Minggu, 23 Juli 2017




Ini sudah ketiga kalinya aku melewati gang yang sama saat pertama kali belok dari Jalan Raya tadi. Motor matic warna putih yang kutunggangi melaju lambat. Kornea mataku mengitar kanan kiri, menyisir kembali rumah demi rumah yang dilalui. Hasilnya? Tetap saja nihil. 

Motor Vario itu terpaksa berhenti. Tepat di depan mushola tanpa halaman yang masih sepi. Tatapan penasaran beberapa orang yang duduk santai di emper rumah saat sore hari membuatku enggan untuk melanjutkan pencarian. 

Kutarik slayer motif batik itu hingga di bawah hidung. Ingatanku mencoba berkelana saat aku berangkat bersama suamiku--yang menaiki motornya sendiri--pagi tadi. Aku mendengus sebal. Jangankan rute jalan yang dilewati, bagaimana ciri rumahnya saja aku bahkan tak bisa mengingatnya. Ugh, payah!

Tanpa turun dari motor, tanganku merogoh smartphone dari saku jaket LDK yang kubiarkan resletingnya terbuka. Belum kugeser layarnya, sontak aku mendesis kesal. Apa-apaan ini? Istri mana yang nomor suaminya sampai tak ada di kontak hpnya? 

Beuh... Aku membuang napas frustasi. Kubenamkan wajah ovalku ke spidometer motor. Pasrah.

***

"Yakin? Nggak diantar ke kampus, Dek?" tanya suamiku saat motor kami  berhenti setelah keluar dari gang masuk kampung pagi tadi. Hanya sekadar memastikan lagi.

Aku menoleh ke arahnya. "Enggak usah, Mas. Aku udah biasa motoran sendiri kok. Mas nggak perlu khawatir," jawabku dengan senyum terkulum, meyakinkannya lagi. Aku tahu, ia mungkin khawatir jika aku sampai tersesat jalan. Tapi aku paham, ia juga punya kesibukan sendiri. Lagipula, toh arah kampus kami memang berlainan, tidak sejalur. 

Ya, kami baru saja menikah hari kemarin. Pernikahan yang kilat dengan proses se-ekspres mungkin. 

Seminggu lalu aku dibuat terhenyak saat Ustadz Burhan menelponku. Kata beliau, ada seseorang yang ingin ta'aruf denganku. Hari itu juga.

Aku kontan kelabakan. Usai jam mata kuliah jurnalisitik selesai, kugeber motor matic itu ke rumah ustadz Burhan di Solo Baru. Dari kampusku di Kentingan, hanya butuh waktu 20 menit untuk sampai ke sana.

Tanpa sempat membasuh muka atau sekadar membenahi jilbab, aku bertemu dengan lelaki itu. Aku tak peduli bagaimana penampilanku. Mungkin kulit langsatku diluluri debu dan asap kendaraan.

Pandanganku masih tertunduk. Jantungku berdetak tak karuan. Kaki dan jemari tanganku sedikit gemetar. Napasku seakan tertahan.

"Lihatlah dia, Azalea. Jangan menunduk terus. Saat begini, kamu boleh melihat calonnya," ucap Ustadz Burhan yang duduk di sebelah lelaki itu memecah kebekuan.

Aku menarik napas dalam. Kuberanikan untuk memandang lelaki yang duduk di sofa, tepat di depanku. Tatapan kami seketika bertemu. Seutas senyum tersungging dari sudut bibirnya. Aku balas dengan senyum malu-malu, lalu kembali menunduk agar rasa nervous itu tidak berlarut-larut menjalar di sekujur tubuh semampaiku. Entah mengapa, hanya sekali pandang hatiku langsung melumer. Mungkin warnanya sudah berubah menjadi merah jambu.

Aku tidak mengenal lelaki berjenggot tipis itu. Kata Ustadz Burhan, ia tahu saat melihatku muncul di televisi dakwah sebagai reporter yang mewawancarai jama'ah pengajian Ahad Pagi. Itulah kali pertama aku ditugaskan di sana setelah sebulan sebelumnya menjalani masa training. 

Namanya Wafi Alfiras. Dosen muda di Fakultas Ekonomi sebuah universitas Islam di Solo. Umurnya baru 27 tahun. Dari perawakannya, ia terlihat lebih muda dibanding usia aslinya. Kulitnya putih bersih, potongan rambut cepak dengan belah samping dan kemeja lengan pendek warna biru tosca dipadu dengan celana bahan warna hitam membuatnya sepintas seperti anak kuliahan.

Aku hanya diberi waktu empat hari untuk mempertimbangkan ta'arufnya. Ia memberiku segepok proposal berisi profil pribadi beserta visi misi saat menikah nanti. Sejak awal, hatiku sudah condong dengannya, apalagi setelah istiharah, keyakinan itu makin bertambah. Ya, aku memilihnya.

Dua hari kemudian ia beserta keluarganya dari Purwakarta melamarku. Dan secara mengejutkan, ayahku langsung menikahkan kami hari itu juga begitu tahu saksi dari pihak calon suami maupun istri sudah lengkap dan mahar juga sudah siap. Ayahku memang tegas soal ini, beliau tidak mau menunda-nunda untuk segera menghalalkan.

Karena kami sama-sama ada ujian semester esok hari, ba'da Isya ia langsung memboyongku menaiki maticku dari Sragen menuju rumahnya di Kartosura. Rencananya kami baru mendaftarkan pernikahan dua hari kemudian setelah sama-sama tidak ada jadwal ujian. 

"Dek..." Lelaki dengan motor Vixion warna merah itu membuyarkan lamunanku. "Semoga lancar ujiannya ya," katanya mengulang seperti yang sudah ia katakan di rumah tadi. 

Aku tersenyum, lalu mengangguk. "Semoga Mas juga," ucapku kepadanya. Ya, meskipun ia tidak ikut ujian, hanya sebagai dosen yang menjaga ujian.



Jalan dari arah barat tampak lengang.  Aku segera menaikkan gas motor setelah sebelumnya mengucap salam kepada suamiku. Matic kesayanganku lantas melenggang ke arah timur. Dari balik kaca spion, kulihat ia belum beranjak juga. Ia masih mengamatiku, seakan berat membiarkanku berangkat sendiri. 

***

Aku membuang napas melalui mulutku hingga memperlihatkan bibir tipisku agak maju ke depan. Kubenahi posisi dudukku agar tidak terasa pegal karena terlalu lama duduk. Kusandarkan tubuh kuyu itu ke dinding tembok teras mushola. Sesekali kulirik smartphone di tanganku. Belum juga ada balasan. Aku hanya bisa meninggalkan inbox di akun Facebook suamiku yang sudah meng-add friend seminggu yang lalu. 

Aku mendesah pelan. Sudah sejam aku duduk di sini. Mungkin tiga perempat jam lagi, mushola ini akan ramai dijejali jama'ah yang hendak menunaikan shalat Maghrib. 

Sepasang kaki dengan celana bahan warna hitam berdiri di sampingku. Aku perlahan mendongak, menelusuri tubuh tingginya hingga sampai ke wajah. Aku terpana. Iris mata meneduhkan itu masih menyiratkan segumul kekhawatiran di sana. Ada kelegaan dari gurat senyumnya. 

Ia duduk di sampingku. Tangan kokohnya meraih tanganku lembut. Digenggamnya jemariku erat. "Maaf ya, Dek. Aku seharusnya tidak membiarkanmu berangkat sendiri tadi pagi."

Aku masih mematung dengan perlakuan romantisnya. Senyumnya merekah. "Seharusnya kalimat pertama yang kutanyakan padamu selepas halal adalah menanyakan nomor hpmu, Dek Azalea."

Apa dia sedang mencoba becanda? Ah, benar. Momen romantis itu seketika buyar ketika kulihat lelaki di sampingku ini tengah menahan tawanya.

-selesai-

*cerpen ini dimuat di Majalah Al-Mar'ah edisi Juni 2017. Rubrik cerpen majalah ini cocok buat penulis pemula. Silahkan kirimkan cerpen bertema Islami. Panjang naskah sekitar 800 - 1000 kata. Kirimkan ke email muslimahmta@yahoo.com atau almarahsholihah@gmail.com. Jangan lupa sertakan nomor hp agar jika dimuat dapat kabar. 

*cerpen terinspirasi dari kisah saya sendiri : Uniknya Menikah Tanpa Pacaran

Senin, 15 Mei 2017




Rasanya telinga saya sudah terlampau panas dengan curcolan orang-orang. Dan yang paling kaget buat saya, suami yang (maaf) sampai selingkuh ini saya mengenalnya sebagai suami yang baik dan bahkan ada juga yang terlihat alim.

Rasanya saya ikut merasakan sakit ketika seorang teman menginbox saya.  Kala itu dia bilang dia suka dengan tulisan saya berjudul, "Maklumilah Istrimu yang Tak Sempurna."

Dalam hati saya sudah menangkap ada yang janggal ketika dia komen begitu di inbox. Apa ada masalah dengan suaminya? Tapi saya ragu. Saya juga kenal suaminya. Saya tahu dia baik bahkan tipikal orang yang tak mudah berpindah ke lain hati. Sampai kemudian tanpa saya tanya, dia sudah curhat sendiri. Hal yang membuat saya sakit, dia yang kala itu dalam keadaan hamil ditinggal suaminya karena kepincut dengan wanita lain, rekan sekantornya. Dan lebih memilukan lagi, dia harus melahirkan tanpa didampingi suami. 😭😭

Suami dari si fulanah yang saya kenal juga selingkuh dengan rekan kerjanya. Saya tidak terlalu mengenal suaminya. Tapi sejauh yang saya tahu, dia ini kalem. Nggak nyangka jika dia sampai begini. Yang tambah miris, dia sudah ikut mengaji di majlis ilmu, bahkan sudah tergabung dalam kajian khusus yang anggotanya hanya orang-orang tertentu saja. Na'udzubillah min dzalik.

Dia sampai dikeluarkan dari tempat ngajinya. Sudah dikeluarkan pun, dia masih setia dengan selingkuhannya. Dan yang membuat saya heran beribu heran, istrinya masih setia bersamanya meski di rumah tak saling sapa hingga bertahun-tahun. Mereka akhirnya bercerai baru-baru ini.

Dan kisah ketiga dari suami teman yang saya kenal juga. Saya lebih kaget dengan si suami ini. Padahal, saya selalu memuji semangatnya ikut andil dalam perjuangan dakwah jika saya mengobrol dengan suami saya. Dengan istrinya pun saya menaruh takjub karena dia terlihat pintar mendidik anak-anaknya. Sampai saya dibuat terhenyak dengan kabar perselingkuhan suaminya dengan rekan kerjanya. Dia bahkan langsung dikeluarkan dari tempat ngajinya begitu ketahuan.

Saya sedih sekali jika mendengar curcolan macam ini. Ini terlampau menyakitkan. Sakit kebangetan. 😭😭 Andai suami model beginian ada di depan saya, mungkin sudah saya siram dengan air comberan. Biar dia nyadar, kalau air comberan itu baunya nggak enak. 😣😀

Saya tahu lingkungan kerja itu seperti apa. Dalam lingkungan kerja, kita dituntut untuk kerja secara tim. Karena kerja secara tim, besar kemungkinan mereka yang lain jenis sekalipun akan akrab satu sama lain. Dari modus pertemanan sesama rekan kerja membuat jalinannya semakin dekat. Obrolan dari seputar pekerjaan lama-lama melebar ke ranah pribadi.

Apalagi jika istrinya tidak bisa jadi partner terbaik dalam segala hal. Tingkahnya juga nyebelin di rumah. Dengan penampilan ala kadarnya saat berada di rumah, boleh jadi akan membuat suami jenuh. Dibanding dengan rekan kerja yang terlihat segar secara tampilan, diajak ngobrol pun asyik, boleh jadi akan 'menggoda' suami yang nggak tahan iman, berpindah ke lain hati. Bahkan sampai berujung ke arah zina. Na'udzubillah min dzalik.

Tapi bukan lantas kekurangan istri dijadikan justifikasi sehingga suami kepincut dengan yang lain. Suami itu pemimpin. Jika ada dari sifat istri yang tidak disukainya, kenapa tidak menegurnya baik-baik? Berilah masukan. Kalau istri memang tidak secantik mereka, kenapa nggak dikasih tambahan uang untuk perawatan? Kata orang, cantik itu butuh proses plus butuh modal. Karena se-nggak cantiknya wanita, pasti dia lebih cantik dari seorang pria. Jadi semua wanita itu cantik, asal mau mempercantik diri.  (Tapi, inget lho tri, istri, mending cantiknya di depan suami saja. Kalo kebalik bahaya tauk! Apalagi pake ikut meme daster challenge yang sempat viral beberapa waktu lalu πŸ˜„πŸ˜„).

Dalam pernikahan itu soal bagaimana pasangan suami istri bisa saling memahami satu sama lain. Tanpa ini, yang ada akan terjadi salah paham, terlalu banyak menuntut, cek cok mulu endebre endebre. #lagi2endebre πŸ˜‚πŸ˜‚

Godaan di luar sana terutama di lingkungan kerja itu sangat kuat sekali. Bahkan untuk suami yang terlihat alim sekalipun, dia bisa saja goyah. Seperti dua kasus yang saya ceritakan di atas.

Pun begitu, istri seharusnya juga introspeksi diri. Mungkin karena terlalu cemburu, terkadang mencurigai suami. Bahkan hanya isi pesan tentang pekerjaan saja--lantaran dikirimkan oleh rekan kerja yang wanita--dia juga menaruh curiga.



Ada baiknya suami mengenalkan istrinya pada rekan kerjanya di kantor terutama yang wanita. Mungkin bisa mengajak serta saat menghadiri resepsi pernikahan teman kantor, buka bersama atau acara lainnya.

Paling tidak, dengan mengenalkan istri pada rekan kerjanya yang wanita, bisa meminimalisir kecurigaan. Dia bisa tahu siapa dan bagaimana rekan kerjanya. Seperti halnya teman-teman saya, banyak diantaranya adalah istri dari rekan kerja saya yang dulu. Meski saya sudah resign, kita tetap berhubungan baik biarpun sebatas komentar di sosial media.

Agak nyesek juga pas baca statusnya orang yang pernah jadi viral. Ada suami yang malu ngajakin istrinya yang seorang IRT pergi ke resepsi teman kantor atau acara kantor lainnya karena tampilan istrinya nggak se-wah teman sekantornya. Padahal suami saya saja, justru dia lebih nyaman kalau saya temanin. Sampai mau nonton futsal saja ngajakin saya. Nggak tahunya pas disana, cuman saya sendiri spesies kaum hawa (selain anak perempuan saya) yang nonton. Alamak! Lol.

So, Pak Suami, ingatlah Allah kapanpun dan dimanapun berada. Sifat Ihsan  (merasa diawasi Allah) harus tertanam lekat di hati kita. Kami nggak akan nuntut para suami agar setia pada pasangannya, cukup setialah pada Allah. Karena dengan setia kepada Allah sudah pasti dia akan menjaga keluarganya dengan sebaik-baiknya. Dia tidak akan mengkhianati Allah sehingga berbelok arah mengikuti jalan-jalan syaitan. 

Plis, Pak Suami, jangan coba dekati jalan yang menjurus kepada zina, sekalipun itu hanya sekadar tukar pesan doang. Allah berfirman yang artinya, "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-'Isrā' 32)

Semoga Allah melindungi kita dari tipu daya syaitan dan iman kita tetap terjaga hingga maut memisahkan. Amiin.

*tulisan ini sudah saya bagi terlebih dahulu di facebook. :)

Minggu, 30 April 2017




Beberapa bulan lalu saya baca sebuah artikel. Disana dikisahkan ada seorang wanita muda yang baru beberapa bulan menikah, dia menangis saat bertanya di salah satu kajian. Dia merasa bahwa kehidupan pernikahannya justru membuatnya tidak bisa maju. Setelah menikah, dia hanya berada di rumah sebagai ibu rumah tangga. Sehari-hari dia dihadapkan dengan tetek bengek urusan rumah tangga: masak, mencuci, nyetrika, nyapu, ngepel dsb. Aktifitas kesehariannya hanya muter di seputaran itu. Inilah mengapa dia merasa kehidupan pernikahannya seolah mengekangnya.

Kisah si mbak ini mengingatkan saya pada salah seorang teman. Di tiga bulan pernikahannya, dia juga merasa jenuh karena hanya berdiam diri di rumah. Sampai waktu itu, dia nekat pergi ke tempat kerjanya dulu lalu mampir ke kosan kami (waktu itu saya belum menikah) untuk mengusir penat. Dia baru ijin kepada suaminya setelah sampai ke kosan kami dengan meminjam HP saya--karena dia setelah menikah tidak lagi pegang HP.

Karena tidak ijin, suaminya jelas marah. Sampai saya nggak sengaja menyaksikan 'genderang perang' sepasang pengantin baru ini hingga sang suami menanyakan perpisahan. Kontan saja saya terkaget. Saya sendiri sebelumnya juga tidak tahu jika dia belum ijin ke suaminya. Karena sadar, ada orang lain yang tanpa sengaja tahu, sang suami lantas menerangkan bahwa hubungan mereka baik-baik saja. Dia bahkan sampai menjelaskan bahwa dia sangat mencintai istrinya. Dia juga meminta saya untuk menasehatinya karena, katanya, istrinya sangat sulit dinasehati.

Walau si teman tadi belum ijin, entah mengapa saya sedikit memaklumi. Terlepas, keluar rumah tanpa ijin suami tentu tidak dibenarkan. Kenapa saya memaklumi? Pertama, karena si teman tadi masih tergolong baru ikut kajian di tempat saya mengaji. Dia pun kenal kajian tersebut karena naksir dengan seseorang yang kini jadi suaminya. Saya juga mengenal teman ini sehari-harinya baik. Dia bisa dididik dan dinasehati secara halus andai suaminya mau bersabar menghadapi istri pilihannya. 

Kedua, soal dia yang merasa jenuh di rumah, siapa yang nggak jenuh jika hanya berdiam diri di rumah? Kegiatannya hanya soal tugas rumah tangga. Tanpa boleh kemana-mana. Dan tanpa HP. Perlu dicatat, setelah dia menikah, dia tak lagi pegang HP. Entah suaminya yang tidak membolehkan atau karena apa. Yang jelas, saat menghubungi saya, dia selalu pakai nomor suaminya. Ketika kita ketemu di kajian Ahad, jika janjian dengan suaminya (ditunggu dimana setelah kajian selesai), dia akan pinjam HP saya jika berpapasan dengan saya.

Sejujurnya, saya gatel untuk menegur sikap suaminya ini. Sejauh saya mengenal si teman tadi--walau beberapa bulan--tapi dia bukan orang yang ngeyel untuk dinasehati. Bukankah, harusnya dia bisa sabar menghadapi istrinya? Karena memilih istri yang sebelumnya belum berjilbab (lalu berjilbab kemudian ikut kajian) itu bukan perkara mudah. 



Karena si suami dalam mode marah, saya hanya berusaha mencairkan ketegangan diantara mereka. Saya sebetulnya nggak terlalu kenal dengan suaminya ini. Hanya sebatas tahu. Tapi tetap nekat bilang, "Santai aja, Bro!" Entah berapa kali saya mengulang kalimat itu, sembari menyisipkan nasehat untuk menghadapi masalah dengan kepala dingin dan memintanya memahami istrinya.

Terus terang, saya salut dengan suami yang meminta istrinya untuk berada di rumah, fokus mengurus keluarga. Tapi saya jauh lebih salut lagi dengan suami yang mendukung istrinya untuk terus produktif meski berada di rumah. 

Berada di rumah, jarang kemana-mana dengan rutinitas yang itu-itu saja bukan soal yang mudah dijalani. Apalagi bagi mereka yang sebelumnya aktif di luar rumah itu bukan hal yang gampang dilakoni. Entah berapa orang yang mengeluh bosan di rumah kepada saya. Lebih-lebih jika dia juga disibukkan dengan mengurus bocil-bocil super aktif. Selain merasa jenuh, mungkin dia juga merasa lelah. 

Terus produktif tak harus yang menghasilkan uang. Suami kudu jeli dengan passion istri. Setelah tahu apa minat istri, dukung dia, berilah ruang waktu kepadanya, fasilitasi, syukur-syukur carikan pasar jika minatnya adalah berdagang. 

Saya suka sekali dengan nasehat seorang suami dari salah satu teman saya, "Kamu merintis karir di rumah saja ya." Suami yang model begini itu suit kebangetan lho. πŸ˜„

Atau hanya sekadar membiarkan istri melakukan hobinya saja, itu sudah dalam bentuk mendukung istri untuk tetap produktif. Misalnya hobi dia membaca. Ya, berilah kelonggaran waktu untuk dirinya membaca. Pas suami tidak ada kegiatan, ambil alih sebentar untuk momong anak-anak lalu membiarkan istrinya merampungkan bacaannya biar pikirannya enteng. Sesekali mengajaknya ke toko buku atau pameran buku untuk membeli buku atau memberikan rak buku juga termasuk salah satu dukungan suami agar istri terus bisa produktif. 

Syukur-syukur apa yang diminati atau hobi istri itu bisa menghasilkan uang, tentu lebih baik lagi. Pun begitu, istri juga harus tetap tahu kondisi dan waktu. Jangan sampai keluarganya justru dinomorduakan, meski masih berada di rumah.

Bagaimanapun, istri tidak selamanya bergantung dengan suaminya. Suatu saat, entah kapan, maut akan memisahkan. Atau boleh jadi suami diuji sakit yang membuatnya tak lagi bisa menafkahi keluarga. Jika istri hanya berada di rumah, urusannya hanya seputar rumah tangga, mungkin dia akan sangat kesulitan ketika ia tiba-tiba harus mengambil alih untuk menopang ekonomi keluarga.

Saya sedih sekali ketika tak sedikit suami yang menganggap bahwa mengurus tetek bengek rumah tangga itu adalah kewajiban istri. Bahkan ada yang bilang, itu adalah kodratnya. Saya pernah menulis status berjudul Suami Ganteng Maksimal, sebutan saya untuk para suami yang mau membantu tugas rumah tangga istrinya. Waktu itu ada yang komen kira-kira begini, "Kenapa sih istri harus manja? Itu kan sudah kodratnya dia, kenapa dia harus mengeluh hingga minta bantuan suami?" 

Fix, suami model begini yang bisa membuat para istri mendadak horor sama suaminya. Saya nggak bisa bayangin kalo pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci baju, piring, nyapu, ngepel, nyetrika dsb dilakukannya seorang diri padahal dia juga sudah disibukkan dengan mengurus anak-anaknya yang aktif luar biasa, tanpa bantuan ART apalagi suami karena menganggap itu sudah kewajiban istri. Bisa keriting otaknya dia, Pak. Padahal otaknya udah keriting dari sononya, mau keriting yang kek gimana lagi? Mbundhel? πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Memberi kesempatan me time kepada istri juga salah satu bentuk dukungan suami agar istrinya tetap produktif. Dari me time, dia pasti akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Kayak saya yang bisa nulis status sepanjang ini, juga salah satu buah dari me time lho. Semoga mau dibaca sampai akhir ya. Etdah, panjang amir, Mak? πŸ˜„

*tulisan ini sudah saya lempar duluan ke media sosial :)

Selasa, 11 April 2017




Beberapa waktu lalu, ada status teman yang membuat saya jadi stalker dadakan. Saya penasaran siapa yang dimaksud. Saya langsung utak-utik keyword di google. Di pencarian ketiga baru ketemu berita yang lagi viral itu. Lalu saya buka IG, stalking akun IG-nya. Sayang sekali, akunnya diprivate. Untung saya sudah tahu gambaran ceritanya.

Seriusan, sebagai seorang wanita dan juga ibu, saya pingin lemparin wajan penuh angus ke muka si laki dan si perempuannya. Oh, ganas ya? Terus bagusnya diapain? Didoain biar mereka segera bersatu, cepetan nikah ketimbang zinah di belakang istri gitu? Hm, saran yang bagus juga. Kan jodohnya laki keji dengan wanita keji, laki zinah dengan wanita zinah. Sama wanita baik-baik? Jelas nggak level lah. QS An-Nuur ayat 26 udah jelas menunjukkan betapa golongan mereka ini bukanlah orang yang pantas bersanding dengan laki-laki atau wanita baik-baik. 

Kalo entar mereka sampai bersatu, tinggal tunggu prahara apa yang menanti setelahnya. Jedeeeerrrrr! Mak plethakkkk! Klonthanggg! Duarrrrrr! Thok thok bethok! #ikiSuoroOpoThoMak

Yang jelas, jangan dipikir, pasangan dari perselingkuhan itu hidupnya akan bahagia. No no no, big no! Dalam mimpi lo emang iya. Elo-elo itu cuman dikibulin syaitan. Ketipu sampeyan.

Golongan pelakor (pengganggu laki orang) itu hanyalah gulma. Gulma tahu? Tanaman pengganggu yang kehadirannya harus dibabat karena menganggu tanaman yang dibudidayakan. Sejenis rerumputan, teki dsb. Udah tahu jenis pengganggu begini, bukannya dibasmi, eh malah dikembangbiakan. Tunggu saja akibatnya.

Berkali-kali saya bilang, kalo ada yang sampai terlena dengan hijaunya rumput tetangga, berarti dia sejenis kebo, sapi atau embek, karena hanya merekalah yang doyan makan rumput. Manusia waras nggak akan sudi makan rumput. Camkan itu!

Apalah enaknya memilih hidup bersama gulma? Mereka akan nuntut asupan nutrisi tinggi dengan memberi pupuk yang berkualitas dan perawatan kelas wakhid agar daunnya kelihatan lebih hijau we o we, sedang mereka tak akan menghasilkan apapun. 

Tuntutan mereka itu tinggi. Jangan harap mereka akan ngertiin keadaan lo sebagaimana istri lo dulu. Mereka hanya keliatan indah di awal, seolah-olah baik, begitu bersama? Yang ada, elo cuman diporotin terus, Mas Bray. Lama-lama jadi DPL entar, Derita Pikiran eLo. Bisa seteres sampeyan! 

Ini kisah si Pulano. Dulu dia sering diminta suaminya si Fulanling untuk nyopirin mobilnya. Eh, ternyata di belakang, Pulano dan Fulanling ini suka telponan dan smsan. Sampai waktu itu istri Pulano tahu kalo dia ada main sama Fulanling. Saking sakit hatinya, istrinya sampai jatuh sakit hingga tak lama kemudian dia meninggal dunia.

Suaminya Fulanling yang sakit-sakitan lama, akhirnya meninggal juga. Bersatulah Pulano dan Fulanling. Bahagia? Baru beberapa bulan nikah, uban Pulano langsung tumbuh disana-sini. Mukanya dia juga kelihatan lebih tua dari umur aslinya. Bahkan dia sampai bilang menyesal dengan perbuatannya. Andai dapat memutar kembali, dia ingin bersama istrinya yang dulu. Lah, gimana enggak? Orang Fulanling nuntut materi terus.

Ini nyata, bukan fiktif belaka. Fulanling yang kayak beling ini sebetulnya juga selingkuh sama suami tetangganya. Pulanonya saja yang nggak tahu. Double ketipu kan dia. 

Pelakor sudah jelas bukan wanita baik-baik. Jika dia memang baik, dia tidak akan mungkin mengganggu kehidupan rumah tangga orang lain. Dia akan menjaga diri dan hatinya agar tidak terjerumus ke jurang syaitan. 

Ini kisahnya si Fulanika. Fulanika menyukai seorang pria beristri. Awalnya Fulanika tidak tahu jika pria tersebut sudah menikah. Dia hanya menyukai dalam diam. Karena dia wanita baik-baik, dia tidak ingin menyakiti istri dan anak-anaknya. Dia justru jauh lebih menyayangi anak istrinya yang belum pernah bertemu tatap. 

Fulanika dengan suaminya ini bukan rekan kerja yang berada di tempat kerja yang sama. Mereka hanya terlibat pekerjaan yang sama karena diminta oleh kantornya. Kalau boleh saya menilai, dari sikap suaminya itu sepertinya dia ada rasa dengan Fulanika. Mereka ini tidak selingkuh, karena mereka sama-sama bisa menjaga diri. Pesan-pesan mereka hanya sebatas pekerjaan. Walaupun, menurut saya, ada bau-bau modus dari suaminya ini.



Karena menyayangi anak istrinya, Fulanika memilih menjauh. Dalam curahan hatinya waktu itu, dia tetap mendoakan semoga suami itu bisa menjaga anak istrinya dari azab neraka sehingga mereka semua bisa berkumpul di syurga Allah. "Kalau aku terlena dengan syaitan, mungkin aku bahagia jika dia juga memiliki perasaan yang sama denganku. Tapi tidak. Jika istrinya tahu, itu sangat menyakiti hatinya. Semoga aku hanya sekadar ke-GR-an dari sikap baiknya."

Saya berharap ada banyak Fulanika-Fulanika lain di luar sana. Buat para suami, plis ya jaga diri, jaga hati selama kalian bekerja di luar sana. Batasi pergaulan dengan yang lawan jenis. Iman kalian harus terus ternanam kuat-kuat. Saya tahu, suami ganteng, mapan apalagi family man itu yang ngegodain banyak. Matanya pelakor pasti pada ijo ngelihat kalian. Mohonlah perlindungan dari Allah. Semoga kalian terjaga dari jalan-jalan yang menyesatkan.

Bagi para istri, ada baiknya introspeksi diri. Mungkin ada sikap kita yang nyebelin, ngeselin bin jengkelin yang membuat suami jenuh dengan istrinya. Di saat begini, ketika pelakor cantik ambil posisi, mengerahkan perhatian, kasih dan sayang (walau semu), bisa jadi suami akan goyah juga. Seperti yang sudah saya ceritakan pada status saya tentang lingkungan kantor yang riskan terjadi perselingkuhan waktu itu. Semoga kita semua terjaga dan dilindungi Allah. 

*Nulis ini dengan bumbu emosi jiwa 😑😬😠 Sori nggak ada ikon senyum. πŸ™…

*tulisan ini sebelumnya sudah saya lempar dulu di media sosial, biar menjangkau banyak orang yang mau baca. :D

Senin, 20 Maret 2017



Apa perasaan ibu jika anaknya baru bisa jalan di usianya yang sudah melewati umur 16 bulan? Bahkan teman sebayanya sudah bisa berlari kecil, sementara anak kita masih rambatan atau kadang sesekali merangkak? 

Oke, bagi ibu yang paham ilmu--biarpun si kecil sudah berumur 16 bulan tapi belum kunjung berjalan--tidak akan menjadi soal. Karena tahap perkembangan anak bisa berjalan itu normalnya dari umur 12 - 18 bulan. Termasuk saya juga tenang-tenang saja meski tetap berusaha saya stimulus karena saya pernah baca artikel ang menjelaskan bahwa anak umur 15 - 18 bulan yang belum bisa berjalan itu masih dikatakan normal namun kurang optimal, karena kemampuan motorik kasar dan kemampuan keseimbangannya kurang begitu baik. Pada anak seperti ini perlu intervensi atau stimulus ringan agar perkembangan motorik dan vestibularis (keseimbangan) lebih baik.

Bagaimanapun milestone setiap anak itu berbeda-beda. Tidak pas saja kalau ada ibu atau neneknya membanding-bandingkan dengan anak atau cucunya karena lebih dulu bisa berjalan bahkan sebelum genap umur 1 tahun.


Saya harus mengungkap apa yang saya alami saat anak kedua saya (cowok) harus dibanding-bandingkan dengan anak saudara atau tetangga yang milestone-nya lebih cepat ketimbang putra saya. Andai saya bersumbu pendek, mungkin akan langsung meledak. Atau minimal saya baperan, lalu sakit hati kemudian sampai kurang percaya diri ngajak anak halan-halan cantik di luar rumah. Untungnya saya santai saja menghadapi komentar-komentar mereka.

Jujur, mulanya saya juga sedikit tersinggung saat mereka keheranan lalu mencoba membandingkan atau berkomentar yang tidak mengenakan sampai ada yang nyaranin untuk diterapi. Tapi saya memilih tidak memasukkannya sampai ke hati. Ini demi kebaikan saya sebagai ibu dan juga anak saya. Bagaimanapun seorang ibu harus kuat agar anak-anak mereka tumbuh menjadi anak yang tangguh nantinya.

Saya baik sangka saja. Barangkali itu bentuk perhatian mereka, walaupun sejujurnya kalau diambil hati memang kadang ada yang nyakitin juga. Hihihi.

Saya mencoba berpikir positif. Saya juga tidak mau menduga-duga ketika ada segerombolan ibu berbisik-bisik mengomentari anak lelaki saya yang kala itu masih merangkak, padahal teman sebayanya sudah bisa berjalan sejak lama. Entah apa yang mereka katakan, saya tidak ingin menajamkan indera pendengaran saya untuk tahu lebih lanjut.

Ternyata sikap seperti ini sangat membantu sekali agar kita tidak mudah baper dengan komentar mereka. Beruntunglah saya dianugerahi suami yang selalu siap sedia menjadi pendengar dari setiap curcolan saya. Bukannya spaneng, kita malah jadikan komentar mereka untuk bahan guyonan. :D



Saya harus paham dengan tipikal orang-orang yang senang berkomentar tak tahu tempat ini. Ya, orang-orang seperti ini memang hobinya nyinyirin orang, mau gimanapun kondisi kita.

Dulu, si kakak yang sudah bisa berjalan di usianya yang baru menginjak 11 bulan saja juga tak luput dari hadangan komentar orang. Karena perkembangan motorik kasarnya yang lebih dominan, kemampuan berbicaranya jadi sedikit lebih lambat dari teman seusianya. Sebetulnya jika bersama saya, ada beberapa kata yang bisa dia ucap. Namun saat bersama teman-temannya, bahasa yang digunakan kebanyakan bahasa planet. Karena inilah, saya sering dituduh kalau saya tidak pernah ngajakin ngomong anaknya. Olala. Masa' iya punya mulut mingkem mulu? Padahal saya tergolong emak cerewet lho. :D

Ah, ya sudahlah. Tidak akan ada habisnya jika kita mendengarkan komentar mereka yang tidak paham keadaan ini. Yang ada justru malah makin bikin hati jadi gondok. Iya kan?

Ketika saya bisa santai, berpikir positif dan tidak mudah baperan, ternyata tanpa terasa anak saya pada akhirnya bisa berjalan sendiri di usia 16 bulan 21 hari. Alhamdulillah.

Agak sedikit lama memang. Tapi hikmahnya, saya merasa anak saya masih kayak bayi karena kalau pergi keluar rumah terpaksa harus digendong. Ya, walau lumayan pegal juga sih. Tapi kalau kita nyantai, dijalaninya ya oke-oke saja. :D

Selasa, 07 Februari 2017




Emang nggak enak ya jadi orang moody-an. Inilah yang terjadi pada saya beberapa waktu ini. Yep, saya mendadak terserang virus 'nggak mood' blogging entah karena alasan apa. Apa ada orang di luar sana yang kayak saya? Semoga saja tidak. Saya tidak berharap ada orang mendadak malas nge-blog tanpa alasan yang jelas. Hihihi.

Karena merasa nggak mood, saya memutuskan untuk rehat sebentar dari dunia perbloggingan. Hanya sebentar. Tapi yang terjadi malah terlalu kepanjangan. Bahkan di tahun 2017 ini saja, saya baru menulis tulisan nggak penting sarat curcolan nggak jelas macam ini.

Kenapa jadi malas blogging? Apa karena kekurangan ide? Hadeh, justru di otak saya sudah ngantre bejibun ide yang pingin dikeluarin tapi nggak kunjung dieksekusi. 

Selama satu setengah bulan ini, saya hampir nggak pernah ngintipin blog. Jangankan update blogpost, sekadar blogwalking pun saya malas.

Baca juga : Blogger yang Aneh

Pun begitu, ada rasa kerinduan yang membuncah ketika saya meliburkan diri dari dunia perbloggingan beberapa waktu. Saya rindu pada mereka, teman-teman blogger, meskipun hingga kini tak banyak yang saya kenal. Tapi jujur, saya rindu memberikan komentar saya untuk blogpost mereka sebagai bentuk silaturahim dan apresiasi dari tulisan mereka. Rasanya saya jadi enggan blogwalking jika blog saya sendiri nggak update. Ngerasa nggak enak saja kalau dia sampai berkunjung balik ke blog saya yang blogpost terakhirnya sudah kadaluarsa. Hahaha.

Semoga tulisan ini mengembalikan semangat saya untuk aktif ngeblog lagi. Hingga kini, saya memang belum berencana untuk monetize blog. Makanya, saya masih setia pakai blog gratisan. Saya merasa belum yakin bisa memberdayakan blog jika saya orangnya moody-an banget kayak gini. Ya, dijalani nyantai sajalah. Jangan terlalu terbebani. Nanti ndak malah tambah malas lagi untuk ngeblog. Iya kan? Iya kan?

Udah ah. Segini saja curcol gaje dari saya. Berharap tulisan ini jadi mood booster saya untuk segera update blog lagi. Semangkaaaaaaaa! :D
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!