Sabtu, 24 Desember 2016

Inilah 15 kesalahan yang sering dilakukan orangtua pada anaknya :

1. Bohong


Entah sudah kali berapa ketika saya mendapati ibu-ibu yang menakuti anaknya dengan berbohong.

"Adik, jangan ke situ. Di situ ada tikus lho. Tuh, ada tikus!" Padahal nggak ada tikusnya.

Ketika jajan minta sesuatu. "Jangan beli yang itu. Itu makanan beracun." Padahal? Bakalan kena sidak kalau ada pedagang jual makanan yang mengandung racun.

Mungkin mikirnya anak sekecil itu belum paham seandainya kita terangkan pada mereka sejujurnya.
Padahal eh padahal, mereka anak yang pintar dan kritis lho, Bun. :)

2. Janji Palsu

Anak nangis minta dibeliin sepatu kayak punya temannya. "Iya. Besok ibu beliin kalau kita ke mall. Yang lebih bagus malah."

Pas ke mall, anak nagih, nggak dibeliin. Padahal janji tetaplah janji. Kan, janjinya kalau ke mall bakalan dibeliin sepatu yang lebih bagus dari temannya. Ayo, Nak, tagih terus janjinya! :p

Kalau memang tidak sanggup menepati, ya jangan menebar janji. Jangan dikira mereka nggak bisa kita ajak negosiasi. Bisa kok, Bun. Mungkin kitanya yang nggak sabaran menghadapi ketantruman mereka. Atau kita terlanjur melabeli mereka sebagai anak yang sulit diberi pengertian.


3. Labelling

Ini juga yang sering dilakukan para orangtua. Saat kita lelah, kita bisa saja nyeplos melabeli anak dengan sebutan buruk.

"Kamu tuh ngeyelan."

"Anak nakal!"

Bahkan...

"Bodoh..."

Ah... Jaga mulut, jaga mulut, jaga mulut. Plester mana plester?

4. Tidak menghargai yang dilakukan anak

Saat anak ingin mandi sendiri. "Biar ibu yang mandiin, nanti ndak bersih."

Saat anak ingin pakai baju sendiri. "Biar ibu yang pakaiin. Kamu nggak bisa."

Saat anak ingin makan sendiri. "Biar ibu yang suapin. Nanti lantai kotor."

Saat anak diam-diam sisiran sendiri, terus ditunjukin ke ibunya kalau dia bisa sisiran sendiri. "Apaan? Rambut masih awul-awulan gitu. Sini ibu sisiran lagi."

Dia butuh diberi kesempatan, Bun. Dia juga ingin dihargai. Dia sungguh menanti pujian dari orangtuanya. Dan betapa bahagianya jika kedua orangtuanya terus menyemangatinya. :)

5. Mengancam

Saat anak tidak patuh, orangtua biasa main ancam.

"Kak, cepat mandi!"

"Entar dulu." Masih asyik main gadget.

"Buruan mandi. Kalau enggak, mama bakalan buang HP-nya ke kloset. Kakak nggak bisa main HP lagi, gimana? Mau?" Gertaknya.

"Iya. Entar. Dua menit lagi."

"Mama hitung sampai lima. Lebih dari hitungan ke lima belum ke kamar mandi, mama bakalan buang HP-nya ke kloset. Satu, dua, tiga..." Sudah lebih dari hitungan kelima, anak belum beranjak. HP-nya beneran dibuang ke kloset? Eman-eman lah.  Tuh, kan? Pakai ngancem nggak tahunya malah bohong?

6. Nyalahin benda mati yang nggak tahu apa-apa

Anak jatuh ke lantai. Nangis. Ibunya sok ngintrogasi pelakunya. "Duh, sakit ya? Siapa yang nakalin? Ini ya?" Sambil nunjuk lantai, lalu sok main toyor ke lantai. "Uhh, nakal ya."

Anak kejedot tembok. Nangis. Lagi-lagi si tembok yang nggak tahu apa-apa kena timpuk tangan emaknya.

Ah, kenapa nggak ditonjok sekalian, Bun? Tonjok betulan ya, jangan akting. Biar greget.

Apaan letoy gitu? Kurang keras. Lagi! Lebih keras! :p

7. Baby talk

Ini yang ngajarin siapa, yang diajarin juga siapa. Kenyataannya kebalik kan? Ortu kalau ngajakin ngomong ke bayi kebanyakan pakai gaya bicara ala-ala bayi. Dicadel-cadelin. Dimonyong-monyongin. Terutama simbah nih. Herannya, ibunya yang suka nganggep aneh, lha kok keceplosan niru pakai logat baby talk juga.

Mungkin inilah awal mula bahasa alay muncul kali ya? :p

8. Bawaannya amnesia kalau ngeliling bayinya

"Ini ciapa cih?" Udah baby talk, masih nanya siapa ke anak yang dilahirinnya. Amnesia? :p

"Ciapa cih? Adek Cipa ya?" Udah tahu anaknya namanya Shifa, eee...lha kok dicipa-cipain. Pantas saja kalau besar nanti, dia nggak bangga punya nama Shifa. Maunya dipanggil Shivanili. Dan bawaannya suka 'amnesia' kalau pas jalan sama teman, nggak sengaja ketemu emaknya yang jualan cireng keliling.

9. Main tuduh

"Dek, sisir Mama kamu taruh dimana?" Sambil nyari ke meja rias. "Kamu sih, apa-apa buat mainan. Bedak Mama buat mainan. Deodoran. Lipstik. Apalagi?" Ngomelnya sudah kemana-mana.

"Hadehhh...dimana sih? Kamu taruh ke mana sih, Dek?" masih sambil nyari sisir. Padahal ada di kasur. Tadi mau sisiran, nggak jadi karena ada telepon. Yang naruh? Ya, emaknya. Dan anaknya yang jadi tersangka. Gini saja, suka gengsi kalau harus ngaku dirinya yang teledor naruh sisir. Apalagi minta maaf.

10. Biar anteng, dipegangin gadget, ditontonin tipi

Padahal gadget dan televisi sesungguhnya si perusak mental anak kalau tidak didampingi dan dibatasi. Misal sudah dipilihin acara yang mendidik dan aman untuk usianya atau gadgetnya pun aplikasinya memang adanya yang edukatif, kalau berlebihan kan nggak bagus. Kreativitas anak kurang, mungkin bisa speech delay (untuk anak usia batita), kontrol emosi rendah, bahkan jika sampai kecanduan.

11. Menanamkan belief yang salah

Pernah pas ada anak kecil, keponakan saya nangis karena tabrakan sama cucu seorang nenek. Si neneknya berusaha menenangkan dengan menakut-nakuti hal yang jadinya malah fatal.

"Udah diem. Nanti kalau nangis, puasanya batal lho." Duh, anak kan bisa memahami hal yang salah, kalau nangis bisa membatalkan puasa. Padahal kan enggak.

"Bener kan Mbak?" Tahu saya lewat, si nenek nyari orang buat meyakinkan apa yang dia bilang.

"Ohhh....enggak kok. Nangis nggak batalin puasa." Hahaha, batinnya mungkin sepet banget kali ya. Ada orang yang berani nyangkal, apalagi si nenek jadi mati kutu di depan cucu dan anak tetangganya.

12. Nggak sabaran ngadepin tangis anak

Tangis adalah cara anak kecil meluapkan emosinya saat keinginannya tidak terpenuhi. Tangis akan jadi senjata jika tiap apa yang dia mau, lalu nangis, langsung dituruti. Padahal kan enggak semua harus dituruti. Kalau toh dituruti, nggak harus hari ini juga. Maka penting sekali bagi orangtua untuk melatih si kecil mengontrol emosi, ajari anak menunggu dan berikan pengertian saat yang dia mau tidak (belum) bisa dituruti.



13. Overprotektif

"Dek, jangan main ke situ, nanti jatuh."

"Dek, jangan pegang itu nanti kotor."

"Awas, jangan mainan kayu nanti keculek (kena mata)."

"Dek, nanti kejedot. Dek, nanti kegunting. Dek, nanti kepleset. Dek..."

Ini salah, itu salah. Ini nggak boleh, itu juga nggak boleh. Batin anaknya, "Terus aku kudu piye?"

14. Nggak ngasih kesempatan anak untuk menyelesaikan masalah sendiri

Saat ada PR di sekolah, anak nggak bisa ngerjain, ibunya yang nyelesain. Sampai-sampai tiap ada PR, selalu ayah ibunya yang ngerjain. Buat orangtua, lebih baik PR betul semua, anak nggak dimarahin, ketimbang soal ada yang salah dan nanti kena ejek temannya.

Pas anaknya dicuekin saat main sama temannya saja sudah tersinggung. Langsung jemput anaknya. "Lain kali nggak usah main sama dia. Toh, kamu cuman dicuekin gitu." Dicuekin saja reaksinya begini, apalagi kalau kena bully?

15. Selalu merasa benar

Orangtua bisa saja salah atau keliru. Namanya juga manusia. Kalau tahu salah, biasanya dia masih bisa ngeles. Mikirnya masih anak-anak. Padahal kan anak-anak kan kritis-kritis. Hihihi.

Pinter nasihatin, tapi dilanggar sendiri. "Jangan nonton tipi, waktunya belajar." Mereka malah tetap nonton tipi tapi nyuruh anaknya belajar.

Pas anaknya pulang dari main di kebun langsung dimarahin habis-habisan. Saat tahu anaknya bawa sarang lebah, amarahnya makim menjadi-jadi. "Kayak gitu dibawa pulang, entar kamu disengat lebah gimana?"

"Lebahnya nggak ada kok, Pak. Ini enak. Coba bapak rasain."

Pas dirasain. "Oh, enak ternyata." (Ini nggak ngayal lho. Yang ngalamin yang nulis sendiri).

Inilah BunYah kece, kesalahan yang sering kita lakukan dalam mengasuh anak-anak kita ternyata luar biasa banyak. Kalau diterusin lagi mungkin udah kayak oloran kabel. So, BunYah, mari kita introspeksi. Terus belajar. Dan perbaiki diri. Semoga kita bisa menjadi orangtua yang mampu membentuk generasi shaleh/ah sehingga tidak timbul penyesalan di kemudian hari. Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Lakukan semaksimalnya, dan mulailah dari sekarang. :)

*tulisan ini sudah saya lempar duluan di facebook. Biar bisa dibaca setiap saat, saya posting juga disini. :)

Senin, 12 Desember 2016




"Siapa ini yang jual?" tanya saya pada seorang anak laki-laki bertubuh mungil, 8 tahun, yang duduk di kursi berwarna putih di sebelah meja untuk jualan bakso bakar, sore itu. Saya tanya begitu karena saya pikir ada ayah atau kakaknya yang jualan. Dia hanya sekadar menunggu, pikir saya.

"Aku." jawabnya sambil berdiri. 

"Oh, kamu yang bakar sendiri?"

"Iya. Mau beli berapa?" tanyanya sembari mengibas-ngibas kipas agar arang kembali memerah. 

"Beli 5 ribu ya."

"Iya. Tunggu sebentar ya. Duduk dulu disini." Tangan mungilnya sigap menggeser kursi putih yang tadi didudukinya untuk didekatkan kepada saya.

"Emang ayah kamu kemana?" tanya saya setelah duduk sembari memangku si kakak yang ikut serta. 

"Lagi istirahat di rumah." Ya, saya tahu, ayahnya ini seharian jualan bakso bakar keliling dari kampung ke kampung dengan motornya. Jika dagangan belum habis, mereka akan gelar lapak di pinggir jalan raya dekat rumah saya. Biasanya yang nunggu anak-anaknya. Dan yang paling rajin adalah anak laki-laki bertubuh mungil yang hingga sekarang saya belum tahu namanya. Ba'da Maghrib, ayahnya yang akan menggantikan.

Hari mulai gelap. Angin berhembus kencang. Tangan mungil itu dengan kekuatan prima terus mengipasi bakso bakar dengan kipas anyaman bambu ukuran besar. Sembari menunggu, ia menyiapkan bungkus dari kertas minyak yang sudah dibentuk mengerucut. 

"Kamu kelas berapa?" 

"Kelas tiga."

Bakso bakar sudah matang. Diangkatnya lima tusuk bakso bakar itu lalu dilumuri saos kacang tanpa saos cabe sesuai permintaan saya di awal. "Makasih ya." ucapnya mengulas senyum. 

Pas di rumah, bakso bakar hasil kipasannya lumayan juga. Untuk anak sekecil itu sudah luar biasa. Saya sedikit maklum meski ada satu tusuk yang agak gosong. Ada pula satu tusuk lain yang isi baksonya lepas satu. Mungkin pas dibolak-balik di tempat bakar tadi ada yang jatuh. 

***

Pernah terpikir? Ibu macam apa yang tega meninggalkan anak semandiri ini hanya karena cinta pertamanya hadir kembali dalam hidupnya? Bahkan, ada sembilan anak lain yang juga ditinggalkannya? Anak terkecilnya malah, ketika ditinggalkan, masih usia batita (sekarang usianya sekitar 5-6 tahun).

Yang saya tidak habis pikir, kesepuluh anaknya sangat mandiri sekali. Mereka semua akrab. Jika orang tidak mengenal mereka, mungkin akan dikira teman sepermainan karena selisih usia berdekatan.



Saat siang hari, sepulang sekolah, mereka akan menjemput neneknya yang berjualan di pasar. Menjemput bergantian. Kadang kakak perempuan yang sudah remaja. Kadang berdua dengan kakak laki-lakinya yang entah nomor berapa. 

Sore hari, kakak perempuan yang sudah SMP naik motor dengan membawa bronjong berisi barang dagangan bakso bakar untuk dijajakan di pinggir jalan raya Sragen - Ngawi. Mereka sering berjualan bertiga. Terkadang hanya salah satunya.

Pernah satu ketika karena langit terlihat mendung, ia dan kakak laki-lakinya (yang sepertinya hanya selisih 2 tahun), terpaksa mengemasi barang dagangannya. Saya yang hendak membeli bakso bakar hanya bisa menelan ludah saat melihat mereka berdua berjalan kaki membawa tas berisikan bakso bakar ke arah jalan kampung. Manik mata saya terus mengamati mereka. Terutama anak laki-laki mungil itu.

Saya terpana. Tangan mungilnya tampak keberatan menenteng tas anyaman warna biru muda itu. Sesekali ia letakkan di jalan, istirahat. Lalu ganti tangan kirinya. Kakak laki-lakinya yang tubuhnya tidak sekurus adiknya, sigap menenteng satu tas anyaman dan satu box ukuran sedang.

Ah...lagi-lagi saya tak kuasa membayangkan, ibu macam apa yang sampai hati meninggalkan mereka yang bagi saya, sangat luar biasa. Meski saya tak mengenalnya, saat berpapasan di jalan, mereka--siapapun diantara mereka--akan menyapa saya atau sekadar melayangkan senyum. Kata tetangganya, mereka ini juga nrimo sekali dengan keadaan mereka. Apapun yang dimasak neneknya tetap lezat bagi mereka. Mereka akan menyantap makanan bagaimanapun lauknya. 


Sudah beberapa bulan ini mereka tak lagi jualan bakso bakar di pinggir jalan raya. Mungkin pasarannya kurang bagus. Padahal saya hanya beli bakso bakar milik ayahnya yang terjamin kehalalannya. 

Karena kurang laku, ayahnya kini berjualan bakso kuah keliling. Dalam hati saya berdoa, semoga dagangannya laku. Semoga Allah memberi kelancaran rezeki bagi mereka. Rezeki yang berkah karena ia harus menghidupi kesepuluh anaknya.

Anak pertamanya sudah lulus SMA. Mungkin usianya kini sudah 20 tahun. Entah kerja atau kuliah, saya kurang tahu pasti.

Semua anaknya ikut ayahnya. Dulunya mereka tinggal di Sumatra. Setelah ibunya lari dengan laki-laki lain--yang katanya cinta pertamanya--mereka pulang ke rumah neneknya di Sragen, Jawa Tengah, dekat tempat tinggal saya.



Ah, cinta pertama. Betapa banyak orang yang mudah terlena saat cinta pertama--yang dulu tak jodoh, hadir kembali dalam hidupnya.

Seperti si A, yang selingkuh dengan cinta pertamanya dan menjalani hubungan tanpa ikatan pernikahan. Bahkan si B, yang rela mendedikasikan rahimnya untuk dihuni janin hasil perzinaan dengan cinta pertamanya yang sudah menikah dengan yang lain. Katanya, untuk kenang-kenangan dan buah hatinya sebagai bukti cinta diantara mereka. Na'udzubillah min dzalik. Betapa cinta membutakan mereka. Cinta atas dasar nafsu. Cinta yang disisipi rayuan-rayuan syaitan. Dan mereka pun terlena hingga berbuat kemaksiatan.

Inilah mengapa cinta dalam pernikahan itu seharusnya tumbuh, bukan jatuh. Jika jatuh, maka benih cinta boleh jadi jatuh di tempat sembarangan. Mungkin ia tidak bisa tumbuh dan menjadi benih yang mengering. Mungkin juga bisa tumbuh, tapi tumbuh di lahan yang tidak tepat. Tanpa dirawat. Tumbuh sesukanya. Semaunya. Tidak ada aturan, kapan ia disiram, kapan ia dipupuk dsb. 

Lain jika pernikahan yang dijalani karena mengharap ridha Allah. Benih cinta akan tumbuh subur seiring perjalanan waktu karena terus dirawat dengan tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Sekalipun awalnya tak saling mengenal (karena mereka bukan penganut pacaran sebelum menikah), tapi ini tak menjadi soal. Karena Allah akan tumbuhkan cinta dan kasih sayang diantara mereka sebagaimana firman Allah SWT yang artinya, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (QS. Ar-Ruum 21)


Tanpa banyak kata, saya doakan, semoga anak-anak ini tumbuh menjadi anak yang shaleh dan shalehah. Mereka bisa menjaga akhlak mereka. Tetap berjiwa qana'ah. Teguh memegang prinsip. Dan tercapai cita-cita mereka. Amiin.

Sabtu, 03 Desember 2016




"Haduh, Bu. Anakku itu udah kuliah, kalau pulang ke rumah, cuman nyuci baju saja nggak mau. Semua yang ngerjain ibunya. Dia itu malasnya luar biasa, sampai aku kalau di rumah bawaannya cuman marah-marah." Curhat seorang ibu suatu ketika. Bukan ke saya, ke ibu yang seumuran dengannya. Hihihi.

Mungkin semenjak kecil, anaknya ini selalu dimanjain kali ya. Anak nggak pernah dilibatkan dalam beberapa tugas rumah tangga. Semua dikerjain ibunya. Tiap kali anaknya ingin terlibat di dalamnya, dia hanya dianggap sebagai tukang ngerecokin. Mungkin ibunya marah-marah ketika anaknya ikut bantuin. "Sana...sana! Entar kotor lagi!" 

Sama halnya dengan seorang ibu yang mengeluh jika anaknya yang sudah kuliah juga tidak mau bantu pekerjaan rumah tangga. Seringnya 'ngumpet' di kamar. Online. 

"Padahal aku udah nyontohin lho. Kok dia ini nggak mikir sampai ke situ?"

Yang saya tahu, ibu ini hanya sekadar memberi contoh saja. Tiap anaknya pulang sebulan sekali, ibunya akan berusaha memberi contoh dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga seperti nyuci baju, nyetrika, nyapu, ngepel, bersihin kamar mandi dsb. Semua dikerjakan sendiri tanpa melibatkan anaknya. Dari dulu seperti ini. Mikirnya sih, untuk memberi contoh. Padahal contoh saja tidak akan efektif jika tidak melibatkan anaknya. Ibu ini semasa anaknya masih kecil juga termasuk ibu yang cerewet tiap kali anaknya ingin terlibat dalam pekerjaan rumah tangga. Karena mikirnya, masih anak-anak, bukannya bantuin malah ngacak-ngacak.

Padahal justru dari kecillah mereka belajar arti membantu tugas ibunya saat menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Sebagai ibu, saya selalu melibatkan anak-anak dalam beberapa pekerjaan yang ringan. Meski melibatkan, saya tetap tidak akan memaksa jika mereka tidak mau. Tapi alhamdulillah, mereka justru suka cita saat bersama-sama mengerjakan pekerjaan rumah seperti menjemur pakaian, melipat baju, menyapu, menata barang dagangan dsb.


Si kakak, 3 tahun 11 bulan, karena dia ini tipe anak yang senang bergerak, dia justru senang sekali jika dilibatkan, bahkan saat ayahnya mengangkat minuman kardusan pun dia nekat pingin bantuin. Hihihi. Sedang si adik, 15 bulan, saya sudah melatihnya minimal dia bisa mengerjakan keperluannya sendiri. Misalnya sehabis mandi, saya minta si adik ambilin bedak, minyak telon atau sisir. Saat ke pasar pun, saya minta dia ambilin gendongan (karena dia belum bisa jalan :D) dan juga jilbab bundanya. Dia sangat senang sekali dilibatkan. Setelahnya saya akan puji dia, saya peluk dan kasih hadiah kecupan sayang. 


Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Bunda ketika melibatkan si kecil dalam tugas rumah tangga.

1. Jangan memaksa


Ada anak penjual jajanan pasar, 5 tahun, dia sampai menangis karena ibunya terus memintanya mengangkat barang-barang dagangan. Peluh keringat menyembul memenuhi keningnya. Mungkin dia lelah. Mungkin juga dia belum sarapan. Orang-orang yang melihatnya merasa kasihan. Ketika ada yang mengingatkan agar anaknya istirahat dulu, ibunya malah marah. "Aku dulu juga digituin ibuku. Itu biasa," timpalnya sewot.

Kasihan kan kalau begini. Lagi pula, memaksa anak hanya akan membuatnya tertekan. Dia mau bantu hanya karena terpaksa, karena jika tidak dia akan kena marah. Akibatnya anak mau membantu bukan tumbuh dari hatinya. Saat besar nanti, bukan tidak mungkin dia akan jadi anak pemberontak karena terus disuruh ini itu oleh ibunya.

2. Tawarkan dulu apakah mau bantu atau tidak


Karena tidak memaksa, sebelum melibatkan, tawarkan dulu ke anak apakah dia mau bantu saat bundanya nyuci baju, ngelipat pakaian, memasak dsb. Misalnya saat saya hendak membuat cilok, camilan pesanan kakak. "Mau bantuin bunda nggak?" Kadang dia mau bantu, tapi kadang dia nggak mau karena mau main sama temannya. 


Dengan menawarkan terlebih dahulu akan melatih anak untuk mengungkapkan pilihannya. Anak juga akan merasa didengarkan keinginannya apakah dia mau bantu atau ingin bermain bersama teman-temannya. 


3. Buat aktivitas bantu-bantu jadi menyenangkan


Bagi anak saya, membantu bundanya mengerjakan tugas rumah tangga itu layaknya bermain seru. Saya berusaha menjadikannya semenyenangkan mungkin. Misalnya dengan membuat lelucon, sambil bernyanyi dsb. Biar seru kadang dibuat seperti estafet. Saat mengangkat barang dagangan yang ringan, adiknya ambilin barang (dengan intruksi dari saya), dilanjut bundanya, lalu kakaknya yang senang berjalan akan mengangkatnya ke etalase (natanya belakangan :D). 

4. Hargai usahanya


Ketika si kakak ikut bantuin jemur pakaian, meski nggak rapi tetap saya biarkan. Kecuali jika masih ada sela atau menumpuk baju yang dijemur, saya akan ingatkan jika sebaiknya yang sela diisi lagi dengan yang ditumpuk tadi.

Biar lipatan bajunya nggak rapi, saya tetap biarkan dan lebih memilih menghargai usahanya. Ini waktu kakak umur 3 tahun 2 bulan.
Saat dia mau bantuin ngelipat baju pun, saya tetap nggak nata lagi jika bentuknya sudah seperti lipatan. Toh yang dia lipat hanya baju atau celana adiknya atau dalamannya dia sendiri. Saya hanya perlu berdamai dengan hasil yang kurang rapi. :D


Dengan begini, dia merasa hasilnya dihargai bundanya. Jika memang hasilnya masih acak-acakan, baru saya perbaiki lagi sambil kasih tahu jika caranya yang benar begini tanpa mencerca usahanya. 


5. Ucapkan terima kasih dan beri pujian


Setelah dia bisa menyelesaikannya, saya akan ucapkan terima kasih karena sudah dibantu. Lalu saya puji dia.

"Wah, kakak pintar." puji saya ketika dia mau mengambilkan gula merah di tempat utinya (ceritanya minta gula merah karena lupa nggak beli di pasar :p)

"Kakak baik!" puji saya ketika dia dengan tanggap tanpa diminta saat tahu adiknya haus, dia sudah ambilin air minum di kulkas. 

Atau...

"Kakak hebat!" puji saya saat dia berhasil menata baju di lemarinya.

Setelah memujinya saya akan peluk dia sambil memberi sun sayang kepadanya. Hanya dapat pujian, pelukan dan sun sayang saja dia sudah bahagia sekali. Dia merasa dihargai usahanya. Dan merasa diandalkan.

Dengan sikap diatas, insyaAllah anak akan suka cita ketika dilibatkan dalam beberapa pekerjaan rumah tangga. Bahkan tanpa diminta pun dia sudah tanggap untuk membantu bundanya. Setidaknya bakat ngerecokin ala anak-anak bisa kita arahkan untuk membantu pekerjaan kita. Ya, meskipun hasilnya terkadang malah acak-acakan, tidak apa-apa. Kita hanya perlu berdamai saja dengan hasil yang kurang atau bahkan tidak sempurna. Semoga dengan melibatkan mereka dalam beberapa tugas rumah tangga sedari kecil akan menjadi kebiasaan saat mereka besar nanti. :)

Senin, 21 November 2016


Siaran di box siar. Foto kiriman teman, karena foto siaran saya hilang semua gegara laptop minta diformat ulang sementara data belum sempat di-back up. :D

Mungkin banyak yang pingin jadi penyiar radio? Hihihi. Iya, profesi ini memang banyak diimpikan sebagian orang. Biar sering dianggap sebagai pekerjaan nggak jelas, batu loncatan atau bahkan gajinya cuman kecil tapi nggak dipungkiri kalau peminatnya lumayan banyak juga.

Terbukti saat stasiun radio tempat saya bekerja dulu, tiap kali membuka lowongan penyiar, pasti yang daftar segambreng. Sebelum siaran di radio dakwah di Solo, saya pernah juga melamar jadi penyiar di radio jaringan di kota lahir saya, Sragen, yang daftar pun juga puluhan. Padahal cuman diterima 2 penyiar doang. Hahaha. Bahkan sekelas radio kampus pun yang daftar juga banyak. 

Kenapa banyak orang kepingin jadi penyiar radio? Padahal kalau dilihat berapa gajinya mungkin tidak begitu besar dan bahkan tidak menentu karena hanya dihitung per jam siaran selama sebulan (beberapa stasiun radio punya kebijakan masing-masing. Kalau di radio saya, semua penyiar asal bukan penyiar trainee fee per jam-nya disamaratakan. Bedanya, tidak setiap penyiar punya jam mengudara sama. Ada yang jam on air-nya tinggi, ada pula yang siaran cuman 16 jam sebulan saja. Nah, yang jam siarnya sedikit inilah yang gajinya cuman sak umplik :D). 

Lalu kenapa peminatnya banyak? Beberapa alasan ini mungkin yang menjadikan profesi sebagai penyiar radio itu diminati banyak orang.

1. Eksis


Siapa sih yang nggak kepingin dikenal banyak orang? Mungkin hanya orang-orang introvert yang nggak ingin dikenal banyak orang (xixixi, bener nggak sih? :D). Paling enggak, nama kita dikenal seantero komplek lah. Heuheu.

Dan menjadi penyiar radio adalah salah satu cara agar kita dikenal banyak orang. Bahkan sekelas radio kampus yang siarannya hanya menjangkau hingga 5 km pun nyatanya bikin penyiarnya punya banyak fans. :D

Dulu ketika saya daftar jadi penyiar di radio kampus di Faperta UNS, saya tak menyangka jika nasib saya benar-benar berubah. Awal daftar sebetulnya hanya untuk melatih public speaking agar saya tidak grogi saat berbicara di depan. Tapi setelah beberapa waktu siaran, saya mulai menyukai bidang ini. Saya tak menampik jika saya saat itu juga sedikit keblinger dengan virus mendadak eksis.

Ya, saya yang hanya mahasiswi polos, pasif organisasi, anak rumahan, dan tidak banyak dikenal orang, tetiba berubah menjadi serasa 'artis'. Jika saya tidak siaran, pendengar yang rata-rata mahasiswa dan anak sekolahan, pada nyariin saya. Handphone saya yang tadinya sepi telpon dan sms (dulu belum ada WA, hahaha udah tua ya saya :D), tetiba mendadak jadi ramai. Bahkan saat tengah malam pun ada saja orang iseng yang main miss called. Fuihhhh...

Apalagi ketika saya siaran di radio dakwah di kota Solo. Nasib saya banyak yang berubah. 

Dulu, saat saya jalan berdua dengan teman saya, yang disapa pasti hanya dia seorang. Saya dicuekin. Padahal pernah sekelas. Hahaha.

Dulu, ketika teman-teman sekampus yang berasal dari SMA yang sama, jika ada kegiatan mereka diberitahu. Saya? Nggak pernah dikabari. Bahahaha.

Ngenes? Enggak. Saya tahu diri kalau (saat itu) saya memang nggak dikenal oleh banyak orang. Ohokohok.

Tapi, setelah saya jadi penyiar radio, mereka yang tadinya cuek dengan saya, kalau saya jalan, minimal senyum terulum dari bibir mereka. 

Teman-teman SMA yang saya pikir nggak tahu saya, eh ternyata mereka pada tahu saya. Saat saya beli aksesoris komputer, eh pemilik tokonya juga tahu saya. Saat saya angkat telpon di kantor majalah--tempat kerja saya yang lain, si penelpon langsung tahu saya. Bahkan saat saya mengenalkan diri hanya menyebut nama Isna, orang di seberang sms sana sudah langsung nyambung kalau itu Isna penyiar, padahal saya bilang dari redaksi majalah Respon. :D

Ini mungkin agak narsis. Tapi begitulah. Memang menjadi penyiar membuat kita (sedikit) eksis. Hanya satu pesan saya: jangan keblinger dengan keeksisan. :D


2. Kerjanya enak


Gimana nggak enak? Kerja cuman duduk di kursi siar, sambil ngomong, dapat duit. Pas nge-play musik atau iklan, kita bisa istirahat sejenak. Kadang leyeh-leyeh senderan di kursi putar sambil dengerin lagu nasyid (saya kan di radio dakwah) di headphone. Kadang online sebentar. Kadang sambil nyicil sarapan. Atau bahkan sampai tiduran sebentar di meja siar karena masih ngantuk--efek pagi-pagi siaran (hahaha, parah :D). 

Malah, di saat tengah siaran--karena lagi muter lagu, saya keluar sebentar dari box siar. Saat itu ada artis yang datang ke studio nengokin temannya. Saya diajakin partner siar saya buat foto bareng sebentar. Ngahaha, lebih parah kan? :p

Ruang siar radio Persada FM Solo, diambil dari ruang khusus narasumber yang tempatnya terpisah.

3. Menjadi Diperhitungkan


Iya, inilah yang juga saya rasakan. Dulu, mana ada orang yang ngelibatin saya untuk menjadi panitia dalam kegiatan? Nggak ada juga yang nawarin saya daftar organisasi kampus, entah BEM, entah rohis dsb. Padahal teman-teman saya ada yang daftar karena awalnya ditawari dulu. Kalau usul atau menyampaikan pendapat, saya juga lebih sering diketawakan karena suara saya saat itu malah kedengeran aneh saking ndredeg-nya. Hahaha. Overall, saya itu udah mirip kayak seorang figuran di sinetron yang sebenarnya menjadi bagian di dalamnya tapi perannya diabaikan penonton. Bahahaha.

Tapi semua perlakuan itu berubah drastis ketika saya jadi penyiar radio. Tiap kali ada kegiatan atau event-event tertentu baik yang digelar stasiun radio atau di luar itu, saya selalu dilibatkan dari awal hingga akhir. Bahkan tak jarang, saya yang awalnya hanya sekadar membantu justru malah jadi pemain inti karena ketua panitianya hanya eksis saat rapat saja. :D Saat saya usul, didengarkan bahkan langsung disetujui. Saya bahagia sebetulnya, tapi di balik itu ada rasa kecewa yang mendalam. Betapa banyak dari kita yang melihat dari covernya dulu: cover bagus berarti oke. Padahal belum tentu begitu bukan?

4. Banyak dapat gratisan


Bisa dibilang, saya untung banget jadi penyiar. Gimana enggak? Habis ngecuis siaran, ada pendengar datang bawain kacang rebus, kedelai rebus dan pisang rebus. Kadang tahu goreng, gulai kambing, cup cake, keripik dan aneka makanan lainnya. Kadang beli di warung yang mereka ini pendengar, nggak mau dibayar. Apalagi atasan di radio orangnya juga lomo banget. Kalau pas lagi ngumpul, "Yuk, kita makan disitu!" Atau pas habis acara--padahal saya dan teman-teman sudah kenyang makan prasmanan tamu--masih diajakin mampir kulineran.

Saat siaran bareng salah satu provider, dapat gratisan HP. Hanya becanda minta digratisi buku, ternyata beberapa waktu kemudian saya dikirimi buku. Dan entah mengapa, nomor saya sering dikirimi pulsa. Ada yang ngaku ngirim, tapi banyak juga yang enggak. Enak berlipat-lipat nggak tuh? Gaji sih cuman 200-300an ribu (ups, pura-pura nyeplos :p), tapi gratisannya banyak tak terkira. Wkwkwk.

Ini belum keitung kalau tiba-tiba saya diajakin salaman, nggak tahunya saya dikasih uang. Apa?! Nyogok? Bukan, cuman ngasih, dibalikin nggak mau. Akhirnya buat nraktir teman-teman radio. Ya, walau masih kurang, dan ujung-ujungnya yang diajakin yang nombokin. Ngahahaha.


5. Dapat tawaran kerja


Inilah mengapa profesi penyiar radio itu sering dijadikan sebagai batu loncatan. Ya, karena jadi penyiar radio itu menjadi nilai plus banget buat kita, terutama untuk mendapatkan pekerjaan lainnya. 

Saya ditawari jadi redaktur sebuah majalah dakwah juga karena saya penyiar dan tentu, karena mereka tahu saya juga bisa menulis (sebelumnya saya sudah lebih dulu bergabung menjadi tim redaksi lewat audisi). Karena tahu saya penyiar, saya sering jadi MC atau moderator di SMA saya dulu. Ada juga sekolah milik ibunya teman kenalan. 

Hanya sayangnya, saya tetap nggak enak kalau dibayarin. Merasa sini cuman apalah, karena belum bisa jadi MC atau moderator yang oke kayak teman-teman penyiar yang super duper lebih keren. Kalau diamplopin, biasanya saya kembalikan lagi. Kadang juga hanya dapat bingkisan parcel, tapi tetap saja saya ngerasa nggak enak nerimanya--walau tetap diterima. Ngahahaha.

Foto enam tahun lalu yang saya dapat karena di-tag pendengar di Facebook. :D

Gimana? Enak kan jadi penyiar radio? Hihihi. Tapi bagi saya, dikenal banyak orang justru membuat saya tidak nyaman. Gimana nggak nyaman? Orang tiap hari di-smsin pendengar. Kalau enggak balas, dia akan ngasih dalil, "jawab salam itu wajib lho." Padahal sehari dia bisa sms salam sampai lima kali bahkan lebih. Apa nggak terganggu tuh? Kadang diajak curhat, kalau nggak dibalas saya disebut sombong. Awalnya saya balas karena dia ini perempuan. Tapi kok ya lama-lama malah diajak curhat, bahkan curhat yang nggak penting. Kadang sudah malam pun ada saja yang masih sms atau telpon. Kalau di fb terkadang saya bisa kena unfriend, walau beberapa waktu kemudian dia add lagi. Hahaha.

Kadang kalau jalan di satu tempat, ada yang nyenyumin, karena merasa nggak kenal saya nggak balas tersenyum, saya bisa saja dicap anggak (bahasa Jawa) atau sombong. Lebih-lebih saya jadi penyiar di radio dakwah milik yayasan dakwah yang jumlah jamaahnya besar. Tingkah laku kita hingga gaya pakaian atau jilbab yang kita kenakan juga ikut disoroti. Bahkan hanya sekadar unggah foto kru yang putri ada di depan sementara kru putra di belakang saja dapat kritikan. Padahal biar kelihatan dekat, sebetulnya ada jarak sekitar satu meter lho. Hihihi.

Baca juga : Resign karena Panggikan Jiwa Menjadi Ibu

Sekarang saya sudah resign dan memilih menjadi ibu rumah tangga sejak pertengahan tahun 2012 lalu. Kini kehidupan saya kembali seperti saat saya belum menjadi penyiar radio. Saya hidup jauh dari orang-orang yang mengenal saya. Saya tak pernah lagi menjadi MC apalagi moderator. 

Kini, saya hanyalah emak erte biasa yang jarang kemana-mana. Pun begitu, saya justru menikmati kehidupan seperti ini. Serasa damai. Jika pergi ke satu tempat, saya tak perlu merasa bersalah ketika ada orang yang terlihat tersenyum ke arah saya. Ya, karena saya yakin, pasti dia tengah tersenyum kepada orang yang ada di belakang saya. Sama halnya yang sering saya alami saat belum jadi penyiar radio dulu.

So

Jadi penyiar radio itu enak nggak sih? Silahkan dijawab sendiri-sendiri. 

Lah?! Kok malah balik nanya? Ahaha ahihi. :D

Kamis, 17 November 2016

Tulisan ini sudah saya posting terlebih dahulu di Facebook. Ya, biar pesannya sampai kepada para suami. Nah, biar tulisan ini bisa dibaca sewaktu-waktu, saya posting disini juga. Hihihi.


Jujur ya, suami. Bagi kami, suami akan terlihat ganteng maksimal kalau doi mau bantuin kerjaan istrinya. 

Tahu ada cucian numpuk di bak, belum sempat dijemur, dia langsung angkat ke jemuran. Jemurin baju.

Tahu istrinya repot masak di dapur, doi ambil alih mandiin anak-anak. Pakaiin baju. Sisirin. Bedakin.

Tahu lantainya kotor, istri sudah rempong ngurusin anak-anak, langsung ambil sapu. Disapu bersih. Syukur-syukur dipel sekalian.

Tahu kamar mandi lumutan. Istri belum sempat nyikat kamar mandi lantaran si bocil rewel mulu karena demam, kamar mandinya langsung disikat bersih. 

Atau kalau enggak, ambil alih momong anak dulu, biar istri yang nyelesain kerjaan rumah tangga.

Tahu istrinya lagi morning sickness, karena dia bisa masak, ya sementara koki rumah tangga diambil alih. Kalau nggak bisa masak, beli di warung dulu.

Tahu istrinya lagi sibuk nyetrika baju-baju yang buat kerja suami, sementara si baby lagi pup ya urusin sendiri saja dulu. Nggak perlu harus panggil istrinya. "Sayang, adek lagi pup nih. Cepetan gantiin popoknya." Ya, kalau emang nggak mau gantiin, minimal gantiin nyetrika bajunya, gimana?

Harapan kami tak muluk-muluk kok, suami. Cukup bantuin yang ringan-ringan, yang suami mampu mengerjakannya. Tanpa kami minta, sudah tanggap sendiri. 

Membantu kerjaan rumah tangga itu bukan sesuatu yang memalukan. Jangan tengsin, jangan gengsi bantuin istri. Saya nggak mau membahas ini kewajiban siapa. Nanti ndak terjadi perang lagi.

Ya, karena berumah tangga itu soal saling memahami dan mengerti. Istri bukanlah robot yang sanggup mengerjakan rentetan pekerjaan tanpa istirahat. Dia pun bukan amoeba yang bisa membelah diri. Sekalipun kemampuan multitaskingnya tidak diragukan lagi, tapi dia hanyalah manusia biasa yang terkadang merasa lelah dengan segala kerempongan ini. 

Plis, jadilah suami yang ganteng maksimal di matanya. Jangan setengah-setengah. Kalau gantengnya setengah-setengah entar malah jadi aneh lho. Iya, aneh. Ruwet juga kalau muka sampeyan dari sebelah kanan mirip Song Jong Ki sementara dari sebelah kiri mirip Dede Sunandar (walau dari depan mirip Mas-mas yang jualan bakso bakar depan rumah :p).

Selasa, 08 November 2016




"Bun, aku mau dibuatin nugget."
"Bun, aku mau kolak."
"Bun, aku mau dibikinin cilok."
"Bun, aku pingin makan siomay."

Begitulah si kakak, 3 tahun 10 bulan, kalau lagi request camilan kepada bundanya (aslinya pakai bahasa Jawa kok, xixixi). Dia ini memang hobi nyemil. Makan nasi paling cuman seberapa, nyemilnya yang lebih banyak. 

Karena sedari kecil dia sudah saya biasakan tidak jajan sembarangan, jadi lebih mudah mengontrolnya. Sebagai konsekuensinya, emaknya yang harus uplek di dapur, bikinin camilan sendiri.

Kalau kita coba tengok jajanan anak yang biasa dijual pedagang keliling umumnya banyak yang tidak sehat. Cireng yang minyaknya sudah digunakan berkali-kali, minuman anak-anak yang mengandung pemanis buatan, bahkan ada juga yang sampai menggunakan pewarna tekstil hingga boraks atau formalin. Di tempat saya sendiri, nyatanya banyak pedagang juga menggunakan bleng untuk makanan seperti cilok, lontong, kerupuk dsb. Bleng bagi sebagian besar orang awam, dinilai sebagai bahan yang aman untuk makanan. Bahkan bleng juga biasa diperjualbelikan di pasar tradisional. Padahal bleng adalah bentuk tidak murni dari asam borat, sementara bentuk murninya banyak dikenal dengan nama boraks (detikfood).

Selain banyak yang tidak aman, jajanan anak umumnya hanyalah junkfood, makanan tinggi kalori tapi miskin gizi. Sementara jika kita bikin sendiri, kita bisa membuatnya dari bahan-bahan yang aman dan berkualitas. Agar mengandung gizi tinggi, kita bisa menambahkan aneka sayuran, protein hewani maupun nabati.

Seperti misalnya saat saya buat siomay kentang bayam saos kacang. Saya buat siomaynya dari dua buah kentang ukuran sedang ditambah 2 sdm tepung terigu dan 2 sdm tepung tapioka, agar siomaynya tetap empuk dan lembut untuk dimakan anak. Karena anak saya nggak menolak sayur, saya tambahin sayur bayam yang direbus dan juga telur puyuh. Siomaynya sudah mengandung gizi yang komplit bukan? Ada protein hewani, protein nabati, karbohidrat, lemak, vitamin, serat dsb. 

Siomay bayam telur puyuh (kanan) dan siomay kentang tahu saos kacang (kiri). Siomay dibuat dari kentang agar lebih empuk dan lembut.

Buat cilok pun pasti selalu saya mix dengan sumber protein (entah daging ayam, tahu, telur, ikan) dan juga sayuran (wortel, brokoli, kembang kol, kentang dsb). Saya biasa menggunakan bahan seadanya yang ada di kulkas. Sayur apapun yang dimasukkan, pasti mereka suka. 

Jika mereka ingin cireng (cilok goreng), biar aman dari kolestrol jahat (LDL), saya pakai minyak yang masih baru. Sementara kalau beli kan, minyaknya sudah dipakai berkali-kali. Masih panas langsung ditaruh di plastik pula. Hadeh... 

Biar menarik cilok cirengnya dibikin kekinian. Ini tetap dengan bahan-bahan lain yang bergizi seperti tahu, ikan, telur, sayuran dsb.

Mungkin ada ibu yang batin begini, "Aku mana bisa masak begituan? Masak menu harian saja masih sering dikritik suami?" Atau ada juga yang merasa nggak sempat bikin camilan sendiri karena keterbatasan waktu. 

Jangan gampang keburu nyerah gitu ah, Bun. Saya sendiri malah kalau masak suka nggak manut resep. Malas saja kalau harus nengokin resep terus-terusan. Masak cuman mengandalkan feeling yang kadang rasanya ada yang maknyus, ada juga yang kurang maknyus (karena kadang nggak dirasain dulu, atau hanya sekadar uji coba :D). Dulu malah, di awal saya masak saat jadi anak asrama, masaknya bahkan bermodal ilmu biologi, kimia, dan fisika. Hahaha, konyol kan? Tapi ternyata tiga ilmu itu kalau dipraktekin di dapur, nyatanya ya bisa juga. Hihihi.

Yang jelas, ketika Bunda ingin memberikan camilan yang sehat ke anak, kita harus punya tiga modal utama ini dulu.

1. Harus ada kemauan


Kalau Bunda sendiri nggak ada kemauan untuk memberi camilan sehat ke anak ya bawaannya pasti malas duluan. Ketika anaknya nagih pingin dibeliin cireng saat penjual cireng lewat, ya mau nggak mau dibeliin juga. Lain jika Bunda sudah terbiasa buat sendiri. Ada penjual lewat, anak minta dibeliin, kita bisa langsung cus ke dapur. Buatin cireng sendiri. 

Biar nggak punya oven dan tevlon, biar anaknya mau nasi, emaknya bikin pizza ala-ala dari telur, nasi dan bayam pakai wajan. Nekat kekinian kan? :D

Membuat camilan sendiri, selain lebih sehat dan bergizi, ini juga bermanfaat sekali untuk mengajari anak belajar sabar menunggu. Jika anak bisa dilatih sabar menunggu, maka kontrol emosinya akan bagus. Dia belajar tentang proses, tidak setiap yang dia mau akan langsung ada saat itu juga.

2. Sadar gizi


Ya, perlu kesadaran kita tentang gizi. Paling tidak, kita tahu tentang gizi seimbang yang mencakup karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan juga mineral. Kita harus paham setidaknya secara umum, bahan-bahan makanan mana yang mengandung karbohidrat, protein dsb. Tidak sulit di era sekarang untuk belajar ilmu gizi. Ikuti saja grup gizi atau akun gizi di media sosial, baca buku tentang gizi atau kalau sempat ikut seminar gizi untuk menambah pengetahuan kita tentang ilmu gizi.

Biar nggak repot, saya biasa buat agak banyak. Sisanya buat stok, disimpan di kulkas. Ini nuggetnya dari daging sapi, tahu, telur, wortel dan kembang kol. Komplit kan?


Saya sedikit menyayangkan ketika banyak ibu yang unggah foto makanan tapi disana banyak mengandung kalori tinggi, miskin sumber gizi lainnya. Buat cilok, hanya ada dari tepung kanji dan terigu. Padahal kan bisa kita tambah bahan lain yang bergizi. Buat puding, sudah gulanya segelas ukuran sedang, masih ditambah sekaleng susu kental manis yang gulanya tinggi. Padahal kan susu kental manis bisa diganti dengan susu cair yang kandungan gizinya lebih banyak atau mungkin bisa dilapis puding jagung, labu kuning, pisang dsb. Kalau sedari dini, anak dibiasakan dengan makanan yang tidak tinggi gula dan garam, insyaAllah dia akan terbiasa dengan rasa yang tidak terlalu manis dan gurih kok, Bun.

3. Percaya diri


Nah, ini juga penting sekali. Dengan modal ini, kita justru bisa berkreasi memberikan makanan atau camilan bergizi ke anak. Kebetulan, anak-anak saya ini lebih suka makanan yang sederhana atau yang biasa dia lihat saat temannya makan. Makanya saya suka malas kalau kepoin resep di Facebook. Lah, saya pernah beberapa kali pratekin resep itu, eh ternyata justru mereka nggak mau. Hahaha, padahal rasanya juga lumayan. :D Si kakak bahkan juga nggak suka sebangsa cake, brownies, bolu dsb. Maunya roti. Tapi karena belum punya oven ya sementara kalau mau roti, beli saja dulu. Xixixi.

Seperti halnya saya pede bikin puding jagung lapis jambu biji. Karena jambu biji kalau dibikin puding jadi bertekstur banget, pada akhirnya anak cuman mau yang bagian jagungnya. :D

Pada akhirnya saya harus pede berkreasi sendiri. Untung mereka makan yang sederhana pun mau. Nyemil jagung rebus, kacang rebus, telur rebus dsb. Namanya anak-anak, kadang suka moody. Hari ini mau jagung, besoknya belum tentu mau. Tapi untuk sebangsa cilok, cireng dan siomay, mereka selalu mauuuuuuu banget. Saking seringnya bikin, emaknya udah kayak pedagang cicisi, cilok cireng siomay. Hahaha.

Tingkat kepercayaan diri yang tinggi ini berpengaruh sekali dalam kesuksesan masakan yang kita masak. Kalau pada akhirnya gagal, kita akan lebih mudah mencari solusinya. Misal bikin puding jagung tapi anak nggak suka karena seratnya terlalu tinggi (karena nggak disaring, niru resep), pada akhirnya puding jagungnya diblender lagi, disaring, dibikin eskrim. :)

Kalau kita membiasakan untuk membuat camilan sendiri, insyaAllah mereka akan terbiasa tidak jajan sembarangan kok, Bun. Ketika dia mau makan siomay, bundanya bisa jadi tukang siomay buat dia. Mau cilok, bundanya bisa jadi tukang cilok buat dia. Ya, karena kita sudah membiasakan untuk membuatnya sendiri. Hayuk, Bun, bikin camilan yang sehat buat si kecil! :)

Senin, 31 Oktober 2016


Hanya ilustrasi

Beberapa waktu lalu saya membaca postingan seseorang di Facebook yang mengisahkan tentang anak kecil yang sudah tahu tentang (maaf) sex position. Sejujurnya saya tidak nyaman dengan gambar yang diunggah karena disana memperlihatkan sepasang anak kecil yang tengah lengket berciuman. Statusnya sebetulnya bagus, tapi gambar tersebut bisa saja tidak sengaja dilihat oleh anak-anak kita jika ibunya main share begitu saja. Sayangnya, banyak ibu yang bagikan statusnya lengkap dengan gambarnya. Padahal hanya copas dengan menyantumkan sumber kan sudah boleh. 

Kembali ke postingan tadi dimana si ibu tersebut mergokin tiga anak kecil lewat di depan rumahnya. Saat itu si anak laki-laki, 6 tahun, ngajakin anak perempuan, 4 tahun, main pipis-pipisan. Dia, si anak perempuan, disuruh jongkok. Sedang si anak laki ada diatasnya. Posisinya hampir mirip seperti sex position. 

Beberapa waktu lalu saya dengar kabar anak kelas 3 SD juga sedang (maaf) saling buka celana di sebuah masjid yang lagi sepi karena tidak sedang waktu shalat. Ada orangtua yang mergokin. Entah mereka hanya sekedar penasaran atau mau berbuat. 

Ada juga seorang ibu yang inboxin saya di Facebook. Dia anak kelas 3 SD, tiba-tiba menghampiri anak kecil perempuan. Dia bilang begini, "Dek, aku lihat ***** (tetooot nyebut itu) kamu dong." Kontan si emak dan orang-orang disana yang dengar mendadak terperanjat. Kaget petir. Jelegerrrr! 

Dulu saya pun pernah nyetatus di Facebook tentang anak laki-laki kelas 1 SD juga mengajak dua teman perempuannya pergi ke sawah dan memaksa mereka (maaf) buka celana. Murid TPA saya juga pernah cerita, kalau teman-teman cowoknya (kelas 3 SD), suka (maaf) ngusap-ngusap bagian d*d* teman kelas yang perempuan.

Ada seorang ibu juga pernah cerita ke saya. Ketika itu dia hendak buang air kecil di kalen (saluran air). Dipikirnya nggak ada orang. Eh, ada satu dink, anak kecil, usia 6 tahun. Karena mikirnya toh anak kecil, dia tetap BAK disana. Ah, baru sadar ternyata dia diintipin oleh si anak kecil tersebut. :(

Inilah BunYah, mental-mental anak kecil kita yang kekinian ruarrr binasahhhh. Di usia sekecil itu, otak polos mereka sudah dipenuhi oleh hal-hal mesum. Apa dipikirnya, beberapa dari mereka ini anak orang bejat? Anak dari ortu yang suka zina dsb? Justru sebaliknya, BunYah.

Anak yang kepergok di masjid tadi bahkan ortunya rajin pergi ke masjid. Kalau ke masjid, anaknya sering diajak serta. Anak yang ngintipin ibu BAK tadi juga dari orangtua baik-baik. 

Semua ini akibat dari apa?

Yep, salah satunya adalah gadget. Gadget itu selain candu juga polusi. Dia bisa mencemari otak anak-anak kita yang polos itu jika sering melihat video atau gambar yang tidak layak untuk dilihat. Umumnya orangtua, mereka tidak sampai memikirkan akibat yang ditimbulkan ketika anaknya sudah 'dicecoki' dengan gadget sejak kecil. Membiarkan anak main gadget sesukanya, tanpa batasan, tanpa pendampingan. Dipegangin gadget agar anaknya diam, nggak rewel, nggak usrek ngerecokin emaknya. "Lha gimana? Orang kalau dijauhin, dia ngamuk."


Malah bukan hanya pinjam milik ortu, tapi dibelikan. Alasannya? Karena anaknya minta, anaknya nangis. Pfff, lagi-lagi tangis anak merontokkan ketegasan ortu.

Ortu bahkan tidak mengecek isi di dalamnya apa saja. Selain karena abai, mereka juga gatek. Ironisnya, mereka justru bangga ketika anak kecilnya sudah pintar main gadget. Dipikirnya hanya main game, nggak tahunya game-nya pun ada muatan pornonya.

Bayangkan jika senyum polos mereka terpolusi oleh hal-hal (maaf) mesum di usia sekecil mereka.

Soal anak yang mengintip ibu yang BAK atau anak kelas 3 yang pingin lihat bagian ***** dari anak kecil tadi, dia ini korban dari kelalaian ortunya yang koleksi video atau gambar porno di hp. Padahal HP-nya terkadang dipakai anaknya untuk main game. Fuihhhhhh..

So, BunYah, mari mulai sekarang kita harus waspada. Jaga baik-baik anak-anak kita. Pendidikan seks sejak dini bukan hal yang tabu. Beri pengertian pada anak-anak kita tentang menjaga pergaulan meski mereka masih kecil. Saya sendiri bahkan melarang anak saya bergaul dengan anak yang lain jenis. Kecuali disana ada anak-anak perempuan lain dan saya mendampingi.

Jangan biarkan anak menonton televisi sendiri, bahkan dia nonton sinetron ABG yang pacaran itu. Nyesek banget pas tahu ada anak 4 tahun sudah hafal nyanyi cinta-cintain. Dan jangan biarkan anak-anak kita main gadget tanpa pendampingan, tanpa batasan. 

Mari, BunYah. Didik anak-anak kita dengan nilai-nilai agama sedini mungkin. Jangan hanya memasrahkan pada sekolah-sekolah Islam, sementara orangtua abai. Pun anak bersekolah di sekolah yang pendidikan agamanya bagus bahkan sampai dimasukin ke pesantren atau sekolah berasrama, jika orangtua hanya pasrah bongkokan, ya tentu hasilnya kurang bagus, bahkan mungkin anaknya akan menjadi pembangkang karena miskin perhatian ortunya. Semoga anak-anak kita tumbuh menjadi generasi yang shaleh/ah. Amiin. :)

Selasa, 25 Oktober 2016


Sumber gambar : pixabay

Beberapa waktu lalu saya dibuat penasaran saat seorang teman mengunggah foto di instagram yang juga dibagikan di Facebook. Dari caption foto tersebut membuat saya bertanya-tanya sendiri, meski sejujurnya saya nggak terlalu ngeh juga. Ya, karena dia menyebut dirinya adalah a girl, not a woman. Inilah yang membuat saya mengernyitkan kening, "Bukankah dia ini sudah menikah? Apa aku yang salah menduga atau hanya gagal paham?" tanya saya dalam hati.

Seingat saya dia memang sudah menikah. Tapi? Kok saya jadi sangsi sendiri. Selama ini saya memang belum pernah melihat dia posting foto bersama suaminya. Padahal dia juga sering mengunggah foto dirinya di media sosial. Kalau dia memang sudah nikah, masa' iya nggak sekalipun unggah foto dengan suami? Mungkin lain cerita kalau itu saya yang memang tidak pernah unggah foto pribadi di Facebook.

Karena penasaran, saya sambangi kronologinya. Ya, kali saja saya hanya salah mengira kalau dia sudah menikah, padahal nyatanya belum. Saya baca komentar yang masuk, ternyata ada yang komentar, nunggu undangan. Ah, berarti memang belum nikah, batin saya. Saya pastikan lagi untuk ngecek di bio-nya. Status lajang.

Clear? Lagi-lagi, saya belum yakin. Karena dalam ingatan saya, dia pernah ngasih tahu kalau dia mau menikah. Saya tanya seorang teman yang jadi rekan kerjanya di kantor.

"Emang dia sudah menikah kok, mbak." tulisnya di WA.

Ah, iya. Saat itu juga saya ingat kalau dia pernah ngundang saya untuk datang ke resepsi pernikahannya. Dasar otak emak-emak yang gampang lupa. Hihihi. Sejauh ini saya husnudzon, mungkin dia belum sempat mengubah status dari single menjadi married, karena sibuk kali ya (walau nikahnya udah hampir dua tahun lalu :D)

Mengapa Harus Menyertakan Status 'Married' di Media Sosial?


Ini penting sekali lho. Saya sarankan bagi yang sudah menikah untuk mengecek di profil socmed-nya masing-masing. Sudahkah mengganti statusnya dari lajang menjadi menikah? Jangan-jangan belum karena nggak sempet ngedit profil? Atau sudah diubah tapi statusnya nggak ditampilin di profil? Hanya di-private? Mulai sekarang, tampilkan status bahwa kita sudah menikah. Jangan diumpetin karena dampaknya bisa nggak baik.

Inilah alasan mengapa kita yang sudah menikah untuk menampilkan status 'married' di media sosial.

1. Nanti ada yang naksir, gimana?

Ini cerita dari seorang teman. Kala itu dia dibuat penasaran dengan sebuah artikel yang mampir di inbox-nya yang dikirimkan oleh seseorang lewat grup facebook. Hanya membaca artikel itu, ia sudah dibuat terkesan oleh penulisnya. Ia berusaha mencari tahu siapa penulisnya. Singkat cerita, ia menemukan siapa penulis aslinya.

Ah, ternyata dia adalah orang yang dikenalnya beberapa waktu sebelumnya karena terlibat dalam kegiatan yang sama. Tapi satu pertanyaan besar muncul, "Dia masih single atau sudah menikah?" Di Facebook pun, dia tidak menampilkan status lajang atau married. Sampai akhirnya, dia benar-benar tahu saat ada teman memberitahunya bahwa dia memang sudah menikah.

Hm, padahal diam-diam sudah naksir. Hihihi, karena sudah nikah ya nggak jadi. :D


Yep, inilah salah satu alasannya. Kalau kita nggak nampilin status 'married', boleh jadi akan mengundang mereka yang masih jomblo naksir ke kita. Apalagi jika kita juga hobi unggah foto sendirian tanpa pasangan di media sosial. Bahkan postingan kita pun juga terlihat seperti masih lajang dan tidak menunjukkan bahwa kita sudah berkeluarga.

Mungkin bagi sebagian besar orang memang memilih tidak ingin membawa hal pribadi di media sosial. Tapi kalau dia sendiri ngeksis sendirian di socmed, sementara dia sudah berstatus 'married', apa ini nggak berbahaya? Kalau memang tidak ingin membagi kehidupan pribadi, minimal tunjukkan status di bio bahwa dia sudah menikah. Atau seperti yang saya sering lakukan, ketika saya berbagi status di Facebook, saya akan beritahukan bahwa saya adalah seorang emak erte yang menunjukkan bahwa saya sudah menikah. Meski saya sendiri di Facebook tidak sekalipun mengunggah foto bersama suami, tapi lewat cerita dalam status itu orang-orang jadi tahu bahwa saya sudah menikah.

Kasihan lho kalau ada orang yang diam-diam naksir lalu dibuat patah hati karena yang ditaksir ternyata sudah menikah. Atau jangan-jangan justru itu yang diharapkan? Hadehhhh, kok gitu?!

Sumber gambar : pixabay

2. Mencegah dari orang-orang yang iseng dengan kita

Kalau kita menunjukkan status 'married', setidaknya ini akan aman dari orang-orang yang hendak iseng dengan kita di media sosialnya. Ya, meski geng ngiseng tetap ada sekalipun kita sudah memperlihatkan bahwa kita sudah menikah. Paling tidak, kita berusaha mencegahnya. Selain itu, tetap jaga sikap terutama dengan mereka yang laki-laki karena jika terlalu akrab atau berlebihan bisa menimbulkan fitnah.

3. Orang mungkin akan berprasangka buruk, "Jangan-jangan pernikahannya bermasalah?"

Ya, boleh jadi bagi mereka yang tahu bahwa kita sudah menikah, akan berprasangka buruk, hingga menduga-duga sendiri karena mengira kehidupan rumah tangga bermasalah. Padahal boleh jadi memang baik-baik saja.

Lain jika kita membagi status sederhana semacam, "Sekalinya pingin martabak, eee...suami pulang kerja bawa martabak manis. Makasih ya, suamiku. Tanpa diminta sudah dibeliin. :-)" Status macam ini nggak pamer lho. Setidaknya, dia menunjukkan bahwa hubungan dengan suaminya baik-baik saja. Dia juga memperlihatkan kebaikan suami. Kalau dinilai pamer, ya itu sih terserah mereka mau menilai gimana. Ketimbang nyetatus curcol ngeluh mending kan ekspos kebaikan pasangan. Lak iya tho? :)

4. Sengaja menutupi status pernikahan apalagi mengaku single, akibatnya bisa fatal

Kalau sudah menikah kok ngaku masih lajang meski sekadar status relationship di media sosial jelas akibatnya bisa tidak baik, bahkan fatal. Ya, karena banyak sekali dari mereka yang iseng pasang status masih single, niatnya mungkin bukan ingin selingkuh, melainkan biar kelihatan muda dan keren. Padahal, ini jelas sudah bohong namanya. Meski hanya sekadar iseng, bohong bentuk apapun tetap dilarang dalam Islam  Hanya becanda saja dilarang, apalagi iseng bahkan sengaja menutupi status pernikahan di media sosial karena ada hati dengan yang lain. Na'udzubillah min dzalik.

Saya juga menyunting status menikah di profil Facebook.

Saya pernah baca tulisan teman di Facebook, saat itu dia bercerita ketika ada seorang laki-laki (yang sebetulnya sudah menikah), tidak mencantumkan status 'married' di Facebook. Di media sosial, dia berkenalan dengan seorang perempuan yang masih lajang. Awalnya hanya sekadar berteman, sampai mereka semakin dekat. Benih-benih cinta pun tumbuh pada si perempuan tadi. Sampai akhirnya si perempuan tahu jika si laki-laki sudah menikah. Dia kontan meluapkan amarahnya, kenapa tidak bilang dari awal jika dia memang sudah menikah.

"Aku nggak bermaksud bohong. Aku takut jika kamu tahu aku sudah menikah, kamu nggak mau temenan sama aku," ungkapnya.

Ah, tetap saja ini dilarang. Berteman dekat dengan laki-laki yang bukan mahram, baik yang masih lajang atau bahkan sudah menikah tentu dilarang dalam agama. Hubungannya bisa mengarah ke taqrobuzzina (mendekati zina). Hanya sekadar menjalin silaturahim sesama rekan kerja, mantan teman kuliah, sekolah dsb, dengan tetap menjaga sikap dan menjaga hati, tentu tidak mengapa. Tapi kudu diingat juga, jangan ada modus di balik silaturahim. :)

Tuh, kan? Ternyata akibatnya bisa nggak baik kalau kita tidak menampilkan status relationship di media sosial. Mulai sekarang, cek profil socmed kita. Sudahkah mengganti status dari lajang menjadi 'married'? Jangan lupa juga untuk men-settingnya menjadi publik agar orang-orang tahu bahwa kita sudah menikah.

Rabu, 19 Oktober 2016


Sebelumnya saya menulis ini bukan bermaksud pamer atau gimana lho ya. Hihihi, insya Allah enggak, Mak! Saya menulis ini untuk memotivasi para emak untuk tetap produktif sesuai passion-nya masing-masing. :)

Cerita ini bermula ketika pertengahan bulan September lalu, mbak Afifah Afra, salah satu penulis favorit saya, membagikan info tentang sayembara Indiva Cari Karya "Jangan Jadi Cewek Cengeng (JJCC)" yang digelar oleh Penerbit Indiva Media Kreasi, di fanpage-nya. Saat itu saya hanya sekadar baca dan belum berniat untuk ikutan. Pun begitu, tetap saya simpan jika sewaktu-waktu saya berubah pikiran.

Alhamdulillah setelah deg-degan karya saya nongol di nomor 24.

Menginjak tanggal 20, entah mengapa saya mulai menimbang-nimbang lagi. Kenapa saya tidak memanfaatkan kesempatan bagus ini? Jika naskah saya lolos, maka akan diterbitkan bersama penulis lainnya. Apalagi Penerbit Indiva sudah menerbitkan buku-buku berkualitas bagus dan mendidik dengan skala edar hingga nasional. 

Pada akhirnya, saya memilih untuk ikut serta. Saya berusaha mencari ide. Sehari dua hari berlalu, saya belum menemukan ide yang pas. Tanggal 25, sedikit menemukan titik terang. Saya membuat outline sebelum menulisnya menjadi artikel dengan panjang antara 8 hingga 10 halaman A4. Tanggal 27, saya mulai menulis.

Ternyata menulis untuk diikutkan lomba itu membuat saya sedikit grogi. Saking groginya saya kesulitan memulai. Bahkan saat itu, dalam semalam, saya hanya bisa nulis sepanjang tiga paragraf saja.  Itupun harus mengalami tragedi pen-delete-an berulang-ulang. :D

Karena saya harus fokus menyelesaikan tulisan tersebut, saya sampai harus vakum dari dunia perbloggingan selama setengah bulan. Bahkan sekadar membuat status Facebook-pun saya tak sempat. Alhasil status saya terpaksa hanya repost dari status saya sebelumnya atau copas.

Dari tanggal 27 September sampai 12 Oktober, terpaksa saya nggak nge-blog sementara waktu.

Tetap Produktif bagi Emak Erte itu Bukan Hal Mudah

Ya, sungguh bukan hal yang mudah bagi seorang emak erte yang sudah diamanahi balita batita lucu untuk tetap produktif. Saya bahkan hanya bisa menulis di saat malam hari, karena saat siang hari saya harus menemani mereka bermain dan juga disibukkan dengan segala tetek bengek kerjaan rumah tangga. Karena kecapekan, saya biasanya memilih tidur dulu dan akan bangun saat tengah malam atau dini hari.

Lantaran masih ng-ASI-in, sesekali konsentrasi saya buyar karena si kecil bangun, rewel minta ASI. Dan ajaibnya, saat emaknya nulis, anak saya yang cowok ini akan bangun hampir sejam sekali, bahkan kalau nulisnya dekat shubuh, dia malah bisa bangun setengah atau seperempat jam sekali. Sedap! Hahaha. Jangan dipikir bangunnya anteng kalem. Nay, nay! Dia rewel, nangis minta ASI. Alhamdulillah, untung yang ditagih ASI bukan sufor. #eh :p


Terkadang, saya juga ketiduran sampai shubuh. Alhasil, malam itu nggak bisa ngelanjutin tulisan. Sempat ketar-ketir karena mendekati DL, tulisan belum jadi juga. Bahkan, sempat digentayangi buntu di tengah jalan. Ada hawa pesimis kala itu, antara melanjutkan atau tidak. Tapi tetap: saya nodong suami buat bangunkan saya (karena saya ini paling susah bangun kepagian :D).

Alhamdulillah, Allah memudahkan. Dini hari tanggal 9 Oktober atau H-1 DL, artikel berjumlah 10 halaman itu akhirnya jadi. 

Pagi hari, setelah melakukan editing berulang-ulang, saya mengirimkan lewat email melalui laptop. Karena si bocil sudah bangun, dia ngerecokin emaknya. Ditariknya LCD laptop hingga ke belakang. Kadang keyboard dipukul-pukul. Bukan ngamuk, emang dia demen banget sama laptop. Dikira mainan kali ya. :D Pas, disingkirin, dia akan nangis.

Di saat begini, saya akan pasang muka melas sama pak suami sambil bilang, "Tolong dong, ajakin anak-anak keluar dulu." Xixixi. Dan betapa lega rasanya ketika email tersebut sudah sampai ke tujuan.

Menunggu Pengumuman

Tanggal 15 Oktober sesuai pengumuman, sebetulnya akan diumumkan pemenangnya. Tapi karena yang ngirim jadi segambreng, akhirnya pengumuman itu harus diundur hingga tanggal 17 Oktober.

Saya terus berdoa semoga Allah memberikan jalan yang terbaik bagi karya saya. Saya serahkan kepada-Nya, apapun hasilnya karena Dia tahu yang terbaik bagi hamba-Nya. Saya juga minta suami mendoakan yang terbaik untuk karya saya. 

Jam 10 pagi, tanggal 17 Oktober, sesuai yang dijanjikan, akhirnya pengumuman pemenang sayembara Indiva Cari Karya "Jangan Jadi Cewek Cengeng (JJCC)" diposting di laman penerbit Indiva. Saya buka ditemani irama degup jantung yang tak menentu. Jemari saya bahkan bergetar saking risaunya. Bahkan rasanya hampir saingan saat nonton MotoGP ketika Valentino Rossi salip-salipan dengan Marc Marques di lap terakhir. :D

Ternyata ada 25 pemenang yang terpilih, padahal target sebelumnya hanya memilih 10 karya terbaik. Ini karena yang ngirim melebihi dari yang diperkirakan. Jumlah naskah yang diterima bahkan mencapai ratusan. 

Saya mulai menyisir hingga ke bawah. Udah nyampai belasan, nama saya belum muncul. Mulai pesimis. Bahkan di nomor 20 pun belum ada. Dan...


Saya sontak sumringah saat judul naskah saya ada di nomor 24. Saya lapor suami dan segera saat itu saya sujud syukur. Sungguh ini kebahagiaan yang tak terkira. Alhamdulillah...

Status facebook-pun hanya bisa copas, padahal saya sering berbagi status motivasi di Facebook.

Ya, saya patut berbangga karena naskah saya bisa masuk 25 terbaik diantara ratusan naskah yang dikirimkan. Apalagi disana juga ada beberapa karya yang ditulis oleh penulis senior seperti mbak Ifa Avianty, mbak Asri Istiqomah dsb. Saya sendiri bukan seorang penulis yang karyanya wira-wiri di banyak media. Bahkan di kolom pendaftaran, tak ada satupun karya yang pernah dimuat di media yang bisa saya tulis di sana. Ya, karena saya memang baru mengirimkan tulisan di dua media yang sampai sekarang belum ada kabarnya (semoga ada kabar baik ya, amiin). Sejauh ini saya memang belum banyak mengirimkan karya di media karena khawatir saja, jika tulisan saya dimuat (misalnya), tetapi tidak konfirmasi padahal saya kesulitan jika harus selalu membeli koran atau majalahnya. Makanya, saya memilih mengirim ke media yang kalau dimuat akan konfirmasi.

Baca juga : Smartphone Mengubah Saya dari Emak Kucel Jadi Emak "Ajaib"

Semoga ini menjadi awal yang baik bagi saya, seorang emak erte yang bermimpi menerbitkan novel (meski sampai sekarang idenya masih ngendep di kepala :D). Bersyukur sekali, untuk kali pertama saya mengikuti lomba menulis bergenre non fiksi, Allah mengijinkan saya menjadi salah satu pemenangnya. Semoga saya makin tersulut lagi untuk terus menulis, menulis dan menulis. Menulis yang menebar manfaat bagi siapa saja, termasuk bagi diri sendiri. Amiin. 

Terus produktif ya, Mak! Jika kita berusaha, insyaAllah Allah akan memberi jalan yang terbaik bagi kita. Ingat bahwa yang terbaik menurut-Nya terkadang tidak melulu berupa kesuksesan. Kegagalan pun juga bisa jadi yang terbaik, karena darinya kita belajar untuk menjemput hikmah di baliknya. Karena kegagalan ibarat benih perjuangan. Jika kita membuangnya, maka kita akan kehilangan kesempatan untuk memetik buahnya saat ia tumbuh besar nanti. Sebaliknya, jika kita memilih menanam dan merawatnya, kelak di kemudian hari akan kita nikmati buah yang ranum-ranum itu. Tinggal kita memilih yang mana? :)
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!