Senin, 23 November 2015

Inget cerita "Finding Husband" yang banyak diposting di grup-grup kajian Islam beberapa waktu lalu gak nie? Istri sampai gak ngenali wajah suaminya karena beberapa (bulan atau minggu ya? Lupa ikh...) terpaksa harus LDR-an selepas menikah. Nah, inilah salah satu uniknya menikah dengan yang belum dikenal. Hehe.

Nikah dengan yang belum dikenal itu emang gak banyak pengikutnya. Was-was kalau dia nanti begini atau begitu kayaknya jadi alasan kenapa jombloers ogah nikah dengan yang belum dikenal.

Wajar sih ya, kalau kita was-was, khawatir. Saya sendiri dulunya juga sempat didera perasaan kayak gini. Apalagi saya yang kepalanya terisi banyak ilmu (wuissshhh padahal cuma secenthong ilmunya :p), tingkat kekhawatiran saya sudah merambah dari yang level paling error sampai horor.

Tapi kalau segala sesuatunya kita serahkan kepada Allah, insyaAllah Dia redam rasa was-was itu. Dia tunjukkan betapa pribadinya tidak seperti yang kita khawatirkan.

Saya dan suami walau sebelumnya tidak saling kenal, alhamdulillah tidak perlu waktu lama untuk menjalin hubungan yang tidak kaku. Bahkan kami cepat sekali menyatu seperti seorang sahabat. Sahabat hidup tepatnya. Mungkin karena faktor istrinya kali ya, yang suple dan gampang bergaul (hahaha ini emak pede nian cuinnn...).

Yang jelas, di balik 'horor'-nya nikah dengan yang belum dikenal, terselip cerita unik dari mereka. Selain 'Finding Husband', banyak juga dari mereka yang gak hafal jalan pulang menuju rumah suami. Alhasil tersesatlah kemudian. Kayak saya.

Sore itu, saya belokkan motor ke sebuah gang. Beberapa meter perjalanan, saya berhenti. Gak yakin kalau ini jalan yang biasa dilewatin pas diantar suami.

Saya balik arah, kembali ke jalan utama. Motor terus digeber lurus. Sampai pada tugu masuk kampung, saya belok mengikuti arah jalan.

Shhhhttt. Motor mendadak berhenti. Sengaja direm. Pandangan saya mengitari. Asing.

Lagi-lagi saya balik arah. Tiba di pertigaan dekat tugu, saya parkir motor pinjaman kantor itu di pinggir jalan.

Bingung. Berusaha mengingat tapi nihil. Bertanya? Ah, yang ada saya malah diketawain. Masa iya saya nanyain, "Dimana rumah suamiku?" Alamat saja saya tahunya hanya kecamatan dan kabupaten.

Pffff...saya membuang napas pasrah. Apa boleh buat, terpaksa minta dijemput suami. "Aku tersesat. Pick me up... :(" tulis saya kala itu yang sukses terkirim ke nomor suami.

Dia balik membalas, bertanya dimana saya karena tidak menerangkan tempatnya. Kontan saya menulis pesan balasan dimana tepatnya saya berada.

Sembari menunggu jemputan, saya duduk di pinggir jalan dekat sawah. Dua mata saya melirik ke samping. Ada kakek yang tengah mencangkul sisa akar pohon yang sudah ditebang. Tangan saya sontak mengeluarkan hp. Sang ibu jari sibuk memencet, memotret berbagai gaya si kakek mencangkul.

Tak berapa lama, motor berwarna merah itu menyembul dari kelokan jalan. Saya berjingkat sumringah. Dari kejauhan terlihat jelas, dia tertawa geli. Saya cuman bisa nyengir, malu-maluin. Hahaha.

Yah, inilah istrimu yang bisa mengingat setiap jengkal peristiwa penting, bahkan sampai warna pakaiannya, tapi paling dedel duel kalo ngapalin rute jalan, nama jalan sampai nama orang. Hehehe.

Inilah salah dua, uniknya menikah dengan yang belum dikenal. Ada cerita unik lainnya mungkin? :)

Sumber gambar : Cyberdakwah

Jumat, 13 November 2015

"Kenapa mbak mau meninggalkan pekerjaan lalu jadi ibu rumah tangga yang sekarang stay di rumah?" tanya seorang teman via inbox di Facebook kala itu. Saya tidak menjawab langsung. Jawaban saya sengaja saya posting untuk publik agar jadi pembelajaran bersama. Dan kali inipun saya juga memuatnya disini.

Apa alasan saya? Jujur saya katakan, awalnya sayapun tidak tahu pasti alasannya. Resign dari pekerjaan dan sekarang cuman jadi ibu erte yang 24 jam penuh bersama suami dan anak-anak benar-benar tidak pernah saya bayangkan dulu. Bahkan, ketika itu, saya malah ogah membayangkan seperti apa kehidupan rumah tangga, mengurus suami dan anak-anak.

Saya ini orangnya egois, maunya menang sendiri, ngeyelan, saya tomboy, suka melakukan sesuatu yang gak biasa, senang melawan arah dan tidak memikirkan perasaan orang lain. Dengan kepribadian saya yang buruk ini, saat itu doa yang selalu saya panjatkan adalah, "Ya Rabb, pertemukanlah aku dengan jodohku ketika aku Engkau nilai siap menjadi istri. Entah kapan itu. Engkau Yang Maha Tahu."

Saya pernah dalam masa yang: tidak ingin memikirkan pernikahan (untuk sementara waktu). Berkali-kali saya diminta mengirimkan cv, tapi saya enggan membuatnya. Ada teman yang mencoba menta'arufkan saya, jawaban saya hanya, "Pliss...jangan saya."

Pada akhirnya saya sembuh dalam kegamangan saya menatap pernikahan. Itupun karena Allah menyadarkan saya lewat ujian-ujian yang berharga itu. Dan singkat cerita, saya menikah setelah dua tahun lebih 9 bulan pasca lulus kuliah.

Lalu setelah menikah apa saya langsung resign? Tidak. Saya masih menjalani hari-hari biasa seperti semasa single dulu karena saya pun tidak dilarang suami meski saya aktif di luar rumah. Bedanya, saya lebih sering diantar jemput suami.

Saya baru memutuskan resign setelah (akan) diamanahi menjadi ibu. Kenapa harus resign? Saya pikir itulah panggilan jiwa.

Saya menyadari ketidaklihain saya menjadi ibu, seperti yang didengungkan oleh kebanyakan orang. Apalagi pekerjaan saya ada di banyak tempat. Dan itu membutuhkan konsentrasi penuh. Kalau sudah dikejar deadline, akan ada banyak orang yang saya cuekin.

Saya pikir, jika saya terus seperti ini, bagaimana dengan keluarga saya? Lebih-lebih jika sudah ada anak.

Kata orang, anak itu gurunya sabar. Saat bersamanya kita benar-benar dilatih olehnya bagaimana menjadi ibu yang sabar. Saya tidak bisa membayangkan jika saya tetap bekerja dengan segudang pekerjaan sekaligus mengurus anak. Sabarkah saya?

Ini saja, saya yang sudah resign, sesekali tak sabar menghadapi anak yang rewel sampai keceplosan memarahinya. Apalagi jika saya belum resign? Seperti apa jadinya saya?

Lewat perjalanan waktu, saya jadi tahu kenapa saya harus membersamainya, terutama di masa emasnya. Mungkin alasannya adalah pelajaran-pelajaran yang sudah saya bagikan di fb.

Bukan hanya aqidah, saya juga harus menanamkan nilai-nilai kebaikan padanya. Belajar amanah, berlaku jujur, disiplin, percaya diri, bersosialisasi, bersyukur dengan apa yang dia punya, dsb.

Kadang saya jadi mikir sendiri. Ah, bagaimana jadinya anak saya andaikan saya tidak bersamanya? Pernah di usia 7 atau 8 bulan, saya sejenak diajak ngomong dengan seseorang. Hanya beberapa detik luput dari perhatian, saya menangkap ada yang ganjil di mulutnya. Dia terlihat seperti mengunyah sesuatu.

Tangan saya buru-buru merogoh ke dalam mulut. Benar, ada sesuatu! Dia mengunyah peniti! Ya Rabbiy...

Kadang saya juga bertanya-tanya sendiri. Bersama ibunya saja ada keceplosan memarahinya, bagaimana jika dia bersama pengasuh? Ada anak tetangga saya, katanya, hanya minta pipis saja dia dibentak, kadang ditabokin. Ketahuannya ya pas ibunya pulang awal waktu. Pernah juga saya melihat ada pengasuh yang tengah menyuapi si bayi. Wow, mulut masih penuh bubur, langsung disuapi lagi, disuapi lagi! Sampe mulutnya muncu-muncu! Hehehe.

Maka, saya pikir, resign adalah keputusan yang tepat bagi ibu macam saya.

Ada yang tanya, apa kamu tidak sayang meninggalkan pekerjaanmu?

Wah, bukan hanya sayang. Sangat berat sekali memutuskan untuk meninggalkan. Apalagi pekerjaan saya dulu adalah perjuangan.

Saya sampai mengulur-ulur waktu untuk mengajukan resign. Setiap kali saya hendak mengutarakan ini, pimpinan lebih dulu bilang, "Makanya kamu harus tetap disini. Kita harus berjuang."

Bahkan saat dia tahu saya mau keluar, dia malah mengiming-imingi saya menempati posisi tertentu yang kosong sebagai full timer. Di tempat kerja lain, pimpinan juga bilang, "Saya berharap kamu masih tetap disini." Bahkan saat saya mengusulkan siapa pengganti saya, beliau masih berat menerima.

Narsum yang biasa duet saat siaran juga sering berkata, "Wah, kalau mbak isna sampe keluar, nanti gimana saya ngirim tulisannya?"

Saya tahu, jika saya sampe resign akan banyak yang saya tinggalkan. Dan yang paling saya khawatirkan, siapa yang mau mengambil alih dari semua yang saya tinggalkan?

Tapi saya harus resign. Entah dengan ringan atau berat. Karena panggilan jiwa menjadi seorang ibu...

Gambar : google.com

Senin, 09 November 2015

Meski kita sudah mantap menerima pinangan seseorang, bisa jadi kita akan diuji dengan keadaan yang terkadang membuat keikhlasan kita sedikit goyah. Terselip pula sebetik penyesalan, andai kita menunda menetapkan pilihan.

"Kamu tahu si A itu?"
"Kenapa?"
"Dia berniat melamar kamu lho! Tapi karena kamu sudah keduluan dilamar orang lain, dia terpaksa mengurungkan niatnya."

Si A adalah teman SMA yang kita kenal yang kini sukses merintis bisnis rental mobil. Bukan hanya si A saja yang hendak meminang rupanya. Ada si B, seorang dosen muda di universitas negeri yang juga kita kenal (meski tak mengenal lebih detail). Ada pula si C, yang merupakan praktisi kesehatan.

Selain mereka, sosok-sosok yang sebetulnya punya niat untuk meminang--tanpa pernah mencoba mendekati lewat jalan ilegal-- ternyata baru bermunculan selepas kita memantapkan pilihan. Padahal sebelum ini, kita sempat dibuat bingung saat orang tua bertanya, "Apa kamu sudah punya calon? Jika sudah ada, suruh dia ketemu sama bapak."

Kita bahkan menunda-menunda mengirimkan profil/proposal ke pimpinan karena berharap bisa bernasib seperti mereka: tanpa menyetor profil, tahu-tahu sudah datang lelaki shaleh yang melamar. Tapi nyatanya, ditunggu-tunggu tak jua ada. Satupun tak ada. Sementara pimpinan terus bertanya, mau sampai kapan nyetor profilnya.

Dan saat kita memutuskan mengirimkan profil kepada pimpinan, beberapa kali kita dita'arufkan dengan ikhwan-ikhwan yang profilnya tidak 'sekeren' ikhwan yang ketahuan berniat meminang. Mereka hanya lulusan SMA, ada yang sarjana tapi masih pengangguran, ada pula yang sudah bekerja tapi gaji hanya seberapa. Mereka ini juga tidak kita kenal sebelumnya. Kita yang memimpikan suami aktivis dakwah ternyata juga tidak kita temukan pada sosok-sosok ini.

Sampai pilihan kita jatuh pada sosoknya, seseorang yang kita tidak menemukan alasan untuk menolaknya. Dia mungkin jauh dari angan kita, tapi, sekali lagi, kita tidak menemukan alasan yang dibenarkan agama untuk menolaknya. Pekerjaannya mungkin tak sekeren mereka yang terlambat meminang. Penghasilannya pun begitu. Dia juga bukan aktivis yang vocal di depan menyerukan dakwah, tetapi hanya warga ngaji biasa yang istiqomah mengamalkan hasil kajinya.

Tapi dialah pilihan kita. Dialah jawaban dalam shalat istikharah kita. Mungkin kita menilai, alangkah baiknya andai kita menikah dengan salah satu diantara mereka. Tetapi, Allah Maha Tahu yang terbaik bagi hamba-Nya. Dia menjodohkan hamba-Nya dengan sangat pas di waktu yang tepat.

Tentu adalah dilarang andaikan kita membatalkan pinangan yang telah disepakati hanya karena ada sosok lain yang dinilai lebih mapan. Rasulullah Saw juga bersabda, "Tidak boleh seseorang meminang atas pinangan saudaranya sehingga peminang sebelumnya itu meninggalkannya atau memberi ijin kepadanya." (HR. Ahmad, Bukhori, dan Nasai)

Dan sampailah kita pada hari pernikahan itu. Rupanya ujian keikhlasan belum berhenti sampai disini. Di hari bahagia itu, ada saja orang yang keceplosan memberitahu, jika sosok yang dinanti dalam diam itu ternyata juga punya niatan yang sama. Seperti mereka yang terlambat meminang.

Mendengar kenyataan ini, bagaimana reaksi kita? Bisa jadi keikhlasan kita bukan lagi sedikit goyah, melainkan sudah sangat-sangat goyah. Andai hati semakin dilingkupi syaitan, rasa ikhlaj menerima bagaimanapun keadaan pasangan bisa saja ambruk tak bersisa. Apalagi dalam perjalanannya sosok yang menjadi pasangan kita ternyata jauh dari yang diimpikan. Sementara ada banyak ikhwan lain yang sosoknya lebih "elok" dari pasangan kita, terpaksa mengurungkan niat meminang karena kita lebih dulu memantapkan pilihan.

Penyesalan mungkin menyelimuti. Andai kita tak buru-buru menetapkan pilihan. Andai kita sedikit menunda. Andai kita...

Ah, mengapa jadi berandai-andai? Padahal jika kita bijak menelaah ulang, kenapa kita mantab memilihnya? Siapa yang menjadikan hati kita yakin untuk menerimanya?

Semua karena Allah. Dia-lah yang kuasa menjodohkan hambaNya. Dia Maha Tahu yang terbaik bagi hambaNya. Mungkin kita menilai dia baik untuk kita, tetapi belum tentu menurut Allah. Allah berfirman yang artinya, "...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kami menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al Baqarah 216)

Karena jodoh itu bukan menurut angan kita, tetapi sesuai kehendakNya. Percayalah, tak ada jodoh yang keliru atau tertukar. Tak ada jodoh yang terlalu cepat atau terlambat. Karena Dia kuasa menjodohkan hambaNya dengan sangat pas di waktu yang tepat.

Sesungguhnya Allah hanya menguji keikhlasan kita, bagaimana jika dihadapkan pada keadaan seperti ini. Apakah kita akan tetap ikhlas, goyah atau malah kufur?

Tentu jawabannya adalah yang pertama. Karena bagaimanapun dialah pilihan kita. Bersamanya kita mantap membina rumah tangga. Dan yakinlah dengan pilihanNya. Jika kita memandang pasangan kita dengan kacamata ikhlas, insyaAllah Allah akan tunjukkan betapa pasangan kita sangat pas dan tepat bagi kita. Lewat perjalanan waktu, mata kita akan terbuka betapa dia yang terbaik bagi kita. Dia mampu melengkapi kekurangan kita, menyempurnakan kelebihan kita, sehingga kita bisa bersatu padu saling mendukung satu sama lain. Dan semoga karena perjodohan ini mengantarkan kita pada JannahNya.
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!