Rabu, 31 Agustus 2016



Hari Senin, 29 Agustus lalu, boleh jadi adalah hari paling memilukan bagi Ana Istianingsih. Bagaimana tidak? Usai menunaikan shalat dhuhur di masjid dekat rumahnya, ia mendadak terhenyak ketika mendapati rumah sederhananya itu telah hangus terbakar. Tangisnya sontak pecah ketika ketiga balitanya yang tertidur di dalam rumah tewas terpanggang si jago merah. 

Ah, ibu mana yang tidak sesak dadanya ketika mendengar berita ini? Apalagi saat saya lihat foto sang ibu menangisi ketiga balitanya yang sudah tak bernyawa diantara serakan puing-puing sisa kebakaran. Sungguh membuat para ibu manapun akan ikut menitikkan air mata.

Terhitung sejak tanggal 26 Agustus--tepat setahun anak saya yang nomor dua lahir--saya seperti diingatkan oleh Allah tentang bagaimana mensyukuri waktu yang terbatas ini, di tengah kerepotan mengurus dua bocil yang terkadang mengocok-ngocok kesabaran ketika menghadapi kerewelan mereka. Tepat di hari itu, ada teman facebook yang mengunggah foto putrinya yang meninggal ketika usianya baru menginjak 1,5 tahun, sepuluh tahun silam. Melihat foto itu, membuat saya tercenung sejenak. Ya, andai itu terjadi kepada saya. Kehilangan ketika anak-anak kita masih lucu-lucunya mungkin rasanya akan sangat berat sekali.

Kita mungkin akan merindukan tingkah polosnya. Yang sudah ngecuis ini itu, meski belum jelas apa yang dikatakannya. Pipinya yang gembul membuat kita terus menghujani dengan ciuman. Memberinya ASI, semakin melekatkan kita dengan buah hati. Menepuk lembut pantatnya, mengusap rambut tipisnya. Ah, rasanya kehilangan ketika anak kita masih berwajah menggemaskan itu bukanlah hal yang mudah. Luar biasa berat. 

Tapi ketika takdir sudah berbicara, tak akan ada yang mampu menolak atau mengundurnya. Buah hati kita hanyalah titipan dari Allah yang diamanahkan kepada kita. Suatu saat, entah kapan, akan diambil lagi oleh Sang Pemilik.

Saya ingat ketika mendengar kabar dari teman SMA yang putranya berumur 10 bulan meninggal dunia. Kabar ini kontan membuat saya kaget. Ya, karena ibunya sering mengunggah foto anak keduanya itu di media sosial. Bahkan anaknya sangat lincah karena perkembangan motorik kasarnya amat cepat. 

Siapa yang tidak sesak dadanya ketika anak kita yang sebelumnya tidak sakit apa-apa ketika paginya kita dapati tubuh mungilnya sudah terbujur kaku? Ya, itu yang terjadi pada anak teman saya. Dalam keadaan panik dia gendong tubuh yang sudah pucat membiru itu ke rumah sakit bersama suaminya. Sampai disana ternyata putra kesayangannya memang sudah tiada. Ah, saya sampai menangis menulis ini. Tidak terbayang bagaimana jika itu terjadi pada saya.

Tepat di tanggal 26 Agustus itu ada juga teman lain yang membagikan kisah di blog pribadinya. Kenangan ketika ia harus kehilangan putri kecilnya yang berusia 3,5 tahun, seumuran dengan anak pertama saya. Saya menangis ketika membacanya. Ia masih mengingat detil detik-detik putri bungsunya itu sebelum akhirnya dipanggil oleh Allah SWT.

Siapa yang menyangka dia pergi secepat itu? Bahkan sorenya, ia masih lincah berjoget di atas sofa sembari menirukan lagu anak-anak yang disetel di televisi. Ketika Maghrib, ia sudah berada di IGD. Terbujur tak berdaya dengan nafasnya yang makin terputus-putus. Dokter menyarankan untuk memberinya nafas buatan dengan memasukkan selang di tenggorakannya. "Resikonya kemungkinan besar pita suara adik akan rusak, Bu." kata dokter seraya meminta persetujuan.

Sontak ibunya mematung. Seakan tak sanggup menerima jika si kecilnya yang pintar bercerita itu tidak bisa berbicara lagi. Tapi jika tidak diberi nafas buatan, ia akan meninggal. Dengan berat hati ia menyetujuinya.

Tapi tampaknya nafas buatan itu tak membantu. Tubuh putri kecilnya kian melemah hingga akhirnya Allah memanggilnya. Dari keterangan dokter, putrinya meninggal karena paru-parunya keracunan, efek dari muntahan yang balik lagi ke dalam kerongkongan lalu mengenai paru-parunya. Sebetulnya bungsunya itu hanya masuk angin biasa dan muntah-muntah tapi masih aktif dan ceria.

Siapa yang mengira jika buah hatinya akan pergi secepat itu? Tanpa kita nyana-nyana karena sebelumnya dia masih sehat. Ya, itulah takdir Allah. Tak ada yang bisa menolak atau mengundurnya.

Berita ketiga balita tewas terbakar bisa dibaca dengan meng-klik gambar diatas.

Kehilangan anak di usia kecil mereka, seakan menjadi cambuk bagi kita, khususnya bagi saya pribadi. Ya, betapa kita terkadang dibuat kesal dengan ulah polosnya. Terkadang pula, kita merasa lelah menghadapi polah mereka yang benar-benar menguji kesabaran. Rumah yang berantakan. Si kecil yang terus rewel. Si kakak yang merajuk minta dilayani. Padahal kerjaan rumah belum beres.


Terkadang kita merasa jenuh, karena rutinitas yang hanya begitu-begitu saja. Sebagai lulusan Sarjana, kita pun ingin tetap produktif meski berada di rumah. Tapi kerempongan mengurus bocil-bocil yang usianya berdekatan benar-benar membuat kita kesulitan memanajemen waktu. Mungkin kita merasa bosan dan ingin segera terbebas dari rutinitas. Hingga tanpa kita sadari, perasaan itu perlahan menggerogoti keikhlasan kita.

Kematian buah hati mereka menjadi pengingat bagi kita semua. Bagaimana agar kita semakin mensyukuri waktu yang berharga ini. Mendidik mereka, membersamai di masa tumbuh kembangnya. Menggali potensi dan mengembangkannya. Memberi asupan nutrisi bergizi seimbang untuk mendukung tumbuh kembangnya. Menemani saat mereka bermain, dan sebagainya.


Dengan bersyukur, semoga membuat kita semakin menikmati momen berharga yang tak akan terulang lagi. Hingga tidak akan lagi kita dengar keluhan kekesalan yang nyeplos keluar dari mulut kita. Ya, semoga kita menjadi ibu yang bisa sabar menghadapi keceriwisan dan segala polah si kecil.

Bagaimanapun, anak kita adalah titipan dari Allah. Dia sudah memercayakan mereka dalam asuhan kita. Maka, tunaikan amanah itu dengan sebaik-baiknya. Dengan sepenuh syukur dan sabar. Mungkin akan jadi penyesalan tiada terkira ketika kita yang merasa lelah menghadapi ulah polos mereka, Allah tiba-tiba mengambil mereka dari kita. Semoga Allah memberinya kesehatan dan umur yang berkah kepada anak-anak kita hingga mereka tumbuh dewasa menjadi generasi shaleh dan shalehah. Amiin.

Rabu, 24 Agustus 2016


Ilustrasi (nggak sempet motoin) :D

"Bun, itu dompetnya siapa?" telunjuk anak saya, 3,5 tahun, mengarah pada dompet berwarna coklat yang terjatuh di pinggir jalan beberapa waktu lalu.

Saya menoleh ke arahnya. "Dompet apaan? Itu bukan dompet," jawab saya sok tahu. Ya, dari awal sebetulnya saya tahu, ada barang berwarna coklat muda di dekat sepeda onthel itu. Saya pikir itu hanya kertas payung yang dilipat. Itu yang saya lihat dari jarak 5 meter tanpa mengenakan kacamata. :D

"Ini dompet kok, Bun." kata anak saya keukeuh.

"Apa iya tho?" Saya mulai berjalan mendekat. Ah, emang iya. Dompet berwarna coklat. Setelah diperiksa kartu identitasnya, ternyata itu milik pak tukang parkir yang biasa bertugas di jalan itu. Karena bapaknya sudah pulang, suami saya yang akhirnya mengantar ke rumahnya yang letaknya tak jauh dari tempat tinggal kami.

Saya kontan mendekati anak saya. "Wah...tadi Azra sudah menemukan dompet ya? Kamu hebat. Kalau menemukan barang atau uang di pinggir jalan, ayah atau bunda diberitahu ya. Nanti biar ayah sama bunda cari siapa pemiliknya. Azra nggak boleh ambil sendiri, terus dikantongin. Itu dosa. Nanti Allah marah. Karena uang itu bukan milik Azra," ungkap saya berusaha memberi pengertian kepadanya. Dia mengangguk mantap. Lalu saya cium pipinya sebagai wujud bangga padanya karena telah menemukan dompet.

Ini bukan kali pertama dia menemukan uang. Saat usianya belum genap dua tahun dulu, dia sudah menyelamatkan beberapa lembar uang 50-an ribu (mungkin ada 300 - 400 ribu) yang terjatuh di depan toko saat kami berbelanja barang.

Kala itu dia berlari kecil ke arah saya. Tangan mungilnya menyerahkan lintingan uang 50-an yang ditali karet warna merah kepada saya. Saya terhenyak. "Ini uang siapa? Kamu dapat dari mana?" Dia menunjuk ke tempat ayahnya berdiri, mengantri belanja di pinggir etalase. Karena saat itu, anak saya belum begitu lancar berbicara, tak banyak kata yang bisa saya gali darinya. 

Saya dekati suami saya. Saya tanya, apa ini uangnya? Ah, ternyata bukan. 

"Jangan-jangan punya mas yang tadi ikut ngantri di sebelahku," tebaknya yakin.

Mas yang dimaksud ternyata sudah akan naik motor. Suami saya melangkah mendekati. "Mas, tadi kehilangan uang nggak?"

Dia yang belum sadar kehilangan uang segera memeriksa kantongnya. "Eh, iya, Mas." balasnya sedikit panik.

"Uangnya berapa?"

"Nggak tahu, tapi aku linting, terus ditali karet."

"Karetnya warna apa?"

"Merah."

Karena cocok dengan cirinya, suami saya langsung menyerahkan uangnya. "Lain kali hati-hati ya, Mas. Ini tadi yang nemuin anakku. Untung ditemu anakku," ujarnya. Mas yang tadi langsung mengucap terima kasih. Binar matanya menatap anak saya karena sudah menyelamatkan uangnya.

Usai Mas-nya pergi, saya segera memeluk anak saya, bangga. Saya puji dia. Saya beri pengertian, seperti yang biasa saya ucapkan ketika ia menemukan barang atau uang.


Menanamkan Kejujuran Lewat Hal Kecil Sedini Mungkin


Pelajaran 'menemukan barang atau uang' ini bukan ujug-ujug secara alami dia jadi anak jujur seperti ini lho, Bun. Sebelum ia menemukan lintingan uang 50-an, ia sudah menemukan sebiji permen karet yang tertinggal di kursi dekat toko saat kami berbelanja. 

Waktu itu dia langsung mengambilnya. Dia minta saya membukanya. "Lho, ini bukan milik Azra. Ndak boleh diambil. Ayo, kembalikan ke tempat yang tadi," ucap saya memberi pengertian. Alhamdulillah tanpa harus tantrum, dia ngibrit lagi, meletakkan sebungkus permen karet ke tempat semula permen tersebut ditemukan (ya, karena tidak tahu siapa pemiliknya). 

Tak berapa lama, dia lari lagi ke arah saya. Sebungkus sosis siap makan ditodongkan kepada saya. Entah dia nemu dimana lagi. Hahaha. Lagi-lagi saya memberi pengertian yang sama. Langkah kecilnya berjalan cepat, ke tempat sosis itu ditemukan. Dia meletakkan kembali ke atas kursi (entah kardus, saya lupa :D) di dekat etalase.

Tak berapa lama, sosis itu ditemu oleh anak lain. Ayahnya yang di sebelahnya langsung menoleh ke arah saya. "Punya anaknya ya, mbak?" tanyanya seraya mengacungkan sosis seharga seribu itu.

"Enggak..." jawab saya sembari menggeleng lemah. Tanpa menunggu lama, si bapak langsung mengupas kulitnya lalu diberikan kepada putranya. Saya hanya menatap kuyu. 

Ya, mungkin bagi sebagian besar orangtua tidak akan mempermasalahkan ketika anaknya menemukan makanan seharga seribu atau bahkan 500 perak. Tapi orangtua tidak menyadari, ketika kita membiarkan mereka mengambilnya, lalu memakannya, secara tidak langsung kita mengajari mereka bahwa mengambil lalu menikmati barang yang kita temukan itu boleh. Tanpa memberi pengertian kepada mereka jika itu bukan milik kita.

Dari hal yang kecil ini, sampai sekarang alhamdulillah anak saya ketika menemukan uang meski hanya seribu atau dua ribu di pinggir jalan, dia akan lapor ke ayah atau bundanya. Beberapa hari lalu dia juga menemukan uang 2 ribu di dekat rumah. "Azra kalau menemukan uang atau barang, bilang ayah atau bunda lho ya. Nanti biar ayah sama bunda yang nyari siapa pemiliknya. Kalau misal nggak ketemu, uangnya bisa kita masukin ke kotak infaq masjid," terang saya panjang lebar. Dia mengangguk mantap.


Memberi pengertian seperti ini penting sekali lho, Bun. Percayalah, bahwa anak kita itu pintar. Dengan memberi pengertian, insyaAllah mereka akan mampu menangkap pesan kita meski belum lancar berbicara. Berilah pengertian ini berulang-ulang agar mereka mampu merekamnya dengan baik. Pujilah ketika ia berhasil menemukan uang dan mengembalikan kepada pemiliknya. Berilah hadiah pelukan dan ciuman sebagai wujud bangga kita kepadanya.

Tanpa memberi pengertian seperti ini, bisa jadi dia akan kantongi sendiri uang yang ditemukan di pinggir jalan. Seperti salah satu anak tetangga yang setahun lebih tua ketimbang anak saya, dari seberang jalan suami pernah melihatnya mengantongi uang 5 ribu yang ditemukan di emperan toko. 

Tuh, kan, Bun? Betapa mengajari mereka tentang kejujuran ketika menemukan uang atau barang, berapapun besarnya, sangat penting sekali kita lakukan. Semoga anak-anak kita tumbuh menjadi anak yang jujur ya, Bun. Amiin. :)

Ini foto anak saya bareng adiknya. Abaikan rambut berantakan. Efek rambut dipotong sendiri. Karena junjing sebelah, yang sebelah terpaksa harus saya potong juga, ngikutin potongan rambut ala dia. Hahaha.

Selasa, 16 Agustus 2016


Sumber foto : FB Ustadz Felix Shiauw
Mungkin bagi yang masih single apalagi yang demen nonton drama Korea (drakor), akan meleleh dengan perlakuan romantis dari tokoh pria utamanya kepada wanita yang dicintainya. Dipeluk dari belakang, dipakaiin jaketnya, atau ditiup-tiup tangan wanitanya agar tidak kedinginan. Kalau jalan, digandeng tangannya. Kalau kecapekan, digendong di belakang punggungnya.

Bikin envy para jomblo kan ya? Andai di dunia nyata ada lelaki seperti itu, angannya sih gitu. Tapi etapi, buat kami, para emak erte, justru lebih memilih yang sesuai kenyataan saja. Iya, karena nggak ada gunanya ngimpi berlebihan bahkan saking terobsesinya sampai nuntut suami melakukan seperti adegan romantis dalam drakor.

Ya, kami tahu, jalan di tempat ramai sambil digandeng tangannya itu so suit. Tapi kami jauh lebih terkesima saat suami membawakan barang-barang belanjaan kami. Kami tentu rela tak digandeng karena kedua tangannya sudah rempong dengan barang belanjaan. Mana dia kadang pede saja bawa tas kami yang modelnya feminin itu. Bahkan sambil nyangklong tas baby yang ada bonekanya itu pun dia nggak peduli dengan pandangan aneh orang-orang. Kalo di drakor mana ada adegan kayak gini? :D

Iya, kami tahu, diberi sebuket bunga sebagai kejutan, itu romantis. Tapi, entah kami yang terlalu ngirit atau terlalu ekonomis. Hanya diberi kejutan dengan dibuatkan dingklik untuk duduk agar tidak pegal saat nyuci saja kami sudah bahagia. Bahkan kami akan mendadak melting saat suami rela menyisihkan waktunya untuk ubet buat keranjang bayi atau playpen dari paralon air karena lebih murah dan bisa diubah menjadi barang lain jika tidak terpakai. "Sayang kalo ntar nggak dipake. Kan besok bisa dipakai buat rak sepatu, jemuran dsb." katanya bikin kita makin meleleh. Di Drakor, adakah adegan romantis super ekonomis kayak gini? :D

Bentuk perhatian suami ke saya, salah satunya dibikinin jemuran lipat yang sebelumnya buat keranjang bayi. Karena anaknya sudah gede, keranjang bayi hasil buatan sendiri diubah untuk jemuran. Kalo hujan, jemurannya bisa dilipat begini di rumah. #abaikanjemuranyangnggakrapi wkwkwk


Kami tahu, dikirimi pesan cinta di Line atau kalau lagi jauh, nggak bisa tidur, doi sampai rela nyanyiin lagu buat kita agar lekas tidur, itu romantis. Tapi, kami tak perlu bermimpi seperti itu. Buat kami, sering dicuekin saat nyolekin atau nge-tag-in suami di Facebook saja nggak masalah. Ya, karena kami memahami kesibukan suami. Lagian, doi juga senangnya buka akun FB istri, makanya dicuekin. Bukan nggak percaya, tapi suka saja kepoin karena temannya lebih banyak dan isi statusnya variatif. #eaaa

Kami tentu menyadari suara suami yang pas-pasan. Efeknya mungkin bisa bikin kami insomnia. Makanya, kami nggak menuntut dinyanyiin sebagai pengantar tidur. Hanya sekadar ditanyain, "Gimana, sayang? Aman kan? Anak-anak sudah tidur belum?" itu sudah bikin mak cles di hati kami. Walau terkadang, baru sempat dibalas tengah malam karena saat pesan dikirimkan, situasinya belum "aman" (anak-anak belum pada tidur, lagi asyik main, rebutan mainan, rewel bareng-bareng hahaha). Di Drakor, ada nggak ya adegan rempong kayak gini? :p

Iya, kami tahu. Digendong di belakang saat jalan, pulang ke rumah, itu romantis kebangetan. Tapi, buat kami, hanya dibantu bawain cucian sebak gede ke jemuran saja itu sudah bikin kami terpana. Apalagi tanpa minta bantuan dia sudah sigap bantuin, "Sini! Biar aku yang angkat," ujarnya.

Kami tentu tak perlu bermimpi, dipakain jaket suami saat keluar malam. Ya, karena kami sudah mengenakan jaket atau sweater dari rumah karena naik motor. Lagian, nggak usah lebay juga kali sampai suami rela memakaikan jaketnya dari belakang padahal kami sudah pakai sendiri. Bukannya ini tega namanya? Yang aneh justru di drakornya. Sudah dingin, wanitanya pake jaket tapi masih dipakain jaket dari belakang oleh si lelakinya. Hadeh...kita mah yang nyata-nyata sajalah. :p


Dan yup, kami jelas tahu, dikompresin saat sedang sakit, dibikinin bubur atau bahkan sampai ditungguin di sebelahnya semalaman itu manis banget. Tapi buat kami, hanya ditanyakan keadaannya, dibikinin teh anget saja sudah cukup. Tanpa harus ditemani atau ditungguin sampai pagi. Loh, kok gitu? Lah, kan doi ambil alih jagain anak-anak atau ikut bantu ngerjain tugas rumah tangga sebisanya. Lebih suit mana kalo kayak gini? :D

Dari semua adegan di drakor, mungkin ada satu yang rada mirip. Saat si tokoh pria utamanya rela menyantap masakan wanita yang dicintainya meski rasanya hambar, keasinan atau bahkan gosong. Bedanya, suami tak akan menutupi kalau masakan kami rasanya tak sesuai harapan. "Bakwan jagungnya keasinan, Dek." Kritiknya jujur sambil terus mencomot bakwan jagung. Biar dikritik begini, efeknya bisa bikin kami mengkeret.

"Asin kok tetep dimakan?" selidik kami sedikit manyun.

"Ya, karena istriku sudah susah payah masak, masa' nggak dimakan?" Clessss, ini lebih cles ketimbang di Drakor yang pura-pura nutupin rasa masakan kan yak? Kalau kayak gitu kan, berarti ada dusta diantara pasangan dalam drama Korea. Wkwkwk.

Tapi, kami pun tak masalah, saat doi bilang, "Ya, gimana lagi? Orang adanya cuman ini, masa' nggak dimakan?" kata suami enteng. Agak baper dikit sih, tapi lebih baik begini ketimbang ada dusta di balik makanan. Iya kan yak? :D

Inilah mengapa, bagi kami, para emak erte, romantis itu yang sesuai kenyataan saja lah. Nggak perlu sampai berangan-angan semu ala drama Korea. Apalagi, sebagai istri kita kudu mensyukuri keadaan suami. Dengan bersyukur, maka akan banyak kebaikan yang terlihat dari pasangan kita.

Rasulullah Saw bersabda, "Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya, yaitu yang selalu merasa tidak cukup dari padanya." [HR. Hakim dalam Al-Mustadrak juz 2, hal 207]

Tentunya kita nggak kepingin jadi istri macam ini kan yak? :)

Sabtu, 13 Agustus 2016



Ya, ini yang harus diketahui dan dipahami oleh kita semua. Setiap anak terlahir dengan keunikan masing-masing termasuk tumbuh kembang tiap anak akan berbeda satu sama lain. Hanya sayang, terkadang orang selalu membandingkan kemampuan anak satu dengan yang lainnya.

"Loh, anakku saja sebelas bulan udah jalan, kok anakmu rambatan saja belum bisa?"

"Anakku aja setahun udah pinter ngomong, kok anakmu cuman panggil Mama aja belum bisa?"

Begitulah ketika mereka yang selalu membandingkan, seolah semua anak harus sama dengan anaknya. Ini pula yang sering saya alami. Betapapun keadaan anak saya, nyatanya juga tak luput dari "dibanding-bandingkan" dengan anak yang lain. Saya yakin, para bunda yang lain juga begitu. Iya, kan? Iya, kan? :D

Ya, saat anak pertama saya dulu, dia sebetulnya perkembangan motorik kasarnya terbilang cepat. Belum 3 bulan sudah tengkurap, tujuh setengah bulan sudah merangkak dan 11 bulan sudah jalan. Tapi kemampuan bicaranya yang sedikit lebih lambat. Ngecuis sih iya banget, tapi bahasanya pakai bahasa planet. Hahaha.

"Kok dia belum bisa ngomong sih? Cucuku saja sudah pintar ngomong," ada simbah yang berkomentar seperti ini. Padahal bedanya setahun lebih tua ketimbang anak saya lho. Hihihi. Ya, karena tingginya sepadan makanya dikira seumuran. :D

Nah, pas anak kedua saya ini kebalikannya. Perkembangan motorik kasarnya lebih lambat ketimbang kemampuan bicaranya. 

Di usia 8 bulan, dia pernah dapat pertanyaan begini, "Udah bisa merangkak ya?"

"Belum. Dia baru ndlosor-ndlosor (melata)," jawab saya santai.

"Loh, 8 bulan masa' belum merangkak?" tanyanya aneh lengkap dengan tawa yang terlihat meremehkan. Hihihi.

Pas lebaran kemarin, anak kedua saya juga dibandingkan dengan keponakan seumuran yang hanya beda 10 hari lebih tua ketimbang anak saya. Dia sudah minta ditetah kesana kemari tak mau berhenti. Sementara anak saya, 10 bulan baru bisa melata dan duduk saja. Hahaha.


"Padahal seumuran kan ya? Apa nggak dibiarin di lantai gitu biar dia merangkak sendiri?"

Iya. Saya malah membiarkan dia bermain di lantai. Sudah distimulus agar dia mau merangkak. Tapi dia tetap keukeuh: pilih melata saja! Itung-itung latihan militer. Hahaha. Dan sampai sekarang pun, usia 11m16d masih melata juga. Dia bisa berdiri sambil berpegangan saja masih dalam pantauan karena belum kuat benar pegangannya.

Apa saya risau soal ini? Baper karena kata-kata mereka? Hihihi, itu manusiawi ya. Sedikit mungkin iya. Wajarlah, naluri ibu. Tapi untungnya hanya bertahan sementara. Ya, nggak ada pentingnya juga kita tersinggung dengan kata-kata mereka yang asal keluar saja. Nah, biar tidak baper, ini sedikit tips dari saya.

1. Positive thingking

Boleh jadi mereka hanya nanya biasa, tapi kita terlalu bereaksi lebih. Seolah itu menyinggung hati kita, padahal cuman nanya. Jadi tetap berpikir positif sajalah.

2. Curhat dengan suami

Tempat curhat paling asyik ya suami kita. Saya biasa menjadikan guyonan kalau anak-anak saya dibanding-bandingkan orang. Suami sih nyantai, jadi saya ya tenang saja.

3. Sharing dengan teman-teman yang memahami kita

Saya biasa sharing dengan mahmud-mahmud yang mampu memahami perbedaan termasuk soal tumbuh kembang si kecil. Curhat dengan mereka lebih asyik.

4. Tetap memantau perkembangan si kecil

Meski sedikit lebih lambat ketimbang lainnya, ada baiknya kita harus terus memantau tumbuh kembang anak. Sekarang IDAI sudah meluncurkan aplikasi untuk memantau tumbuh kembang anak kan ya? Hanya sayangnya, kemarin saya download, aplikasinya nggak mau dibuka. Mungkin sistemnya belum fit benar kali ya, jadinya ngambek. :p

Selain itu, kita juga bisa baca buku tentang tumbuh kembang anak atau nyari referensi dari sumber yang jelas lewat mbah google. Dengan pembekalan pengetahuan ini, setidaknya kita bisa tenang karena tahu bahwa tumbuh kembang anak kita masih dalam kewajaran. Hanya sedikit lebih lambat saja jika dibanding dengan anak lainnya, tapi bukan berarti terlambat. :)

Rabu, 10 Agustus 2016


Alvin Faiz dan Larissa Chou (sumber foto: bintang.com)

Pernikahan Alvin Faiz, putra sulung dari ustadz kondang Arifin Ilham, dengan mualaf cantik keturunan China, Larissa Chou, memang masih jadi viral di media sosial. Banyak yang memuji keberanian Alvin yang menikah di usia muda, bahkan masih 17 tahun. Larissa yang kini bernama Siti Raisa itu pun juga terbilang masih muda, meski beda dua tahun lebih tua ketimbang Alvin.

Saya yakin, jombloers sampai halal pada ngiri dengan keberanian Alvin. Mungkin mereka juga pada ngebayangin yang indah-indah karena sudah halal.

"Enak kali ya, kalau sudah nikah, bisa pacaran sepuasnya nggak dosa. Jalan berdua sambil pegang tangan nggak ada orang yang bakalan protes. Bisa mesra-mesraan, bahkan lebih dari itu boleh. Dapat pahala lagi."

Apalagi yang demen nonton drama Korea atau baca novel romantis, bayangan mereka mungkin lebih ngayal lagi. Hihihi.

Tapi, mblo, menikah itu tidak sekadar yang indah-indah saja lho. Ada banyak aneka rasa di baliknya, dari yang manis sampai pahit. Dari yang asin sampai kecut. 

Apalagi menikah itu menyatukan dua insan yang tak hanya berbeda jenis, tapi juga dari karakter sampai pemikiran akan ada banyak perbedaan. Dalam berumah tangga, hal sepele akan menjadi masalah bertele-tele jika kedua belah pihak menyikapinya dengan egois versus egois. Sesungguhnya saat menapak menuju gerbang bernama rumah tangga, tingkat emosional kita meningkat dua kali lipat saat masih single dulu. Serius, mblo. Gampangnya saja begini, jika semasa lajang dulu, tingkat kebaperan kita kadarnya hanya 10 %, maka setelah berumah tangga akan naik melebihi kadar itu.

Ini wajar karena saat menikah, kita akan merasa bahwa pasangan kita ibarat bagian tubuh yang sudah menyatu dengan kita, tapi tetap dengan dua kepala dan hati yang isinya beda. Jadi saat ada selisih paham, ada kemungkinan akan saling ngotot dengan pendapatnya sendiri. Jika hati disakiti, rasanya akan jauh lebih sakit ketimbang disakiti orang lain. Ya, kebayang kan gimana rasanya saat kita tiba-tiba tanpa kendali, terus ditampar oleh tangan kita sendiri? Ini jelas terjadi jika pasangan gagal memahami dan mengerti bagaimana pasangan kita.

Maka dari itulah, mblo, menikah itu bukan soal berani atau tidak, tapi butuh kesiapan (kemampuan). Rasulullah Saw bersabda, "Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng)” (HR Bukhori, Muslim, dan Tirmidzi)

Lalu apa saja kesiapan itu? 

1. Kesiapan mental

Berani nikah, belum tentu siap mental. Dengan kesiapan mental ini, calon pasangan memang sudah memperhitungkan betul segala rintangan yang menghadang. Sehingga jika diuji dengan masalah besar, mentalnya akan kuat menghadapinya. Ia akan berusaha memecahkan masalahnya bersama, dengan tidak lari menjadi pecundang. 

Meski berani nikah, tapi tidak siap mental, saat diuji dengan masalah besar bisa saja ia pasrah saat bahtera rumah tangganya tenggelam atau menjadi seorang pengecut dengan meninggalkan pasangannya dengan berenang sendiri. Maka, berani nikah harus dibekali siap mental juga agar bahteranya tetap berlayar menuju tempat yang dituju, yakni Syurga Allah.

Apalagi jika tak berapa lama kemudian istri hamil. Jika tak siap mental, akibatnya bisa fatal karena suami tidak siap mental menghadapi kondisi psikis istrinya yang labil.


2. Kesiapan emosional

Tak selamanya pernikahan itu seperti pengantin baru. Dari romantis, bisa saja lambat laun akan terasa teriris-iris jika kita terlalu baper menyikapi perbedaan karakter dari pasangan kita. Apalagi jika istri mengalami fase hamil, melahirkan, menyusui dan mengurus anak. 

Saat seperti ini, istri akan lebih emosional dari sebelumnya karena hormon yang tidak seimbang. Mungkin dia akan lebih cengeng, tersinggung sedikit, bapernya bisa berkali-kali. Sering nangis di pojokan. Mangkel saat suaminya justru tidak peka dengan perasaannya, padahal dia sendiri cenderung menyembunyikan unek-uneknya.

Suami bisa saja jengkel dengan kondisi istrinya yang berubah seperti ini. Jika ia tidak siap secara emosional, kontrol emosinya akan lemah. Akibatnya? Marah-marah, membentak bahkan nyeplos mengatai kasar. 


3. Kesiapan akan tanggung jawab

Menikah memang tidak perlu harus mapan dulu. Bahkan yang masih pengangguran pun boleh menikah juga. Tapi syaratnya dia harus siap dengan tanggung jawab untuk menafkahi baik lahir maupun batin ketika menikah nanti. Jangan khawatir soal rezeki, karena Allah berfirman yang artinya, "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nuur 32)

Kalau dia masih kuliah? Dapat 'beasiswa' dari orangtua? Ya, tidak masalah selama dia memang sudah siap tanggung jawab menafkahi istri semampunya. Kalau dia masih kuliah, belum bekerja, sementara istrinya diberi sebagian uang saku dari orangtua juga nggak apa-apa. Toh, istrinya juga ridho. Karena kesepakatan awal, uang kuliah istri dibiayai ortunya sendiri juga nggak masalah. Tapi andaikan dia berusaha mencari nafkah sendiri disamping kuliah, tentu lebih bagus.

4. Kesiapan ilmu

Tanpa bekal ilmu, bahtera rumah tangga akan berlayar tanpa arah. Bisa-bisa salah jalan. Maka, penting sekali membekali diri dengan ilmu baik ilmu agama maupun ilmu duniawi seperti kesehatan, gizi, psikologi dsb. Maka kalau sudah berani menikah, bekal ilmu harus sudah siap.

5. Kesiapan jodoh

Nah, ini dia kunci terakhir. Mental dan emosional sih sudah siap. Siap menafkahi, dan bekal ilmu juga sudah banyak. Tapi masalahnya: jodohnya belum ketemu. Hihihi.

Pinginnya mungkin bisa nikah muda. Lulus SMA langsung nikah. Atau nikah sambil kuliah. Tapi ya itu tadi kendalanya: jodohnya belum ada.

Maka, untuk mewujudkannya perlu ikhtiyar untuk mencari jodoh lewat jalan yang halal, yang tidak bertentangan dengan jalan yang diridhai Allah. Jika ikhtiyar sudah dilakukan, kita berdoa kepada-Nya, memohon dipilihkan yang terbaik. Lalu kita pasrahkan kepada-Nya dengan siapa dan kapan kita bertemu dengan jodoh kita. 

Percayalah, jodoh itu bukan soal lebih cepat atau lambat. Bukan karena masih 17 tahun atau sudah 27 tahun. Allah menjodohkan hamba-Nya dengan sangat pas di waktu yang tepat. Mungkin bisa besok, lusa, bulan depan, tahun depan atau entah kapan, karena Dia Maha Tahu yang terbaik bagi hamba-Nya.

Kembali pada Alvin yang berani nikah muda. Dia bukan hanya berani, karena sebelum menikah, dia sudah melewati persidangan di Pengadilan Agama Cibinong. Hakim pun setuju setelah banyak bertanya dan melihat "mature enough" dari Alvin untuk menikah. Alvin juga punya bekal ilmu yang banyak. Dia sendiri dari kecil sudah punya bakat leadership dan sosoknya rendah hati.

Hematnya, Alvin memang punya kelima kesiapan yang saya sebutkan tadi. Dia tak sekadar hanya modal berani, tapi memang sudah siap membina rumah tangga bersama Larissa Chou, istrinya. Lalu, bagaimana dengan kamu, Mblo? :)

Selasa, 09 Agustus 2016


Anak pertama saya saat usia 7 bulan. Kini usianya sudah 3 tahun 7 bulan.

Andai saya tidak siaran bersama narasumber ahli gizi di radio tempat saya bekerja dulu, bisa jadi saya akan tumbuh menjadi ibu yang akan memberikan susu formula (sufor) bagi kedua buah hati saya. Ya, jauh sebelum saya memandu acara "Saatnya Wanita Berbicara" yang membahas tentang gizi bersama seorang nutrisionis, sudah lekat dalam pikiran saya, bahwa sufor-lah nutrisi yang baik untuk putra-putri kita.

Itulah pemikiran salah kaprah semasa masih lajang dulu. Bahkan saya sudah membayangkan, susu formula merk apa yang akan saya berikan untuk anak saya kelak. Sama sekali tidak terbayangkan akan memberikan ASI, apalagi sampai menyusuinya hingga usia dua tahun. Pandangan saya ini bukan tanpa sebab. Di lingkungan tempat tinggal saya, masih banyak ibu yang memberikan sufor untuk bayinya. Anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang terlihat super aktif dan pintar, dengan badannya yang gembul dan sintal. Sementara anak yang diberikan ASI terlihat sedikit pasif dan berat badannya tidak gemuk dan segar. Inilah mengapa karena keawaman saya, dulu saya berpikir bahwa susu formula dengan merk bagus itu lebih baik dari ASI.

Pelan-pelan saya mulai teredukasi tentang apa itu ASI dan segala kebaikannya. Meski tidak melulu membahas tentang ASI, siaran selama satu minggu sekali bersama nutrisionis pendukung ASI, sukses membuat saya akhirnya menyadari bahwa ASI adalah nutrisi terbaik bagi bayi kita. Susu formula sebagus dan semahal apapun tidak ada yang bisa menandingi kebaikan ASI. Titik tidak pakai koma.

Dari siaran bersama nutrisionis itulah saya tahu, bahwa menyusui, memberikan ASI harus sudah dipersiapkan sejak kita masih lajang, baik secara pengetahuan maupun kondisi tubuh kita yang kelak akan menghasilkan ASI. Maka dari itulah, ada 3 hal yang harus kita persiapkan agar kelak bisa memberikan ASI melimpah dan berkualitas kepada bayi kita.

1. Mengubah gaya hidup


Ada satu pertanyaan saya waktu itu, ketika on air, "Agar kelak kita bisa menghasilkan ASI melimpah dan berkualitas, apa itu harus kita persiapkan sejak masih lajang?" Dia menjawab, "Oh, jelas iya. Terutama ubah gaya hidup menjadi yang sehat."

Betul sekali. Bahwa mengubah gaya hidup dari yang semaunya menjadi yang sehat itu bukan perkara yang mudah. Sulit andaikan kita berubah 'ujug-ujug', langsung saat itu juga. Perlu proses untuk mengubahnya menjadi terbiasa.

Sedari kecil, saya jarang minum air putih, minumnya suka yang manis-manis. Makan sayur pun lebih sering disingkirin. Suka jajan sembarangan. Hobi makan junkfood. Dan seringkali saya tidak memperhatikan asupan yang dimakan apakah sudah mengandung gizi seimbang atau belum.

Karena kesadaran bahwa kelak tubuh saya akan menghasilkan ASI untuk buah hati, maka saya harus mengubah gaya hidup yang tidak sehat seawal mungkin. Saya mulai suka minum air putih. Yang tadinya tidak suka sayur, pelan namun pasti saya mulai menyukai sayuran bahkan digado tanpa bumbu apapun saya mau (sayurannya tetap direbus atau kukus). Kebiasaan ngeremuk mie mentah juga mulai saya tinggalkan. Kalau kepingin makan mie rebus, saya akan tambah dengan sebutir telur atau tahu dan juga sayuran. Sementara untuk buah, saya memang sudah suka sejak dulu.

Dengan mengubah kebiasaan ini, setidaknya saya tidak merasa terbebani ketika saya benar-benar menjadi ibu karena saya sudah terbiasa dengan gaya hidup sehat. Saat lahiran anak pertama, tiga setengah tahun lalu, alhamdulillah saya bisa memberinya ASI hingga usianya dua tahun. Bahkan sekarang, dilanjut adiknya yang kini usianya menginjak sebelas bulan.


Jujur, saya miris ketika tahu ada ibu yang katanya ingin memberikan ASI bagi bayinya, sementara dia tidak mau mengubah gaya hidupnya. Ogah makan sayur. Tidak mau minum air putih. Sering minum teh kemasan yang mengandung pengawet dan pemanis buatan. Alhasil, dia mengeluh karena ASI-nya kurang. Begitu disuruh mengubah, dia menjawab sulit. Akhirnya, suforlah yang jadi andalan.

2. Perluas wawasan tentang pemberian ASI dan segala kebaikannya


Ini penting sekali. Mungkin ketika masih single, ilmu tentang ASI hanya sebatas pengetahuan secara umum. Yang penting, saya saat itu sudah tahu bahwa ASI adalah asupan terbaik bagi bayi. Tidak ada nutrisi terbaik untuk bayi selain ASI.

Wawasan tentang ASI terus saya perluas ketika saya sudah menikah, dan makin digali lagi saat saya sudah mengandung. Apalagi agar ASI bisa keluar sesaat setelah melahirkan atau bahkan sebelum melahirkan, saya harus melakukan perawatan payudara selama hamil. Dikutip dari AyahBunda, salah satu cara perawatannya adalah dengan pijat payudara atau breast massage yang berguna untuk relaksasi dan membantu refleks pengeluaran ASI. Pijat payudara sebaiknya dilakukan sedini mungkin, yakni saat usia kehamilan 5 atau 6 bulan. Namun, hentikan pijat setelah usia kehamilan masuk trimester ketiga, karena bisa menimbulkan kontraksi rahim.

Dengan pengetahuan ini--hasil berburu ilmu dari internet dengan sumber yang jelas--setidaknya saya sudah punya bekal yang banyak. Jadi ketika si bayi lahir, saya sudah siap dengan apa yang akan saya lakukan nanti.

Dua kali saya melahirkan, ASI tidak langsung bisa keluar. Dua klinik bersalin tempat saya melahirkan pun tampaknya juga tidak pro ASI. Bayi tidak langsung didekatkan pada saya untuk dilakukan IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Saya sendiri saat itu sudah lemas. Bekal ilmu saya soal IMD ini masih amatlah dangkal andaikan saya harus melakukan sendiri, sementara dari bidan atau perawatnya tidak membantu.

Sungguh perjuangan berat bagi seorang ibu yang hendak memberikan ASI secara ekslusif, sementara rumah sakit atau klinik bersalinnya tidak mendukung. Maka penting sekali bagi ibu yang hendak melahirkan untuk survei rumah sakit atau klinik bersalin mana yang pro ASI.

Alhamdulillah, meski bayi saya sempat terpisah dengan saya selama satu jam, perawatnya belum memberikan susu formula. Pada akhirnya saya melakukan IMD semampunya dibantu oleh suami dan Bu Dhe yang saat itu ikut jagain.

Tapi ASI masih belum keluar juga. Saya berusaha untuk tenang dan yakin jika ASI akan cepat keluar dengan membiarkan si bayi terus menghisap puting, di samping juga memberikan rasa nyaman. Seperti yang pernah saya baca, bahwa ketenangan dan keyakinan ibu menentukan kelancaran ASI.

Dr Utami Roesli, SpA, MBA, IBCLC, FABM, seperti dikutip detikHealth, mengatakan bayi bisa bertahan 24-48 jam, karena ia sudah dibekali dari kandungan. Dr Tami juga menjelaskan, hampir sekitar 50 persen keberhasilan menyusui bergantung pada pikiran si ibu.

Lebih lanjut dr Tami juga mengungkapkan dari sisi kedokteran ada 2 hormon yang mempengaruhi ASI yaitu hormon prolaktin yang berfungsi memproduksi ASI dan hormon oksitosin yang berfungsi mengalirkan ASI. Hormon oksitosin ini terpengaruh oleh pikiran ibu. Jika ibu sedang sedih, stres, kesal atau mangkel maka hormon oksitosin akan berkurang sehingga mempengaruhi produksi ASI.

Sementara itu, mengutip dari laman okezone, para peneliti juga menemukan bahwa pada hari pertama sampai hari ketiga lambung bayi baru lahir hanya memiliki kapasitas menampung berkisar lima sampai tujuh ml ASI setiap kali minum. Jumlah ini sesuai dengan jumlah kolostrum yang sudah tersedia dalam payudara ibu pada hari-hari awal pascapersalinan. Tetesan-tetesan ASI pertama kali sampai hari kelima atau ketujuh berupa kolostrum, sudah cukup memenuhi kebutuhan bayi.

Dari sinilah saya tetap berkeyakinan, saya akan bisa memberikan ASI ekslusif untuk bayi saya. Alhamdulillah setelah kurang lebih lima jam pasca persalinan, ASI sudah keluar meski belum lancar benar.

Maka, penting sekali bagi calon ibu untuk memperluas wawasannya tentang ASI agar selepas bayinya lahir nanti, ibu tidak gagap saat menghadapi ASI-nya belum keluar pasca persalinan. Apalagi jika rumah sakit atau klinik bersalinnya tidak pro ASI. Andai saya tidak membekali diri dengan ilmu, bisa jadi saya akan patah arang, dan mengira bahwa saya tidak bisa menyusui bayi saya karena ASI belum keluar.

3. Menguatkan mental


Ya, bukan hal mudah bagi seorang ibu yang ingin memberikan ASI ekslusif untuk bayinya. Tanpa bekal mental yang kuat, ibu bisa saja menyerah dan pada akhirnya memilih memberikan susu formula kepada bayinya.

Ketika ASI belum keluar, entah untuk ke berapa kalinya, perawat bolak-balik nanya, "Gimana? Udah keluar belum? Apa dibikinin sufor saja?" Saya tetap menjawab santai namun tegas. "Nggak usah, mbak." Walau hanya sebatas bertanya, tapi bisa saja membuat kita jadi terpengaruh.

Pas lahiran anak pertama, saya bahkan diberi susu formula kemasan 150 gr dalam paketan perlengkapan bayi, sebagai salah satu fasilitas dari klinik bersalin tersebut. Memang, bidannya tidak memaksa atau menganjurkan untuk diberi susu formula. Tapi 'dititipi' se-dus susu formula bisa saja membuat ibu jadi tergoda karena ASI belum keluar.

Ketika anak menginjak usia tiga bulan, mertua saya bahkan menasihati saya, "Sudah tiga bulan, dikasih makan saja. Nanti kalau nggak dikasih makan, kamu bakalan disusuin terus." Saya berusaha menjawab santun lengkap dengan senyum, "Belum dulu, bu. Makannya besok kalau sudah usia 6 bulan. Nggak apa-apa saya disusuin terus."

Sepupu saya ada juga yang menyarankan begini ke saya, "Jangan cuma ASI. Dikasih sufor juga. Biar nanti kalau ditinggal nggak repot. Lagian kalau dia cuman ASI, besok dia bakalan nggak doyan susu."

Bahkan ibu saya juga pernah menyarankan yang sama saat anak kedua saya terlihat tidak semegrak (sebetulnya anak kedua saya ini aktif, tapi dia susah tersenyum selain dengan ayah, bunda dan kakaknya, kalau diajak orang lain seperti ketakutan atau kalau mau dia lebih terlihat kalem dan terkesan kurang lincah). "Ditambahin sufor biar lebih lincah dan badannya sintal. Lagian, anak orang lain dikasih sufor juga nggak masalah. Mereka baik-baik saja." Karena dengan ibu sendiri, saya lebih mudah memberikan penjelasan tanpa ada rasa sungkan.

Anak kedua saya yang dinilai susah tersenyum saat usianya 6 bulan. Kini usianya sudah 11 bulan.

Itulah beberapa kalimat yang pernah dilayangkan kepada saya. Tanpa mental yang kuat, saya bisa saja down sehingga mempengaruhi produksi ASI. Alhamdulillah, suami saya selalu menjadi tempat mencurahkan unek-unek. Kita biasa menjadikan kalimat-kalimat mereka ini sebagai candaan agar saya sendiri tidak terlalu memasukkan sampai ke hati.

Inilah mengapa, niat menyusui itu harus tumbuh jauh sebelum menjadi ibu. Karena ada banyak bekal yang harus kita persiapkan agar bisa memberikan nutrisi terbaik sebagai anugerah dari-Nya untuk bayi kita. Ingat bahwa setiap tetesan-tetesannya itu akan dinilai oleh-Nya jika kita ikhlas memperjuangkannya.

Meski Pekan ASI Dunia yang jatuh tanggal 1 - 7 Agustus telah berlalu, tapi semaraknya akan selalu digaungkan oleh para pendukung ASI. Karena sekali ASI tetaplah ASI. Tidak untuk yang lain, tak peduli dengan hambatan maupun rintangan yang menghadang. Happy breastfeeding, Moms!

*Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway DuniaBiza bertema "ASI dan Segala Cerita Tentangnya".



Sumber :
http://www.ayahbunda.co.id/kehamilan-gizi-kesehatan/5-kiat-lancar-asi-eksklusif-

http://m.detik.com/health/read/2011/09/27/150447/1731510/764/bayi-baru-lahir-bisa-bertahan-48-jam-tanpa-menyusu

http://m.okezone.com/read/2011/08/05/195/488715/asi-belum-lancar-don-t-worry

Minggu, 07 Agustus 2016


Hasil mewarnai anak saya, 3,5 tahun.

Judul diatas mengutip dari ungkapan Kak Seto yang saya baca di Twitter beberapa waktu lalu. Judul itu sangat pas sekali untuk nasihat saya pribadi. Ya, sebagai ibu, saya harus menyiapkan berlusin-lusin sabar untuk menghadapi murid macam anak saya, 3,5 tahun, dengan tipikal anak yang tidak suka didikte dan digurui ketika belajar.

Foto di atas adalah hasil dari mewarnai anak saya. Mungkin untuk ukuran anak lain seusianya sudah pandai mewarnai meski belum sempurna benar. Tapi, bagi anak saya, sungguh tantangan besar buat emaknya. :D

"Mewarnainya di dalam gambarnya yang warna putih." Dikasih tahu begini, dia malah nyoret hampir semua bagian buku.

"Kulit jagungnya warna hijau." Dia ngotot pakai warna pink.

Giliran serius, sedikit bisa karena terus dimotivasi, sebentar kemudian dia sudah bosan. Pingin main-main yang lain yang membuat tubuhnya bergerak kesana kemari.

Jika emak atau ayahnya berusaha memberi tahu, bahwa yang benar begini, dia malah bilang, "Nggak ya, Bun. Yang betul begini. Dikasih tahu kok ngeyel." Padahal salah, hahaha.

Ya, begitulah si sulung. Belajar iqro'pun begitu. Hafalanpun juga begitu.

Tapi ada satu yang unik darinya. Dia cepat menangkap jika dia belajar sendiri (dengan pendampingan) dari video. Bahkan bisa naik sepeda pun, sedikit terilhami dari nonton video.

Ketika dia diajari belajar iqro' (saya mengajari iqro' lebih dini karena ini lebih disarankan ketimbang belajar caliatung) dengan buku, masya Allah sulitnya kebangetan. Sampai yang bukan huruf pun dia sibuk nanyain. 😂😂😂 Saat dia bersama-sama hafalan surat pendek bareng emaknya, dia lebih sering terbolak-balik. 

Tapi begitu dia belajar sendiri (dengan pendampingan) dari aplikasi atau video edukasi, cepat sekali menangkap. (Catatan: gadgetnya no sinyal lho ya)

Sejujurnya, ada sedikit kekhawatiran saya: jangan-jangan dia mirip emaknya. Hahaha. Ya, saya dulu adalah tipikal murid bahkan mahasiswi yang justru sulit memahami penjelasan guru/dosen secara langsung saat di kelas. Tapi sebaliknya, saya bisa paham dengan belajar sendiri dari copyan catatan teman yang mencatat jeli apa yang disampaikan guru/dosen. 

Satu hal yang harus saya catat lekat-lekat: jangan paksa dia belajar ketika ia sendiri sudah bete kebangetan. Apalagi sampai menargetkan muluk-muluk: dia harus bisa ini, bisa itu, hafal ini, hafal itu. Yang jelas, jangan sampai dia merasa terbebani karena ini. Saya sendiri berusaha membuat proses belajarnya se-fun mungkin. Pun, itu bukan hal yang mudah. Lebih nggak mudah lagi karena adiknya ngerecokin. Hohoho.

Saya harus memahami kondisinya. Ya, karena kecerdasan anak tak melulu soal dia sudah pintar calistung, pandai mewarnai dsb.

Saya patut bersyukur karena dia tumbuh menjadi anak yang tanggap, disiplin, percaya diri, cukup mandiri di usianya, perhatian, pengertian, kontrol emosi bagus, bersosialisasi, tahan banting, bangga dengan apa yang dia punya, sederhana dan nilai-nilai plus lainnya. 

Tugas saya hanyalah memupuk semangatnya tanpa harus memaksanya. Sayapun kudu menguatkan mentalnya andaikan dia coba dibanding-bandingkan dengan sepupu-sepupunya atau teman-temannya yang mungkin terlihat pintar secara akademik. 

Dia baru berumur 3,5 tahun. Belum sekolah. Masih banyak hal yang harus saya persiapkan sebelum dia menapak ke lingkungan sekolah. Persiapan yang bukan sekadar pintar calistung atau mewarnai.

Baca juga : Jangan Khawatir bila Balitanya Belum Pintar Calistung

Saya pribadi tidak akan menuntut anak-anak saya pintar secara akademik. Karena dulu pun saya bukan murid yang ambisius mengejar prestasi akademik. Target saya saat itu, hanya ingin menjadi salah satu murid yang diperhitungkan di kelas. Itu saja. Ya, karena ada banyak hal lain yang harus kita pelajari di luar sana. Tak melulu soal ilmu di sekolah.

Andaikata mereka kelak jadi murid berprestasi, tentu akan saya dukung penuh, tanpa harus merasa terbebani. Jauh dari itu, menanamkan aqidah, menguatkan prinsip, dan membangun karakter menjadi generasi yang tak mudah terbawa arus, jauh lebih utama dari yang lainnya. :)

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!