Senin, 21 November 2016


Siaran di box siar. Foto kiriman teman, karena foto siaran saya hilang semua gegara laptop minta diformat ulang sementara data belum sempat di-back up. :D

Mungkin banyak yang pingin jadi penyiar radio? Hihihi. Iya, profesi ini memang banyak diimpikan sebagian orang. Biar sering dianggap sebagai pekerjaan nggak jelas, batu loncatan atau bahkan gajinya cuman kecil tapi nggak dipungkiri kalau peminatnya lumayan banyak juga.

Terbukti saat stasiun radio tempat saya bekerja dulu, tiap kali membuka lowongan penyiar, pasti yang daftar segambreng. Sebelum siaran di radio dakwah di Solo, saya pernah juga melamar jadi penyiar di radio jaringan di kota lahir saya, Sragen, yang daftar pun juga puluhan. Padahal cuman diterima 2 penyiar doang. Hahaha. Bahkan sekelas radio kampus pun yang daftar juga banyak. 

Kenapa banyak orang kepingin jadi penyiar radio? Padahal kalau dilihat berapa gajinya mungkin tidak begitu besar dan bahkan tidak menentu karena hanya dihitung per jam siaran selama sebulan (beberapa stasiun radio punya kebijakan masing-masing. Kalau di radio saya, semua penyiar asal bukan penyiar trainee fee per jam-nya disamaratakan. Bedanya, tidak setiap penyiar punya jam mengudara sama. Ada yang jam on air-nya tinggi, ada pula yang siaran cuman 16 jam sebulan saja. Nah, yang jam siarnya sedikit inilah yang gajinya cuman sak umplik :D). 

Lalu kenapa peminatnya banyak? Beberapa alasan ini mungkin yang menjadikan profesi sebagai penyiar radio itu diminati banyak orang.

1. Eksis


Siapa sih yang nggak kepingin dikenal banyak orang? Mungkin hanya orang-orang introvert yang nggak ingin dikenal banyak orang (xixixi, bener nggak sih? :D). Paling enggak, nama kita dikenal seantero komplek lah. Heuheu.

Dan menjadi penyiar radio adalah salah satu cara agar kita dikenal banyak orang. Bahkan sekelas radio kampus yang siarannya hanya menjangkau hingga 5 km pun nyatanya bikin penyiarnya punya banyak fans. :D

Dulu ketika saya daftar jadi penyiar di radio kampus di Faperta UNS, saya tak menyangka jika nasib saya benar-benar berubah. Awal daftar sebetulnya hanya untuk melatih public speaking agar saya tidak grogi saat berbicara di depan. Tapi setelah beberapa waktu siaran, saya mulai menyukai bidang ini. Saya tak menampik jika saya saat itu juga sedikit keblinger dengan virus mendadak eksis.

Ya, saya yang hanya mahasiswi polos, pasif organisasi, anak rumahan, dan tidak banyak dikenal orang, tetiba berubah menjadi serasa 'artis'. Jika saya tidak siaran, pendengar yang rata-rata mahasiswa dan anak sekolahan, pada nyariin saya. Handphone saya yang tadinya sepi telpon dan sms (dulu belum ada WA, hahaha udah tua ya saya :D), tetiba mendadak jadi ramai. Bahkan saat tengah malam pun ada saja orang iseng yang main miss called. Fuihhhh...

Apalagi ketika saya siaran di radio dakwah di kota Solo. Nasib saya banyak yang berubah. 

Dulu, saat saya jalan berdua dengan teman saya, yang disapa pasti hanya dia seorang. Saya dicuekin. Padahal pernah sekelas. Hahaha.

Dulu, ketika teman-teman sekampus yang berasal dari SMA yang sama, jika ada kegiatan mereka diberitahu. Saya? Nggak pernah dikabari. Bahahaha.

Ngenes? Enggak. Saya tahu diri kalau (saat itu) saya memang nggak dikenal oleh banyak orang. Ohokohok.

Tapi, setelah saya jadi penyiar radio, mereka yang tadinya cuek dengan saya, kalau saya jalan, minimal senyum terulum dari bibir mereka. 

Teman-teman SMA yang saya pikir nggak tahu saya, eh ternyata mereka pada tahu saya. Saat saya beli aksesoris komputer, eh pemilik tokonya juga tahu saya. Saat saya angkat telpon di kantor majalah--tempat kerja saya yang lain, si penelpon langsung tahu saya. Bahkan saat saya mengenalkan diri hanya menyebut nama Isna, orang di seberang sms sana sudah langsung nyambung kalau itu Isna penyiar, padahal saya bilang dari redaksi majalah Respon. :D

Ini mungkin agak narsis. Tapi begitulah. Memang menjadi penyiar membuat kita (sedikit) eksis. Hanya satu pesan saya: jangan keblinger dengan keeksisan. :D


2. Kerjanya enak


Gimana nggak enak? Kerja cuman duduk di kursi siar, sambil ngomong, dapat duit. Pas nge-play musik atau iklan, kita bisa istirahat sejenak. Kadang leyeh-leyeh senderan di kursi putar sambil dengerin lagu nasyid (saya kan di radio dakwah) di headphone. Kadang online sebentar. Kadang sambil nyicil sarapan. Atau bahkan sampai tiduran sebentar di meja siar karena masih ngantuk--efek pagi-pagi siaran (hahaha, parah :D). 

Malah, di saat tengah siaran--karena lagi muter lagu, saya keluar sebentar dari box siar. Saat itu ada artis yang datang ke studio nengokin temannya. Saya diajakin partner siar saya buat foto bareng sebentar. Ngahaha, lebih parah kan? :p

Ruang siar radio Persada FM Solo, diambil dari ruang khusus narasumber yang tempatnya terpisah.

3. Menjadi Diperhitungkan


Iya, inilah yang juga saya rasakan. Dulu, mana ada orang yang ngelibatin saya untuk menjadi panitia dalam kegiatan? Nggak ada juga yang nawarin saya daftar organisasi kampus, entah BEM, entah rohis dsb. Padahal teman-teman saya ada yang daftar karena awalnya ditawari dulu. Kalau usul atau menyampaikan pendapat, saya juga lebih sering diketawakan karena suara saya saat itu malah kedengeran aneh saking ndredeg-nya. Hahaha. Overall, saya itu udah mirip kayak seorang figuran di sinetron yang sebenarnya menjadi bagian di dalamnya tapi perannya diabaikan penonton. Bahahaha.

Tapi semua perlakuan itu berubah drastis ketika saya jadi penyiar radio. Tiap kali ada kegiatan atau event-event tertentu baik yang digelar stasiun radio atau di luar itu, saya selalu dilibatkan dari awal hingga akhir. Bahkan tak jarang, saya yang awalnya hanya sekadar membantu justru malah jadi pemain inti karena ketua panitianya hanya eksis saat rapat saja. :D Saat saya usul, didengarkan bahkan langsung disetujui. Saya bahagia sebetulnya, tapi di balik itu ada rasa kecewa yang mendalam. Betapa banyak dari kita yang melihat dari covernya dulu: cover bagus berarti oke. Padahal belum tentu begitu bukan?

4. Banyak dapat gratisan


Bisa dibilang, saya untung banget jadi penyiar. Gimana enggak? Habis ngecuis siaran, ada pendengar datang bawain kacang rebus, kedelai rebus dan pisang rebus. Kadang tahu goreng, gulai kambing, cup cake, keripik dan aneka makanan lainnya. Kadang beli di warung yang mereka ini pendengar, nggak mau dibayar. Apalagi atasan di radio orangnya juga lomo banget. Kalau pas lagi ngumpul, "Yuk, kita makan disitu!" Atau pas habis acara--padahal saya dan teman-teman sudah kenyang makan prasmanan tamu--masih diajakin mampir kulineran.

Saat siaran bareng salah satu provider, dapat gratisan HP. Hanya becanda minta digratisi buku, ternyata beberapa waktu kemudian saya dikirimi buku. Dan entah mengapa, nomor saya sering dikirimi pulsa. Ada yang ngaku ngirim, tapi banyak juga yang enggak. Enak berlipat-lipat nggak tuh? Gaji sih cuman 200-300an ribu (ups, pura-pura nyeplos :p), tapi gratisannya banyak tak terkira. Wkwkwk.

Ini belum keitung kalau tiba-tiba saya diajakin salaman, nggak tahunya saya dikasih uang. Apa?! Nyogok? Bukan, cuman ngasih, dibalikin nggak mau. Akhirnya buat nraktir teman-teman radio. Ya, walau masih kurang, dan ujung-ujungnya yang diajakin yang nombokin. Ngahahaha.


5. Dapat tawaran kerja


Inilah mengapa profesi penyiar radio itu sering dijadikan sebagai batu loncatan. Ya, karena jadi penyiar radio itu menjadi nilai plus banget buat kita, terutama untuk mendapatkan pekerjaan lainnya. 

Saya ditawari jadi redaktur sebuah majalah dakwah juga karena saya penyiar dan tentu, karena mereka tahu saya juga bisa menulis (sebelumnya saya sudah lebih dulu bergabung menjadi tim redaksi lewat audisi). Karena tahu saya penyiar, saya sering jadi MC atau moderator di SMA saya dulu. Ada juga sekolah milik ibunya teman kenalan. 

Hanya sayangnya, saya tetap nggak enak kalau dibayarin. Merasa sini cuman apalah, karena belum bisa jadi MC atau moderator yang oke kayak teman-teman penyiar yang super duper lebih keren. Kalau diamplopin, biasanya saya kembalikan lagi. Kadang juga hanya dapat bingkisan parcel, tapi tetap saja saya ngerasa nggak enak nerimanya--walau tetap diterima. Ngahahaha.

Foto enam tahun lalu yang saya dapat karena di-tag pendengar di Facebook. :D

Gimana? Enak kan jadi penyiar radio? Hihihi. Tapi bagi saya, dikenal banyak orang justru membuat saya tidak nyaman. Gimana nggak nyaman? Orang tiap hari di-smsin pendengar. Kalau enggak balas, dia akan ngasih dalil, "jawab salam itu wajib lho." Padahal sehari dia bisa sms salam sampai lima kali bahkan lebih. Apa nggak terganggu tuh? Kadang diajak curhat, kalau nggak dibalas saya disebut sombong. Awalnya saya balas karena dia ini perempuan. Tapi kok ya lama-lama malah diajak curhat, bahkan curhat yang nggak penting. Kadang sudah malam pun ada saja yang masih sms atau telpon. Kalau di fb terkadang saya bisa kena unfriend, walau beberapa waktu kemudian dia add lagi. Hahaha.

Kadang kalau jalan di satu tempat, ada yang nyenyumin, karena merasa nggak kenal saya nggak balas tersenyum, saya bisa saja dicap anggak (bahasa Jawa) atau sombong. Lebih-lebih saya jadi penyiar di radio dakwah milik yayasan dakwah yang jumlah jamaahnya besar. Tingkah laku kita hingga gaya pakaian atau jilbab yang kita kenakan juga ikut disoroti. Bahkan hanya sekadar unggah foto kru yang putri ada di depan sementara kru putra di belakang saja dapat kritikan. Padahal biar kelihatan dekat, sebetulnya ada jarak sekitar satu meter lho. Hihihi.

Baca juga : Resign karena Panggikan Jiwa Menjadi Ibu

Sekarang saya sudah resign dan memilih menjadi ibu rumah tangga sejak pertengahan tahun 2012 lalu. Kini kehidupan saya kembali seperti saat saya belum menjadi penyiar radio. Saya hidup jauh dari orang-orang yang mengenal saya. Saya tak pernah lagi menjadi MC apalagi moderator. 

Kini, saya hanyalah emak erte biasa yang jarang kemana-mana. Pun begitu, saya justru menikmati kehidupan seperti ini. Serasa damai. Jika pergi ke satu tempat, saya tak perlu merasa bersalah ketika ada orang yang terlihat tersenyum ke arah saya. Ya, karena saya yakin, pasti dia tengah tersenyum kepada orang yang ada di belakang saya. Sama halnya yang sering saya alami saat belum jadi penyiar radio dulu.

So

Jadi penyiar radio itu enak nggak sih? Silahkan dijawab sendiri-sendiri. 

Lah?! Kok malah balik nanya? Ahaha ahihi. :D

Kamis, 17 November 2016

Tulisan ini sudah saya posting terlebih dahulu di Facebook. Ya, biar pesannya sampai kepada para suami. Nah, biar tulisan ini bisa dibaca sewaktu-waktu, saya posting disini juga. Hihihi.


Jujur ya, suami. Bagi kami, suami akan terlihat ganteng maksimal kalau doi mau bantuin kerjaan istrinya. 

Tahu ada cucian numpuk di bak, belum sempat dijemur, dia langsung angkat ke jemuran. Jemurin baju.

Tahu istrinya repot masak di dapur, doi ambil alih mandiin anak-anak. Pakaiin baju. Sisirin. Bedakin.

Tahu lantainya kotor, istri sudah rempong ngurusin anak-anak, langsung ambil sapu. Disapu bersih. Syukur-syukur dipel sekalian.

Tahu kamar mandi lumutan. Istri belum sempat nyikat kamar mandi lantaran si bocil rewel mulu karena demam, kamar mandinya langsung disikat bersih. 

Atau kalau enggak, ambil alih momong anak dulu, biar istri yang nyelesain kerjaan rumah tangga.

Tahu istrinya lagi morning sickness, karena dia bisa masak, ya sementara koki rumah tangga diambil alih. Kalau nggak bisa masak, beli di warung dulu.

Tahu istrinya lagi sibuk nyetrika baju-baju yang buat kerja suami, sementara si baby lagi pup ya urusin sendiri saja dulu. Nggak perlu harus panggil istrinya. "Sayang, adek lagi pup nih. Cepetan gantiin popoknya." Ya, kalau emang nggak mau gantiin, minimal gantiin nyetrika bajunya, gimana?

Harapan kami tak muluk-muluk kok, suami. Cukup bantuin yang ringan-ringan, yang suami mampu mengerjakannya. Tanpa kami minta, sudah tanggap sendiri. 

Membantu kerjaan rumah tangga itu bukan sesuatu yang memalukan. Jangan tengsin, jangan gengsi bantuin istri. Saya nggak mau membahas ini kewajiban siapa. Nanti ndak terjadi perang lagi.

Ya, karena berumah tangga itu soal saling memahami dan mengerti. Istri bukanlah robot yang sanggup mengerjakan rentetan pekerjaan tanpa istirahat. Dia pun bukan amoeba yang bisa membelah diri. Sekalipun kemampuan multitaskingnya tidak diragukan lagi, tapi dia hanyalah manusia biasa yang terkadang merasa lelah dengan segala kerempongan ini. 

Plis, jadilah suami yang ganteng maksimal di matanya. Jangan setengah-setengah. Kalau gantengnya setengah-setengah entar malah jadi aneh lho. Iya, aneh. Ruwet juga kalau muka sampeyan dari sebelah kanan mirip Song Jong Ki sementara dari sebelah kiri mirip Dede Sunandar (walau dari depan mirip Mas-mas yang jualan bakso bakar depan rumah :p).

Selasa, 08 November 2016




"Bun, aku mau dibuatin nugget."
"Bun, aku mau kolak."
"Bun, aku mau dibikinin cilok."
"Bun, aku pingin makan siomay."

Begitulah si kakak, 3 tahun 10 bulan, kalau lagi request camilan kepada bundanya (aslinya pakai bahasa Jawa kok, xixixi). Dia ini memang hobi nyemil. Makan nasi paling cuman seberapa, nyemilnya yang lebih banyak. 

Karena sedari kecil dia sudah saya biasakan tidak jajan sembarangan, jadi lebih mudah mengontrolnya. Sebagai konsekuensinya, emaknya yang harus uplek di dapur, bikinin camilan sendiri.

Kalau kita coba tengok jajanan anak yang biasa dijual pedagang keliling umumnya banyak yang tidak sehat. Cireng yang minyaknya sudah digunakan berkali-kali, minuman anak-anak yang mengandung pemanis buatan, bahkan ada juga yang sampai menggunakan pewarna tekstil hingga boraks atau formalin. Di tempat saya sendiri, nyatanya banyak pedagang juga menggunakan bleng untuk makanan seperti cilok, lontong, kerupuk dsb. Bleng bagi sebagian besar orang awam, dinilai sebagai bahan yang aman untuk makanan. Bahkan bleng juga biasa diperjualbelikan di pasar tradisional. Padahal bleng adalah bentuk tidak murni dari asam borat, sementara bentuk murninya banyak dikenal dengan nama boraks (detikfood).

Selain banyak yang tidak aman, jajanan anak umumnya hanyalah junkfood, makanan tinggi kalori tapi miskin gizi. Sementara jika kita bikin sendiri, kita bisa membuatnya dari bahan-bahan yang aman dan berkualitas. Agar mengandung gizi tinggi, kita bisa menambahkan aneka sayuran, protein hewani maupun nabati.

Seperti misalnya saat saya buat siomay kentang bayam saos kacang. Saya buat siomaynya dari dua buah kentang ukuran sedang ditambah 2 sdm tepung terigu dan 2 sdm tepung tapioka, agar siomaynya tetap empuk dan lembut untuk dimakan anak. Karena anak saya nggak menolak sayur, saya tambahin sayur bayam yang direbus dan juga telur puyuh. Siomaynya sudah mengandung gizi yang komplit bukan? Ada protein hewani, protein nabati, karbohidrat, lemak, vitamin, serat dsb. 

Siomay bayam telur puyuh (kanan) dan siomay kentang tahu saos kacang (kiri). Siomay dibuat dari kentang agar lebih empuk dan lembut.

Buat cilok pun pasti selalu saya mix dengan sumber protein (entah daging ayam, tahu, telur, ikan) dan juga sayuran (wortel, brokoli, kembang kol, kentang dsb). Saya biasa menggunakan bahan seadanya yang ada di kulkas. Sayur apapun yang dimasukkan, pasti mereka suka. 

Jika mereka ingin cireng (cilok goreng), biar aman dari kolestrol jahat (LDL), saya pakai minyak yang masih baru. Sementara kalau beli kan, minyaknya sudah dipakai berkali-kali. Masih panas langsung ditaruh di plastik pula. Hadeh... 

Biar menarik cilok cirengnya dibikin kekinian. Ini tetap dengan bahan-bahan lain yang bergizi seperti tahu, ikan, telur, sayuran dsb.

Mungkin ada ibu yang batin begini, "Aku mana bisa masak begituan? Masak menu harian saja masih sering dikritik suami?" Atau ada juga yang merasa nggak sempat bikin camilan sendiri karena keterbatasan waktu. 

Jangan gampang keburu nyerah gitu ah, Bun. Saya sendiri malah kalau masak suka nggak manut resep. Malas saja kalau harus nengokin resep terus-terusan. Masak cuman mengandalkan feeling yang kadang rasanya ada yang maknyus, ada juga yang kurang maknyus (karena kadang nggak dirasain dulu, atau hanya sekadar uji coba :D). Dulu malah, di awal saya masak saat jadi anak asrama, masaknya bahkan bermodal ilmu biologi, kimia, dan fisika. Hahaha, konyol kan? Tapi ternyata tiga ilmu itu kalau dipraktekin di dapur, nyatanya ya bisa juga. Hihihi.

Yang jelas, ketika Bunda ingin memberikan camilan yang sehat ke anak, kita harus punya tiga modal utama ini dulu.

1. Harus ada kemauan


Kalau Bunda sendiri nggak ada kemauan untuk memberi camilan sehat ke anak ya bawaannya pasti malas duluan. Ketika anaknya nagih pingin dibeliin cireng saat penjual cireng lewat, ya mau nggak mau dibeliin juga. Lain jika Bunda sudah terbiasa buat sendiri. Ada penjual lewat, anak minta dibeliin, kita bisa langsung cus ke dapur. Buatin cireng sendiri. 

Biar nggak punya oven dan tevlon, biar anaknya mau nasi, emaknya bikin pizza ala-ala dari telur, nasi dan bayam pakai wajan. Nekat kekinian kan? :D

Membuat camilan sendiri, selain lebih sehat dan bergizi, ini juga bermanfaat sekali untuk mengajari anak belajar sabar menunggu. Jika anak bisa dilatih sabar menunggu, maka kontrol emosinya akan bagus. Dia belajar tentang proses, tidak setiap yang dia mau akan langsung ada saat itu juga.

2. Sadar gizi


Ya, perlu kesadaran kita tentang gizi. Paling tidak, kita tahu tentang gizi seimbang yang mencakup karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan juga mineral. Kita harus paham setidaknya secara umum, bahan-bahan makanan mana yang mengandung karbohidrat, protein dsb. Tidak sulit di era sekarang untuk belajar ilmu gizi. Ikuti saja grup gizi atau akun gizi di media sosial, baca buku tentang gizi atau kalau sempat ikut seminar gizi untuk menambah pengetahuan kita tentang ilmu gizi.

Biar nggak repot, saya biasa buat agak banyak. Sisanya buat stok, disimpan di kulkas. Ini nuggetnya dari daging sapi, tahu, telur, wortel dan kembang kol. Komplit kan?


Saya sedikit menyayangkan ketika banyak ibu yang unggah foto makanan tapi disana banyak mengandung kalori tinggi, miskin sumber gizi lainnya. Buat cilok, hanya ada dari tepung kanji dan terigu. Padahal kan bisa kita tambah bahan lain yang bergizi. Buat puding, sudah gulanya segelas ukuran sedang, masih ditambah sekaleng susu kental manis yang gulanya tinggi. Padahal kan susu kental manis bisa diganti dengan susu cair yang kandungan gizinya lebih banyak atau mungkin bisa dilapis puding jagung, labu kuning, pisang dsb. Kalau sedari dini, anak dibiasakan dengan makanan yang tidak tinggi gula dan garam, insyaAllah dia akan terbiasa dengan rasa yang tidak terlalu manis dan gurih kok, Bun.

3. Percaya diri


Nah, ini juga penting sekali. Dengan modal ini, kita justru bisa berkreasi memberikan makanan atau camilan bergizi ke anak. Kebetulan, anak-anak saya ini lebih suka makanan yang sederhana atau yang biasa dia lihat saat temannya makan. Makanya saya suka malas kalau kepoin resep di Facebook. Lah, saya pernah beberapa kali pratekin resep itu, eh ternyata justru mereka nggak mau. Hahaha, padahal rasanya juga lumayan. :D Si kakak bahkan juga nggak suka sebangsa cake, brownies, bolu dsb. Maunya roti. Tapi karena belum punya oven ya sementara kalau mau roti, beli saja dulu. Xixixi.

Seperti halnya saya pede bikin puding jagung lapis jambu biji. Karena jambu biji kalau dibikin puding jadi bertekstur banget, pada akhirnya anak cuman mau yang bagian jagungnya. :D

Pada akhirnya saya harus pede berkreasi sendiri. Untung mereka makan yang sederhana pun mau. Nyemil jagung rebus, kacang rebus, telur rebus dsb. Namanya anak-anak, kadang suka moody. Hari ini mau jagung, besoknya belum tentu mau. Tapi untuk sebangsa cilok, cireng dan siomay, mereka selalu mauuuuuuu banget. Saking seringnya bikin, emaknya udah kayak pedagang cicisi, cilok cireng siomay. Hahaha.

Tingkat kepercayaan diri yang tinggi ini berpengaruh sekali dalam kesuksesan masakan yang kita masak. Kalau pada akhirnya gagal, kita akan lebih mudah mencari solusinya. Misal bikin puding jagung tapi anak nggak suka karena seratnya terlalu tinggi (karena nggak disaring, niru resep), pada akhirnya puding jagungnya diblender lagi, disaring, dibikin eskrim. :)

Kalau kita membiasakan untuk membuat camilan sendiri, insyaAllah mereka akan terbiasa tidak jajan sembarangan kok, Bun. Ketika dia mau makan siomay, bundanya bisa jadi tukang siomay buat dia. Mau cilok, bundanya bisa jadi tukang cilok buat dia. Ya, karena kita sudah membiasakan untuk membuatnya sendiri. Hayuk, Bun, bikin camilan yang sehat buat si kecil! :)

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!