakan cinta, bukan lantas kita mengabaikan ketegasan. Tegas bukan berarti galak atau terlalu memaksakan kehendak.

Berikut ini yang saya lakukan ketika saya menyapih anak saya yang pertama.

1. Sounding sejak umur 1 tahun

Saya sudah mulai sounding ke anak saya sejak usianya menginjak 1 tahun. Ini terinspirasi dari artikel seorang ibu yang pernah saya baca. Ibu ini bahkan sudah memulainya sejak usia 6 bulan, ketika si kecil sudah belajar makan MPASI. Saya memutuskan ketika ia berumur 1 tahun, karena di usia ini dia sudah cukup memahami pesan bundanya. Sounding ini semakin sering dilakukan ketika usianya mendekati umur 2 tahun.

2. Kesepakatan bersama yang melibatkan si kecil

Inilah salah satu alasan saya, kenapa saya memulainya ketika dia berumur 1 tahun. Karena proses penyapihan dengan metode WWL harus melibatkan si kecil dalam pengambilan keputusan. Ya, walau saat itu ketika saya pertama kali sounding ke dia sebelum minta nenen, ada reaksi aneh dari mimik muka imutnya. Dia tampak berusaha memahami pesan bundanya. Gurat wajahnya sedikit menunjukkan penolakan. Tapi seiring perjalanan waktu dia akan mengerti.

"Besok Azra kalau sudah umur 2 tahun, sudah tidak nenen lagi lho ya?" Lalu saya ajak dia bersepakat dengan tanda 'tos'.

Saya juga beri pengertian, kalau saat ini sampai 12 bulan ke depan dia masih boleh minta ASI. "Jadi, waktunya masih lama," kata saya setelah menangkap reaksi mimik penolakan. Entah dia sudah paham atau tidak, tapi memberi pengertian ini membuatnya lama-lama memahaminya. 

3. Dipadukan dengan metode janji harus ditepati

Ternyata memadukan metode WWL dengan metode 'janji harus ditepati' sangat pas dan mendidik. Saya selalu bilang setiap kali sounding, "Janji lho, ya. Kalau janji harus ditepati." Karena saat itu anak saya belum bisa pakai tanda janji dengan jari kelingking, akhirnya saya pilih tanda 'tos' saja agar lebih memudahkan.

Metode berjanji ini nyatanya manjur sekali saat saya berusaha mengingatkannya kembali setelah usianya dua tahun pas. Saya gencar mengingatkan janjinya. "Azra sudah umur 2 tahun lho. Azra sudah janji sama bunda kalau sudah umur dua tahun berarti sudah tidak minta nenen lagi. Kalau sudah janji, harus ditepati."


Pas umur dua tahun, ketika malam hari setelah seharian tidak minta ASI, dia bangun tengah malam, rewel. Tidak nagih minta ASI sebetulnya. Tapi dia tetap rewel. Dikasih minum susu UHT atau air putih tidak mau. Akhirnya saya terpaksa nyusuin lagi, tapi tetap mengingatkan janjinya. 

4. Beri tenggat waktu dengan mengajaknya bermain hitungan jari

Ini penting sekali. Memberi tenggat waktu setidaknya memberi pengertian pada si kecil bahwa waktunya semakin lama semakin berkurang. Sebelum nenen saya juga kasih tahu dia jika waktu tinggal sekian bulan. "Azra boleh nenen, waktunya tinggal 10 bulan lagi lho ya." kata saya dengan menunjukkan kesepuluh jari saya.

Lama-lama dia ikutan menunjukkan jari tangannya menirukan gerakan jari saya. Dan dia sangat asyik saat disounding bundanya setiap kali mau nenen. Bahkan dia sudah hafal sendiri saat bundanya baru bilang, "Waktunya tinggal..." Dia sudah menunjukkan jarinya. Cuman lucunya ketika waktunya semakin dekat, dia malah menambah jari tangannya. Hahaha.

5. Melibatkan Ayah, simbah, tetangga dan teman-teman sepermainan

Saya melibatkan mereka ketika usianya sudah menginjak umur dua tahun. Di luar prediksi saya--yang saya pikir WWL-nya akan gagal karena dia malah makin sering minta nenen saat usianya mendekati dua tahun--ternyata dia menepati janjinya. Ketika dia diingatkan bahwa dia sudah berumur dua tahun, dia sama sekali tidak nagih minta nenen.

Ini jelas mengejutkan saya. Karena sebelum ini, nenennya kenceng banget. Bahkan tiap malam dia selalu bangun 3-4 kali minta nenen. Saya pun awalnya ragu jika WWL-nya akan sukses, sampai bilang gini ke suami, "Ini sebenernya niat disapih nggak sih?"

Agar dia makin ingat dengan janjinya, saya libatkan ayahnya, simbahnya, tetangga yang mengenalnya dan teman-teman sepermainan untuk mengingatkannya juga. Semisal bilang, "Wah, kamu udah dua tahun ya? Berarti sudah nggak nenen lagi dong. Kan sudah besar."

Ketika seharian dia sukses nggak minta ASI, saya libatkan 'para pasukan' ini untuk memuji dan menyemangatinya. Saya sebetulnya kasihan dan tidak tega juga. Dia tampak seperti tersiksa terutama saat dia lagi ngantuk. Tapi dia sama sekali tidak nagih. Ya, walaupun saya harus selalu menemaninya bermain--karena dia akan nangis jika ditinggal--dan menggendongnya saat akan tidur. Pas malamnya pun dia hanya minta dielus-elus kaki dan tangannya dengan diolesi minyak telon dan bedak.

Tapi ujian datang saat tengah malam dia mendadak bangun. Rewel terus. Diberi susu uht atau air putih tidak mau. Digendong tetap rewel. Tidak nagih ASI sebetulnya. Tapi karena terus rewel akhirnya saya susuin lagi sambil mengingatkan dengan janjinya. "Kali ini boleh nenen lagi. Tapi besok, Azra harus berusaha untuk nggak nenen lagi. Kan Azra sudah janji sama bunda. Janji harus ditepati."

Paginya, saya lagi-lagi melibatkan 'para pasukan' untuk menasihatinya. "Lho, tadi malam kamu masih minta nenen ya? Kamu kan udah dua tahun. Masa' masih nenen?"

Malam berikutnya, alhamdulillah dia tidak rewel. Kalau bangun dia mau minum susu uht yang disedot. Saya menghindari mengalihkannya dengan dot kempeng karena dia akan sangat bergantung dengan barang ini ke depannya. Apalagi, dot kempeng akan membuatnya merasa nyaman sehingga konsumsi susu akan berlebihan dari batas maksimal yang disarankan. Lebih-lebih saya masih repot untuk menyapihnya untuk kali kedua nanti. Ya, meskipun dengan cara ini sukses bikin tubuh saya pegal-pegal karena harus gendong dia saat lagi tidur siang atau menemaninya saat bermain.

Inilah beberapa hal yang saya lakukan saat menyapih si sulung dulu. Ini sebetulnya cerita lama, karena usianya kini sudah menginjak 3,5 tahun. Yang jelas, menyapih dengan metode WWL jauh lebih mendidik ketimbang metode turun temurun yang justru malah membodohi si kecil. Apalagi, memaksakan penyapihan tanpa pengertian sebelumnya justru dampaknya akan tidak baik ke depannya. Mungkin timbul rasa trauma atau si kecil justru menyangsikan kasih sayang kita. Atau bahkan kita justru menyisipi kebohongan karena kita membohonginya dengan mengatakan 'PD' sakit, berdarah, pahit dsb.

Si kecil kita anak yang pintar, moms. Jangan anggap mereka hanyalah sosok mungil yang dengan mudahnya kita bohongi. Berilah pengertian, dan lihat, betapa mereka mampu memahami pesan kita meski belum lancar berbicara. Semoga bermanfaat.

Senin, 18 Juli 2016



Saya yakin emak erte yang sudah dibuntuti bocil-bocil, suara mereka akan serempak sama saat ada orang yang ngomentari kondisi rumah yang berantakan. "Tolong, dong! Mengertilah..." lirih para emak dengan mimik memelas. Hahaha.

Iyes, betul banget itu. Plis dong, ngertiin dikit! Lagian, siapa sih yang hatinya nggak semumpel kalau kondisi rumah berantakan? Baju numpuk di pojokan, nggak sempet ngelipat apalagi nyetrika. Mana cucian sebak gede masih ngantri di belakang. Lantai kotor, belum sempat ngepel. Kamar mandi lumutan, lagi-lagi nggak sempet bersihin. And the bla, and the blo...

"Emang kerjaanmu apa sih? Toh juga di rumah aja. Cuman jagain anak doang kan?"  

Apahhhh? Cuman? Jagain anak dibilang 'cuman'? *mata melotot niru adegan sinetron* wkwkwk. 

Oke, let see!

Si baby sudah aktif beredar kemana-mana. Baru ditinggal dikit, dia udah ngubek-ngubek isi kolong kulkas yang belum disapu. Nemu sampah, diemut sudah. Hahaha. Nemu kerikil yang piknik di rumah karena diangkut kakaknya, dimasukin ke mulut lagi! Sekali emaknya lengah, mulut sudah terisi potongan kabel. Hah?! Kok bisa?! :p

Belum kalau babynya tipe anak yang gampang rewel. Diajakin yang lain, nggak mau, nangis. Maunya sama emaknya. Tinggal bentar, langsung nangis. 😁😁😂😂

Apalagi saat tiba-tiba kakaknya yang di emperan tetiba nangis, jatuh dari naik sepeda. Dan hanya emaknya lah yang bisa meredamkan tangisnya.

Ditambah kalau pesona emaknya begitu melekat dekat dengan bocil-bocil ini. Mau makan saja, meski kakaknya sudah bisa makan sendiri, seringnya minta disuapi. Kalau nggak emaknya, nekat nggak akan makan. Mandi pun kadang begitu. Mungkin efek: kadang-kadang cemburu pada adik babynya.

Belum kalau efek cemburunya kebangetan. Bisa digempur habis-habisan emaknya. Hahaha. 

Pas lagi imut-imut kalem, eh ternyata si baby lagi pup. Tak lama, si kakak laporan, "Bun, aku mau pup dulu ya?" Agak repot kalau si kakak ini belum bisa ngurus sendiri.

Pas lagi tidur, e...bentar-bentar kebangun. Rewel. Tidur. Bangun. Rewel. Tidur lagi. Bangun. Rewel. #efekrumahdipinggirjalanramai 😂😂

Apalagi jika mereka sudah mulai bereksplorasi. Kalau emaknya ngerjain tugas rumah tangga, si bocils pasti penasaran pingin ngerjain juga. Pas emaknya ngelipat baju, dia coba bantu nata di lemari. Hasilnya? Malah acak-acakan dimana-mana. Hahaha. Ini yang anak tanggap dengan kerjaan emaknya. Yang enggak? Lantai sudah disapu, dia dengan muka polosnya, angkut lagi kerikil dan pasir dari luar. Nggak kebayang, tiap kali bersihin, pasukan pengacak langsung beraksi, lagi-lagi beraksi. 

Hanya sekadar ngurusin bocil-bocil polos nun imut ini saja sudah bikin emaknya pegal-pegal. Capek benar. Serius. 

Belum kalau mereka sakit. Bahkan hanya pilek saja sudah bikin emaknya bermata panda. Haha, lebay. Tapi sumpe lu, dua mata ini jadi kerasa pedes banget karena kurang tidur lantaran di bocil idungnya mampet, nggak bisa tidur.

Bagi kami, bisa masak sehari-hari, nyuci piring, nyapu, nyuci baju atau tugas inti lainnya sudah alhamdulillah banget. FYI, yak. Bahkan untuk ngerjain ini saja kami harus nyuri-nyuri waktu saat mereka asyik bermain atau pas lagi tidur.

So, buat para suami, ibu-ibu yang super rajin bersih-bersih, dan para simbah dimanapun berada, tolong...mengertilah dengan keadaan kami. Kami pun sesungguhnya juga semumpel dengan kondisi rumah yang berantakan seperti ini. Kami bahkan mencoba berdamai, segigih-gigih damai, dengan rumah yang acak-acakan. Agar emosi kami tidak sampai pada taraf meledak-ledak. Mungkin level puncak hanya sampai ngomel-ngomel nggak jelas. Hahaha. :p

Kalau dituntut rumah terus bersih dan rapi, emang mau bayarin ART buat kami? Boleh, kok. Nggak ditolak. Walau kami jelas sangsi, doi betah nggak kerja di rumah kami sementara bocils kami super aktif bin ngerecokin kayak gini. 

So, nggak usah banyak ngomel deh (kayak kami? 😅), cobalah ikuti seperti yang berusaha kami lakukan: berdamailah dengan rumah berantakan. Sekian dan terima kasih. 😁🙋

*Tulisan ini bermanfaat sekali buat para suami, ibu-ibu yang suka bersih-bersih, dan para simbah muda yang hobinya ngomelin kondisi rumah kita. Hanya tulisan nyantai, hihi. Ya, semoga saja mereka demen baca blognya emak erte (walau ngimpi :D). Alhamdulillah kalau saya bisa gantian momong anak dengan suami pas ngerjain tugas rumah tangga. Kan dia kerjanya di rumah. Tapi ya kalau rewel, doi sering badmood, terus akhirnya diserahin ke saya lagi. Xixixi. Alhasil? Rumah tetap berantakan! :D

Rabu, 13 Juli 2016



Saya bukan seorang emak yang suka berfoto selfie. Sejujurnya saya lebih senang memotret orang lain atau pemandangan unik di depan mata ketimbang diri sendiri. Pun begitu, saya akan ikut barisan ketika yang lain ingin mengambil gambar bersama-sama. Saya sendiri lebih senang difoto orang lain ketimbang berselfie, karena lebih terlihat natural. 

Bagi saya pribadi, memotret gambar lewat kamera ponsel itu selalu memiliki kesan tersendiri. Saya biasa mengabadikan sesuatu yang mengandung pelajaran lewat kamera ponsel. Ini bermanfaat sekali untuk pengingat, khususnya bagi saya pribadi. Saya pun bisa menulis artikel di blog atau status di media sosial lewat foto ini.

Dulu ketika kamera HP baru setaraf VGA, saya tetap nekat mengabadikan gambar yang sarat hikmah meski kualitas gambar tak sesempurna kamera ponsel yang sekarang. Tapi disinilah letak syukur itu. Untuk memiliki ponsel berkamera 8 MP, saya harus sabar menabung secara disiplin dan terencana sebesar Rp. 10 ribu per hari selama lebih dari tiga bulan. Rencana awal sebetulnya selama lima bulan, tapi alhamdulillah ada orang baik hati yang memberi sumbangan setengah juta. Jadi tak perlu waktu lebih lama untuk saya bisa membeli HP setelah sebelumnya hilang dicuri orang. Hihihi.

Ya, meski saya bukanlah seorang emak yang pintar mengambil foto dengan angle yang bagus, setidaknya banyak hikmah berharga yang saya dapat dari jepretan kamera ponsel. Berikut 6 pelajaran berharga di balik kamera ponsel.

1. Usaha yang memberdayakan


Ibu-ibu tengah sibuk memotong daun dan akar dari umbi bawang merah.

Tetangga di rumah ibu saya ada yang usaha jual beli bawang merah. Dia tidak menanam sendiri bawang merah, tapi membelinya langsung dari para petani. Lewat foto yang saya ambil usai mengikuti kajian sore tiap hari Selasa itu, tetiba terselip impian saya untuk membuka usaha, usaha yang bisa memberdayakan masyarakat sekitar. Walau sampai sekarang masih dalam angan-angan.

Ya, meski tetangga ibu saya ini hanya menjual bawang merah saat harga bawang naik, tapi setidaknya tetangga sekitar ikut kebagian rezeki. Dari hasil membersihkan umbi bawang dari daun dan akarnya, mereka bisa mendapat uang Rp. 50.000 - Rp. 60.000,- sehari. Setiap sekilo dihargai 500 perak. Dalam sehari mereka sanggup membersihkan bawang merah lebih dari 100 kg.

2. Semangat bekerja di usia senja


Mbah Sati, 85 tahun, masih semangat jualan gethuk dan sawut di pasar.

Namanya Mbah Sati. Usianya sudah menginjak 85 tahun. Di usia setua ini, beliau masih semangat menjemput rezeki. Dengan raganya yang renta, beliau membuat gethuk dan sawut sendirian, lalu menjualnya ke pasar. 
Baginya tetap berjualan gethuk hingga usia senja adalah hiburan. Andai beliau istirahat jualan, mungkin akan enak badannya, tapi sakit pikirannya, begitu katanya. Beliau juga tidak ingin merepotkan anak-anaknya. Bahkan beliau bertekad, sepanjang raganya sehat, ia akan jualan gethuk sak lawase (selamanya). Semangat mbah Sati ini setidaknya menggelitik saya yang terkadang masih malas-malasan saat menjemput rezeki. 

3. Tetap berangkat ngaji di tengah ujian sakit


Seorang ibu hendak menolong ibu Supari yang sakit stroke tapi tetap semangat mengikuti kajian.

Sudah lama ibu bernama Supari ini diuji sakit stroke. Mungkin sudah lebih dari lima tahun. Tapi ada satu yang membuat saya tercekat saat melihatnya berjalan dari rumahnya menuju ke tempat pengajian. Dengan kaki dan tangan kirinya yang terkena stroke, ia tertatih-tatih sembari menyeret kaki kirinya, berjalan sejauh 400 meter dari rumah. Itulah kali pertama saya melihatnya kembali mengikuti pengajian setelah beberapa tahun sebelumnya vakum lantaran sakit. 

Saya makin dibuat berkaca-kaca, saat hari lain ia hadir lagi di pengajian. Dari tempat duduk saya di dekat pintu masuk, saya melihat ia berjalan tertatih sembari mulut terus komat-kamit berdzikir menyebut asma Allah. Awalnya saya sangsi jika ia berdzikir. Mungkin mulutnya memang terlihat bergerak terus karena sakit strokenya, pikir saya.

Saya kepo. Sengaja saya menggeser tempat duduk, mendekat ke arahnya. Subhanallah, memang ia berdzikir. Bahkan dengan lafalnya yang cadel karena sakit stroke. Allahu Rabbiy, betapa saya selama ini sering menyia-nyiakan nikmat sehat ini untuk hal-hal yang tak berguna, bahkan terkadang masih senang mengundur-ngundur waktu shalat.

4. Kasih sayang induk ayam pada anaknya


Seekor induk ayam tetap peduli pada anak-anaknya dengan mencarikan biji-biji padi untuk dimakan anaknya. Sayang, foto diambil setelahnya karena saya tidak sedang pegang HP.

Saat tengah menyuapi si kecil di depan rumah, saya melihat seekor induk ayam bersama dua ekor anaknya tengah mencari bulir-bulir padi yang jatuh di pinggir jalan. Manik mata saya kontan menyipit. Dua alis saling bertaut.

Rupanya saat induk ayam mematuk biji padi, dia tidak hanya makan untuk dirinya sendiri, tapi juga mencarikan untuk anaknya. Biji padi itu dipatuk di paruhnya, lalu diletakkan di dekat anak-anaknya agar dimakan oleh mereka. Terkadang anak-anaknya malah menjauh, nyari makan sendiri. Jika tidak dimakan anaknya, ia akan memakan biji padi itu. 

Subhanallah, betapa Allah menunjukkan pelajarannya lewat makhluk-makhluk-Nya yang bahkan tidak memiliki akal selayaknya manusia. Seekor induk ayam saja dengan naluri ibunya, ia menjaga anak-anaknya, mencarikan makan bagi mereka. Bahkan ia tetap mengutamakan anak-anaknya meski ia sendiri juga butuh makan. Bagaimana dengan manusia sendiri? 

5. Berkat tongsis, akhirnya bisa foto berempat


Berkat tongsis, kami akhirnya bisa komplit foto berempat. Ya, walau hasilnya tetap saja tidak bisa kompak menghadap kamera.

Bagi kami, bisa berfoto bareng berempat itu luar biasa. Apalagi sebelum kami punya tongsis. Kalau minta difotoin orang, kadang ada rasa pekewuh juga. Rikuh kalau mau begaya. Hihihi. 

Sejak kehadiran tongsis di tengah-tengah kami, akhirnya kami bisa foto berempat. Ya, meskipun untuk mengajak anak-anak foto bersama itu susahnya kebangetan. Yang besar terkadang tidak mau melihat ke arah kamera. Yang kecil, kadang rewel atau sering sibuk tengok sana tengok sini. Sekalinya bisa sedikit kompak (yang kecil tetap saja susah mengarah ke kamera), eh malah ibu mertua nongol di belakang. Hahaha.

Pun begitu, kami tetap bersyukur. Setidaknya kami punya kenangan foto bersama, ketika mereka masih imut-imutnya. Lucu juga jika kami yang sering bersama ini, tidak pernah sekalipun foto bersama. Sekalinya bisa foto barengan, eh ternyata sudah tidak imut lagi. Hihihi.

Dengan adanya foto bersama ini membuat saya semakin mensyukuri arti kebersamaan. Ya, bagaimanapun juga kebersamaan ini tidak selamanya, suatu saat nanti, entah kapan, kita semua akan menemui kematian.

6. Mengabadikan tingkah polah hingga tumbuh kembang si kecil


tingkah polah si kecil

Salah satu manfaat memiliki kamera ponsel adalah bisa mengabadikan segala tingkah polah hingga tumbuh kembang si kecil. Karena ponsel itu lebih sering dibawa kemana-mana, jadi kita bisa sigap mengabadikan momen lucu atau saat tumbuh kembang si kecil bisa meningkat ke tahap berikutnya.

Bisa mengabadikan momen berharga ini tentu semakin menambah rasa syukur saya. Beruntung sekali saya sebagai ibu, memiliki banyak waktu untuk membersamai mereka. Foto-foto ini juga akan menjadi pengingat ketika kelak mereka sudah tumbuh besar. 

Saya juga senang mengabadikan momen saat mereka tengah asyik bermain bersama teman-temannya. Hasil dari kepoin mereka, biasanya saya malah mendapat ide untuk menulis artikel di blog atau berbagi status di sosial media.

Baca juga : Beri Kesempatan Si Kecil Memecahkan Masalah

Inilah beberapa pelajaran berharga di balik kamera ponsel. Bagi saya, mempunyai ponsel berkamera sudah jadi kebutuhan yang harus diutamakan. Agar foto terlihat bagus dan jelas, tentu memiliki ponsel dengan kamera yang bagus adalah dambaan semua orang, khususnya saya. 

Hanya terkadang, kendala minimnya dana yang jadi penghalang. Bersyukur sekali Mak Uniek mengadakan GA yang hadiahnya HP macam Zenfone Laser 2. Meski belum tentu jadi pemenang, tapi kita semua yang ikutan berhak ngimpi punya Zenfone 2 Laser ZE601KL atau punya Zenfone 2 laser ZE550KL, smartphone keren dari ASUS.

Dilansir dari situs asus.com, ZenFone 2 Laser dilengkapi kamera belakang PixelMaster 13MP dengan apertur lensa f/2.0 yang mampu mengambil foto indah dengan resolusi tinggi tanpa shutter-lag. Kamera belakang ZenFone 2 Laser (ZE550KL) memiliki teknologi otofokus laser untuk gambar yang lebih jernih. Laser di ZenFone 2 Laser mampu mengukur jarak dalam kecepatan cahaya dan menerjemahkan fokus hanya dalam waktu 0.03 detik, terutama di kondisi minim cahaya. Otofokus laser juga bisa mempercepat proses foto close up, dan dibantu pergerakan lensa saat memotret obyek yang lebih jauh.

Mode PixelMaster backlight (Super HDR) secara otomatis mengambil banyak gambar dan memprosesnya menggunakan teknologi ASUS Pixel Enhancing. Ini membuat rentang dinamis meluas sampai 4 kali untuk menghasilkan gambar akhir yang 400% lebih terang, ditambah warna dan detil yang lebih baik, untuk memastikan foto yang Anda ambil dengan cahaya latar yang kuat tetap terlihat alami.

Ini jelas bermanfaat banget untuk saya yang senang mengabadikan momen-momen unik yang sarat akan pelajaran, oleh-oleh dari mengamati sekitar. Apalagi Zenfone 2 Laser ZE550KL ini juga dilengkapi dengan kamera depan 5MP. Mupeng banget kan? Ya, walaupun sampai sekarang ini baru boleh ngimpi dulu. Hehe. 

Yang jelas, betapapun itu, ponsel dengan pixel kamera berapapun, jika kita memanfaatkannya untuk kebaikan atau hal yang bermanfaat lainnya, insyaAllah akan ada keberkahan yang menyertainya. Berkah tak melulu karena kita mendapat hadiah, bisa mengubah orang yang melihat jepretan foto kita, itu sudah menjadi nilai tersendiri, terutama di mata-Nya. Amiin.

Tulisan ini diikutsertakan untuk 'Giveaway Aku dan Kamera Ponsel by  uniekkaswarganti.com'

Minggu, 03 Juli 2016



Hari Raya Idul Fitri tinggal sebentar lagi. Inilah hari yang paling dinantikan oleh umat Islam di penjuru dunia. Setelah sebulan berpuasa, diuji dengan haus dan lapar, lengkap dengan ujian-ujian lain yang menyertainya, umat Islam di hari nan fitri itu merayakan kemenangan.

Tampaknya kebahagiaan itu tak selalu mengekor usai menunaikan shalat Idul Fitri. Sudah jadi budaya, selepas shalat I'd, kita akan bersilaturahim dari tetangga ke tetangga, kerabat ke kerabat. Kita pun saling berkumpul bersama sanak saudara dari keluarga besar. Di sinilah sesungguhnya hati kita diuji. Terutama saat menghadapi serbuan pertanyaan dari mereka yang kepo dengan keadaan kita.

Semisal, "Kapan nikah?", bagi mereka yang jomblo. Atau, untuk mereka yang belum dikaruniai momongan akan ditanyai, "Udah isi belum nih?".

Buat mereka mungkin terasa ringan, tapi belum tentu bagi yang ditanyai. Boleh jadi itu terasa getir, apalagi saat kerabat lain mulai nyerocos asal, "Nunggu apa lagi sih? Entar keburu jadi perawan tua lho!" Atau, "Kok lama amat sih? Nggak pintar bikin anak suamimu itu." Bahkan, ada yang lebih kepo akut, "Emang udah periksa belum sih? Siapa yang masalah?"

Siapa yang nggak baper ketika diuji dengan pertanyaan ini? Mungkin hanya segempil saja. Tidak semua bisa tegar dengan rentetan pertanyaan, yang bahkan kita tidak tahu jawabannya.

Betapapun kita menggugah mereka dengan nasihat bijak atau sampai memelas, "tolong mengertilah". Bagi mereka, kepo tetaplah kepo. Ya, karena penasaran mereka sudah tingkat stadium lanjut hingga tak menyadari jika pertanyaannya amat menyinggung perasaan. 

Untuk itulah, kita lah yang harus menyiapkan hati dan pikiran yang lapang saat serbuan pertanyaan dilayangkan kepada kita. Ada beberapa alasan, mengapa kita tak boleh baper dengan rentetan pertanyaan itu.

Pertama, memang dasarnya mereka yang kepo. 


Naluri manusia itu memang selalu penasaran, khususnya dengan hidup orang lain. Jujur ya, saya pun terkadang ingin tahu alasan mengapa mereka belum dikaruniai momongan. Apa jangan-jangan karena gaya hidupnya yang tidak sehat. Atau karena sebab lain. Ya, meski itu hanya sebatas di batin. Perbedaan mereka dengan kita, mungkin karena kita lebih memahami perasaan pada yang ditanyai. Makanya nggak ikutan nanya rese ini-itu yang justru malah menyinggung perasaan. Karena mereka ini golongan kepo akut yang ceplas-ceplos bicara, nggak heran mereka menganggap enteng-enteng saja saat nanya ini nanya itu, komentar begini komentar begitu.


Kedua, apapun keadaan kita akan selalu dikepoin. 


Apa dikira setelah menikah, mereka nggak akan nanya-nanya yang bikin baper lagi? Setelah nikah ya otomatis mereka akan nanya, "Udah isi belum?" Betapapun sudah nikah lima tahun, belum juga dikarunia momongan, ada saja yang nanya polos kayak gini, "Lama banget? Emang sengaja nunda atau apa sih?" Saya yang emak berbocil dua begini, juga bakalan jadi sasaran tanya, "Udah bisa apa? Hah, masa' delapan bulan belum merangkak juga? Padahal anaknya si A sudah bisa trantanan?" Hihihi.

Ketiga, terlalu ke-GR-an. 


Kadang ya, kita gampang baper karena terlalu kegedean rasa. Mereka memang tulus nanya, "Kapan nikah?" Tapi reaksi kita malah berlebihan. Hanya terlihat seperti sedang memandang aneh ke kita saja, kita sudah menyana-nyana nggak jelas, "Pfff, kok aku dilihatin aneh kayak gitu? Apa karena aku lama belum punya anak?" Padahal bisa jadi mereka memandang obyek yang lain, makanya pandangannya aneh. Atau jangan-jangan karena kita sendiri yang merasa aneh? Jadi, jangan terlalu ke-GR-an. 

Keempat, banyak teman senasib. 


Nggak usah sakit hati kalau kita ditanya ini itu. Anggap saja kita selebritis. Hahaha. Lagian ya, banyak kok teman senasib di luar sana. Bahkan, betapapun keadaan kita nyaris tak ada yang perlu dikepoin, masih ada saja yang dikorek-korekin. Termasuk saya juga. Dulu pas anak pertama, mereka kepo dan coba bandingin tumbuh kembang anak dengan anak yang lain. "Kok, belum bisa bicara sih?" Ya, karena kemampuan motorik kasarnya yang lebih dulu maju, sebelas bulan sudah bisa jalan. "Itu anaknya si fulanah saja sudah lancar bicara, kok anakmu ngomong nggak jelas gitu?" Lah? Padahal lebih tua setahun dari anak saya, hahaha. 

Sekarang, anak saya yang nomor dua sudah sepuluh bulan, belum bisa berdiri, baru sebatas berdiri sambil pegangan. Itupun belum kuat benar. Apalagi dia nggak mau merangkak, tapi melata. Hahaha. Nah, pas momen kumpul lebaran, saya harus siap jika para bianger kepo itu pada nanya aneh, "Kok, belum merangkak juga? Masa' sepuluh bulan baru bisa ndlosor-ndlosor gitu? Padahal anakku saja lima bulan udah bisa begitu lho!" Tuh, kan? Saya pun senasib dengan kamu, mblo! :D

Untuk itulah, nggak usah dibikin baper gitu deh ah! Perlu bekal hati seluas samudra dan pikiran selonggar jalan Jakarta (pas ditinggal mudik), untuk ngadepin serbuan pertanyaan mereka. Dan kita harus menangkal balik serangan mereka agar mereka jadi malas nanya rese lagi. Gimana caranya?

1. Dibikin nyantai sajalah

Kalau seumpama mereka kepo, kapan nikah? Jawab saja, "Kok nanya kapan sih? Aku aja nggak tahu. Bantu cariin gimana?" Atau kalau mau yang lebih suit lagi, jawab saja begini, "Di jam, hari, tanggal dan tahun yang masih dirahasiakan oleh Allah. Doakan ya, semoga segera ketemu. Atau, mau bantu nyarikan? Biar aku lekas ketemu jodohku."

2. Minta didoain

Setiap mereka nanya, udah isi belum. Jawab saja, "Belum nih. Doain ya. Semoga segera isi." Lah, mereka komentar sok tahu gitu? Ya, balas saja, "Waduh, aku no comment aja deh. Yang penting doanya." Sambil melipir cuek, berburu makanan di meja. Hihihi.

3. Disenyumin

Setelah minta doa, disenyumin saja lah mereka. Senyum tulus selebar daun jati atau sepanjang daun pisang. Biar mereka jadi cles gitu, sampai nggak tahu mau nanya apa, saking terkesima dengan senyum kita. Wkwkwk, emang senyum manjur untuk melelehkan biangers kepo? :D Hihi, yang jelas, nggak rugi kalau kita tersenyum. Sabda Nabi Saw, senyum itu sedekah. :)

4. Kalau perlu dijelasin dengan ilmu

Ini penting, khususnya untuk para emak saat ditanya tumbuh kembang si kecil. Kalau mereka coba bandingin dengan anak lain, jawab saja dengan ilmu yang kita ketahui. Apalagi kalau yang dibandingkan beda umur, kan nggak lumrah. Kalau seandainya ada yang nanya, "Kok anakmu kurus gitu? Itu kurang gizi. Emang minumnya apaan? ASI doang? Kurang berarti. Tambahin sufor gitu kek!" Di saat begini, kemampuan sebagai emak-emak pro ASI diuji. Nah, jawaban sesuai ilmu adalah yang paling tepat untuk menangkis serangan mereka. Tapi, tetap yang santun ya. Kalem saja, nggak perlu pakai nyolot kayak mereka. Hihi.

Semoga membantu ya. Yang jelas kalau kita menyikapinya dengan positif insyaAllah nggak akan nyesek di hati kok. Ya, walau saya akui, ini bukanlah hal yang mudah. Demi kesehatan hati dan pikiran, tetaplah berprasangka baik. Anggap saja, mereka kepo karena peduli. Biar nyesek, yang penting nggak bikin misek-misek. Hihi.

Saya pribadi merasa terbantu, karena kehadiran dan dukungan suami. Dulu sebelum dikaruniai baby, mereka kepo nanya. Suami yang jawab nyantai, "Belum. Doain ya." Kalau sekarang, mereka kepo tumbuh kembang si kecil. Kadang diketawain. Saya biasa meredamkannya dengan dibuat lucu-lucuan sama suami. Kalau kamu? :)
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!