Sabtu, 30 April 2016



Saya menulis ini terinspirasi dari postingan blog seorang suami yang mengisahkan bagaimana kondisi istrinya ketika dia menderita Post Partum Depression (PPD). PPD adalah gangguan yang terjadi secara emosional pada ibu yang baru saja melahirkan ditandai dengan beberapa masalah seperti marah, mudah cepat lelah, terjadi gangguan makan, hingga hilangnya libido. PPD setingkat lebih serius ketimbang baby blues (salah satu depresi yang menghampiri ibu pasca persalinan, baby blues terjadi dalam beberapa minggu dengan perasaan cemas, sedih, perubahan suasana hati, hingga sering menangis). Ngutip dari bidanku.com.


Karena wanita ingin dimengerti, itu kata sebuah lagu. Kenyataannya? Ya, memang betul seperti itu. Mungkin hatinya akan sangat lapang untuk memaafkan saat orang yang dikasihinya berkata ketus atau bernada kasar kepadanya. Tapi, jangan harap ketika dia tengah hamil atau menyusui. Catet ya, suami! :)

Mungkin para suami akan mendapati istrinya lebih cengeng dari sebelumnya, suka baper, dan sering mewek. Kesinggung sedikit, langsung nangis di pojokan. Pada fase ini, dia juga akan mudah marah. Atau terlihat lebih ganas dari biasanya.

Tahukah, suami? Hal ini wajar karena saat hamil atau menyusui, tubuhnya tengah mengalami penyesuaian karena perubahan hormon yang mempengaruhi psikisnya. Begitu kata situs bidanku. Di masa ini, sesungguhnya yang dia butuhkan adalah perhatianmu, pengertianmu.

Jangan cueki ketika dia mewek di pojokan. Mungkin tingkah istrimu yang mendadak cengeng ini super nyebelin, tapi lebih nyebelin lagi kalau kamu nggak pedulian. Dia tidak seperti kamu ketika hatinya sedang kalut, pinginnya pergi ke "goa" (baca: sendirian). Mungkin dia bilang ingin sendiri, tapi relung hatinya selalu menampik itu.

Dekati dia. Tenangkan dia dengan kata-kata halus. Syukur-syukur sambil diusap-usap bahu atau lengannya. Kalau perlu, peluk dia! (Serius ya, saya nulis ini kok kayak gimana gitu? Hahaha. Fokus. Suara perwakilan! :D)

Jangan bumbui dia dengan kalimat pedasmu. Atau kata-kata tajammu. Itu menyakitkan! Sangat menyakitkan! Secuek-cueknya kamu, plis...berubahlah walau hanya untuk sementara terutama di dua momen ini: saat hamil dan menyusui.

Maklumilah dia ketika dia tengah bermuka masam. Atau bahkan ketika dia bereaksi menyerang balik kalimat kasarmu.

Kau tidak tahu, betapa ia lelah seharian ini. Mengurus bayi yang rewel tiap jam. Gendong bayi. Nyusuin. Gantiin popok. Bersihin pup. Belum mengurus tetek bengek tugas rumah tangga tanpa ART. Jam tidur malam hanya serempangan. Baru tidur setengah jam, bangun. Nangis. Nyusuin. Satu jam kemudian, belum terpejam betulan, si bayi bangun lagi. Nangis. Nyusuin. Atau bahkan sampai ngajak melek berjam-jam di malam hari.

Padahal kondisi 'tandon'-nya ASI sudah amat mengkhawatirkan. 'Kran'-nya lecet karena pelekatan yang kurang sempurna. Lebih-lebih terus disedot sama si baby. Kau tahu, suami. Menyusui di saat seperti ini, itu rasanya super wow sekali. Wow karena sakit, bukan keenakan.

Nggak bisa bayangin andaikan istrimu yang begini, suami malah enakan tidur. Ketika istrinya sedikit stress, membiarkan sejenak bayinya menangis, suami langsung marah-marah. "Kamu itu emang nggak becus ngurus anak!" Ah, suami, cobalah mengerti perasaannya.

Mungkin kamu berpikir, "Toh, yang nyusuin dia. Disusuin aja nangis, apalagi aku yang pegang." Sesungguhnya tak apa jika dia yang pegang bayinya. Hanya sekadar menanyakan keadaannya saja itu sudah sedikit membantunya. Tenangkan dia. Kalau perlu cobalah gantikan dia untuk menggendong bayinya. Jika masih nangis, tak apa bagi istrimu untuk menggendong balik bayinya.

Kehadiranmu di sisinya saat momen ini sangat ia nanti, suami. Dia butuh bahumu untuk menyandarkan lelahnya. Dia butuh telingamu untuk mendengarkan curahan hatinya. Dia butuh nasihat lembutmu, kalimat penyemangatmu, dan dukungan penuh darimu.

Kau tidak tahu betapa dia harus berjuang melawan 'serangan' mereka untuk menambah sufor. "Bayimu rewel terus karena ASI-nya kurang. Makanya tambahin sufor gih!" pinta ibumu sedikit memaksa.

Bagimu, mungkin kalimat ini terdengar biasa, tapi bagi mereka yang gigih memberikan ASI-nya, itu amat menyakitkan, suami. Apalagi masih ditambah, "Tuh, bayimu kelihatan nggak seger gitu. Kurus!"

Apalagi jika kamu malah mendukung ibumu. Itu jauh lebih menyakitkan lagi. Maka tidak heran jika sindrom baby blues makin menyerang. Walau saya sangsi, jika sampai menjadi PPD selama ia masih istiqomah mengaji. Pun, itu juga tidak menutup kemungkinan.

Maka dari itu, suami, betapa perhatianmu sangat didamba oleh istrimu yang tengah hamil hingga masa menyusui. Plis...katakan say hello sementara waktu saat momen-momen ini, andaikan perhatianmu amatlah mahal bagimu. Mungkin sulit untukmu menanggalkan tabiat cuekmu. Walau kami jelas berharap, minimal, berubahlah menjadi suami cuek-cuek perhatian. Ini jelas lebih cool ketimbang cuek beneran. :p

Toh, bukankah sabda Nabi Saw, orang yang paling baik diantaramu adalah yang baik terhadap istrinya? :)

*hanya suara perwakilan, bukan curhat pribadi :)

Jumat, 29 April 2016


"Aku terganggu dengan statusnya..." Ini contoh status fbers yang susah move-on.

"Dalam diamku, aku ikut bahagia dengan kebahagiaannya..." Contoh status fbers yang bisa move-on tapi masih perhatian, sebagai saudara sesama muslim.

"Mau dia nyetatus apapun, nggak ngaruh buat gue. Biasa aja." Contoh status fbers yang bisa move-on, tapi reaksinya sebodo amat karena hatinya sudah benar-benar netral.

Dan kamu, masuk golongan mana? :D

Meski tidak menganut budaya pacaran atau ta'arupan pake huruf 'p', saya pikir, semua orang pasti punya 'si masa lalu' (itu juga kalau dia masih normal, hehe). Si masa lalu yang dimaksud bisa seseorang yang dulu ditaksir dalam diam, tanpa berani mengungkapkan (lewat jalan yang halal). Atau karena si masa lalu sudah keburu dilamar oleh yang lain.

Kalau ngomongin soal si masa lalu, adanya facebook itu berasa kayak gangguan bagi mereka yang sulit move-on. Setiap kali dia posting kebahagiaan dengan suami (istri), jadi baper sendiri. Nyesek banget. Sakitnya sampai 'nujeb' di hati. Beuh, segitunya?

Saking nggak tahannya, dia unfollow statusnya, biar hatinya nggak panas. Berhasil move-on?

"Hiks, enggak! Kenyataannya setiap kali buka facebook, jemari ini gatel kepengen ngintipin kronologinya dia."

Biar nggak gatel, akhirnya dia terpaksa unfriend dengan si masa lalu. Membantu?

"Fuihh, enggak juga!" Setiap hari dia selalu ngetik namanya di kolom 'search' buat ngepoin kabarnya.

Karena hati makin sakit, dia terpaksa ngeblokir si masa lalu. Sukses?

"Bbrbb, engggakkkkk!" Karena kepo, dia buat akun fb baru dengan nama samaran, kemudian nge-add dia lagi. O-ow!

Hehehe, emang susah ya kalau hati ini sulit move-on dari si masa lalu. Malah jadi rempong sendiri. Padahal move-on itu bukan soal kita 'memutus pertemanan' di facebook dengan si masa lalu, kemudian selesai (bisa move-on). Karena yang jadi masalah disini adalah hati kita. Mau segigih apapun kita berusaha unfollow, unfriend, atau bahkan blokir, tidak akan membantu jika hati kita masih tergadai oleh si masa lalu.

Karena menurut hemat saya, melupakan itu bukan lantas kita menjauhinya sejauh-jauhnya. Sekali lagi, ini tidak akan membantu jika hati kita masih tergadai olehnya.

Lalu bagaimana agar kita bisa move-on darinya?

Jangan tengok kemana-mana, fokuslah dengan hati kita. Bersihkan ia dengan banyak-banyak mengingat-Nya. Allah SWT berfirman yang artinya, "...ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'ad 28)

Ya, dengan cara ini, insyaAllah move-on kita akan berhasil. Allah akan senantiasa memberikan pencerahan jika kita mendekat pada-Nya.

Percuma kita memutuskan pertemanan atau bahkan sampai nge-blokir, jika pada kenyataannya kita gagal move-on. Karena yang jadi masalah disini adalah hati kita. Titik.

Andai saya punya si masa lalu, saya tidak perlu repot sampai harus memutus pertemanan. Karena damai itu lebih indah. Malah, jika saya tahu istrinya, saya bakalan add dia sebagai teman. Alangkah damainya jika kita bisa berteman baik (sesama istri).

Karena hati kita sudah move-on seratus persen, status apapun yang mereka bagi, nggak ngaruh buat kita. Mereka bahagia, kita turut bahagia. Begitu halnya sebaliknya. Perasaan itu timbul karena kita adalah saudara sesama muslim. Tidak ada perasaan spesial. Jika kita malah bereaksi sebaliknya, bukankah ini dengki namanya? Dengki karena dendam tak jodoh? Ini berarti kita masih gagal move-on dong yak!

Itu pendapat saya, mungkin bagi yang lain, move-on harus menjauhi, memutus pertemanan, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ya monggo saja. Karena tujuannya adalah bisa move-on sepenuhnya. Kalau saya lebih memilih tidak memutus karena (andai saya punya si masa lalu) toh dia tidak tahu jika saya pernah menaruh perasaan dengannya. Maklumlah, saya tipikal orang cuek yang enggan mengakui atau bahkan mengungkapkan (meski lewat jalan yang halal. Lah?! Hohoho). Bisa jadi juga, dia nggak kenal saya, wkwkwk. Hehe, cuman seandainya lho. Kenyataannya seperti apa itu rahasia. :)

Selasa, 26 April 2016


Mustahil dalam rumah tangga itu tidak ada cekcok, adu pendapat, selisih paham dan sebagainya. Pasti ada lah ya. Namanya juga menyatukan dua insan yang berbeda baik secara sifat, sikap maupun pemikiran. Kalau toh rumah tangga yang dibina terlihat adem ayem loh jinawi, saya pikir, yang membedakan adalah karena mereka bisa menyikapi segala perbedaan itu dengan bijaksana. Bukan es gois dibalas es gois. Hehehe.

Pernah dulu ada yang nanya di kajian Ahad Pagi. Suami istri berseteru sampai saling ngeludah. Aduh, mak, serius amit! Betewe, udah sikatan belum? :p

Ahad pagi kemarin juga banyak yang curhat, dalam pertanyaan tertulis, soal kondisi rumah tangga mereka. Ada yang suami istri berselisih, saking kebawa es mosi, suami sampai mukul istrinya hingga akhirnya nyeletuk bilang, "cerai!". Jeduarrrrrr!!!!

Setelah amarahnya mereda, suami baru menyesali tindakannya memukul istri, apalagi dia sampai keceplosan dengan satu kata sakti yang bisa merobohkan bangunan pernikahan. Kasus seperti ini bukan satu dua terjadi, melainkan banyak!

Kalau kita pikir-pikir, sebetulnya masalah keluarga itu bermula dari yang sepele lho. Dulu saya pernah berkata, masalah semungil pasir saja bisa berubah ala kesatria baja hitam (#eh) menjadi sebiji kerikil tajam yang siap nyubit telapak kaki kita. Atau dia bahkan bisa berubah menjadi sebongkah batu ukuran sedang yang siap membuat kaki tersandung hingga jatuh tersungkur. 

Inilah rumah tangga. Jika kedua belah pihak gagal menyikapinya dengan kepala dingin, es gois vs es gois, selalu merasa benar etc...siap-siap ada batu jatuh dari gunung. :D

Ayat ini pas banget sebagai pengingat kita kalau lagi kepengen marrrrah-marrrah. "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya..." (QS. Ali Imran 133 - 134)

Kalau suami/istri lagi marah-marah, yang pikirannya lebih longgar ya tidak perlu ikutan marah-marah. Biarkan dia meletupkan es mosinya barang sejenak. Kalau perlu digodain, "cieeee...marah ya? Senyum kek, kakek!" wkwkwk. Atau niruin gaya marahnya dia yang lebih ekspresif lagi. Dijamin ngekek. :D

Nggak ngekek? Malah tambah marah? Hm, itu artinya karena selama ini hubungan yang dijalin semua serba dibikin serius. Nggak pernah saling bergurau. Seolah hubungannya kayak air dan minyak, berdampingan tapi tidak bisa bersatu. Padahal meski berbeda, mereka bisa menyatu andai ada sabun disana. Sabun disini kalau yang lebih gamblangnya adalah agama (Al-qur'an dan Sunnah Rasul).

Makanya, hubungan suami istri itu jangan terjalin kaku bin kelu ala bahasa baku. Mereka yang kaku sebetulnya bisa kok jadi fleksibel, pinter-pinternya kita menjalinnya gimana. Ya, kuncinya memang, saling memahami dan mengerti saja sih.

"Hadehhhh...aku udah berusaha ngertiin dia, tapi apa balasannya? Dia gak pernah ngertiin aku...."

Hehehe, iya sih. Tidak mudah membuat hubungan suami istri yang saling memahami dan mengerti. Tapi konsekuensi dari hubungan ini adalah kita harus bisa menjadi yang pertama untuk memulainya dan jangan sekali-kali mengharap balasan serupa dari pasangan kita. Apalagi suami yang nota bene adalah makhluk paling tidak tanggap dengan perasaan wanita. Tidak tanggap bukan berarti tidak perhatian lho ya.

Lebih baik istri terbuka saja. Jangan ngarep suaminya peka dengan perasaan istri. Kalau ada yang tidak disuka dengan perlakuan suami, mending katakan saja baik-baik. Jangan senjatanya cuman besengut doang, biar suami yang paham sendiri. Sikap terbuka istri untuk mengeluarkan unek-unek hatinya ini juga salah bentuk saling memahami dan mengerti lho. Yang jelas, istri jangan gampang baper disini. Bukan cuma istri yang ingin dimengerti, tapi tabiat suami juga pengen dipahami.

Kalau ini bisa terjalin dengan baik, insyaAllah hubungannya tidak akan seperti mereka yang saya sebut diatas. Kalau lagi marahan, paling hanya saat itu, lalu baikan lagi. Atau malah di tengah ngomel-ngomel dia ketawa karena suami/istrinya godain. Kalau lagi kesel dengan sikap pasangan yang ngeyel saat selisih paham, bukannya marah-marah, malah jadi gemes-gemes nyebelin. Hahaha.

Makanya, dibawa santai sajalah. Jangan dibikin spaneng. Okay...

Suami juga seharusnya berbenah diri, menata hati. Bagaimanapun kalian adalah pemimpinnya keluarga. Jika setiap masalah selalu dihadapi dengan marrrrah marrrrah, entar cepat tua lho! Kalau dulu saya pernah nyetatus di Facebook soal istri yang dikira ibunya suami, kalau keadaannya kebalik gimana? Mau? :p

Padahal kalau lagi marrrrah-marrrah, ngomongnya jadi asal njeplak. Nyeletuk cerai, baru menyesal kemudian. Diajak rujuk, istrinya terlanjur sakit hati. Jadinya, horaaa sudi! :)

Ingatlah, suami, kalian memegang amanah yang sedemikian besar, sebagaimana Allah firmankan dalam QS. At-Taĥrīm ayat 6 yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..." 

Kalau suami labil, keluarga yang dibina bakal jadi apa hayoo? Jawab sendiri-sendiri. PR di rumah yak! :D

*repost status fb :D
*sumber gambar : google

Kamis, 21 April 2016



Merasa bosan di rumah, begitulah yang dikeluhkan para ibu rumah tangga yang kesehariannya berada di rumah. Rutinitas ibu yang itu-itu saja membuatnya merasa jenuh bila hanya berdiam diri di rumah, mengurus segala tetek bengek tentang rumah tangga. Kerepotan ibu makin bertambah dengan polah si kecil yang kini aktif beredar kemana-mana.

Di saat seperti ini, lelah dan letihnya raga ibu membuat emosinya makin labil. Mungkin dia sedikit iri dengan teman-temannya yang kini sukses meniti karir di luar rumah. Terkadang dia juga rindu saat masih bekerja dulu, sementara dia harus patuh dengan suami yang memintanya secara tulus untuk menjaga anak-anak di rumah. Pun ibu sendiri juga tidak tega jika meninggalkan si kecil pada seorang pengasuh.

Tak ada gunanya mengeluh terus-terusan, ibu. Bagaimanapun ini adalah pilihan kita. Seyogyanya kita bisa menikmati hari-hari #BahagiadiRumah. Biarpun hanya di rumah, bukan lantas produktivitas ibu jadi terhambat. Ibu bisa terus produktif di sini. Bahkan sesuatu yang luar biasa bisa kita ukir dari tempat ini.

Tengoklah mereka, para ibu rumah tangga yang sukses merintis bisnis dari rumah. Ada juga dari mereka yang bahkan bisa menghasilkan karya meski hanya di rumah. Bisa menulis buku, merancang baju, melukis dan sebagainya. Andai ibu hanya memerankan perannya menjadi ibu rumah tangga pun, ibu tetap memiliki nilai yang tak kalah dari mereka karena mampu mencetak generasi yang membanggakan bagi agama, nusa dan bangsa.

Untuk itulah, agar ibu menikmati hari-hari #BahagiadiRumah, ibu harus tetap produktif di sini. Berikut lima kiat menjadi ibu yang produktif :

Pertama, profesional dengan segudang peran ibu. Bak seorang pekerja, ada banyak peran yang ibu jalani ketika menjadi seorang ibu rumah tangga. Ia adalah guru sekaligus trainer bagi anak-anaknya, sekretaris pribadi suami, manajer keuangan, koki, nutrisionis, perawat, bahkan psikolog-nya rumah tangga. Semua peran ini akan maksimal dijalankan jika ibu melakukannya dengan profesional, tidak amatiran dan asal-asalan.

Kedua, bekali diri dengan ilmu. Untuk menjadi ibu rumah tangga yang profesional dengan segudang perannya, ibu harus membekalinya dengan menggali banyak ilmu. Ibu bisa belajar dari pengalaman ibu yang lain yang sukses menjalankan perannya, ikut seminar dan pelatihan, membaca buku, dan sebagainya. Di era digital ini, tidak sulit bagi ibu untuk berburu ilmu. Akses internet bisa membantu ibu menambah pengetahuannya. Untuk memudahkan mencari informasi, saya biasa menggunakan Twitter untuk memilah-milah judul artikel dari portal-portal online yang saya ikuti dan sumbernya jelas. Situs Tabloid Nova menjadi salah satu rujukan saya untuk memperluas wawasan terutama untuk ruang Sedap, Kesehatan, Keluarga dan Plesir. Ruang News juga turut menyumbang saat saya hendak update berita.

Ketiga, lakukan kegiatan lain sesuai passion. Selain menjalankan tugas rumah tangga, ibu bisa melakukan aktivitas lain yang sesuai kegemaran ibu. Gali minat ibu di mana. Mungkin menulis, menjahit baju, membuat aksesoris dan sebagainya. Jika ditekuni, bukan tidak mungkin ibu akan menghasilkan karya yang luar biasa. Bonusnya lagi, ibu bisa mendapatkan uang dari passion itu.

Keempat, berbagi ilmu kepada sesama ibu rumah tangga. Ilmu akan terasa ompong jika tidak ditularkan pada yang lain. Pengalaman dan ilmu yang ibu punya bisa dibagikan pada ibu rumah tangga lainnya. Misalnya sharing tentang ASI pada tetangga. Agar cakupannya lebih luas lagi, kita bisa memanfaatkan media sosial atau blog untuk berbagi ilmu. Dengan begitu, ibu akan merasa menjadi ibu yang bermanfaat tidak hanya pada keluarga tetapi juga untuk keluarga yang lain.

Kelima, ikut berkontribusi bagi masyarakat sekitar sesuai 'rel' masing-masing. 'Rel'-nya ibu adalah seorang ibu rumah tangga dengan latar belakang Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris misalnya. Agar ilmu yang diperoleh semasa kuliah dulu tidak hilang, ibu bisa mendirikan les bahasa Inggris tanpa memungut biaya bagi anak-anak kurang mampu di rumah. Atau ibu yang gemar membaca dan menulis bisa juga mendirikan komunitas baca atau klub menulis untuk anak-anak dan remaja di rumah.

Lima kiat ini jika ibu lakukan, insya Allah akan membuat perasaan ibu semakin #BahagiadiRumah. Semestinya ibu bersyukur, ibu punya banyak waktu untuk keluarga. Di luar sana, ada banyak ibu yang dengan sangat terpaksa harus berpisah dengan keluarga, pergi ke kota di seberang pulau atau bahkan jadi TKW di luar negeri karena tuntutan ekonomi. Maka, berbahagialah, ibu, suami mampu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga meski ibu tidak ikut bekerja di luar rumah. Biarpun penghasilannya tidak besar, tetapi cukup bagi keluarga.

Bersyukur sekali, Tabloid Nova mengadakan event #BahagiadiRumah dalam rangka NOVAVERSARY yang ke-28. Jujur, begitu tahu pengumuman lomba ini dari suami, saya antusias untuk ikut serta. "Temanya cocok banget dengan kamu," kata suami.

Ya, saya juga seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari hanya di rumah. Bagi saya, meski berada di rumah tidak menghalangi saya untuk tetap produktif. Bahkan kita bisa meniti karir dari sini, tanpa harus meninggalkan mereka.

Setelah resign dari pekerjaan sebagai Redaktur Majalah dan Penyiar Radio di Surakarta, empat tahun silam, praktis dunia saya serasa berubah. Pun begitu, saya tidak ingin menjadi ibu rumahan yang digerus kebosanan. Meski di rumah, saya masih menjadi kontributor di majalah yang sama. Setiap bulan, saya menulis dua artikel di tengah mengurus anak yang kala itu masih bayi.

Sejak dua tahun lalu, majalah tersebut berhenti terbit. Pun demikian, saya tetap menulis meski hanya sebatas update status di Facebook atau menulis di blog. Bagi saya, sekecil apapun, minimal ada sesuatu yang bisa kita hasilkan biarpun hanya berada di rumah.

Ini salah satu cara saya berbagi ilmu di media sosial. Meski hanya 32 like dengan 15 komentar, tak menjadi soal. Karena sekecil apapun ilmu yang dibagi, tetap bernilai di mata-Nya.

Baru beberapa bulan ini saya mulai menekuni dunia literasi lagi. Saya ikut beberapa event atau lomba menulis. Ada yang saya jadi salah satu pemenangnya, ada juga saya tidak muncul di deretan pemenang. Pun begitu, ini tidak menjadi soal, karena toh lomba yang saya ikuti memang ada manfaatnya. Meski tidak menang, minimal ada sesuatu yang bermanfaat yang sudah saya bagikan.

Saya juga ikut membantu usaha suami di rumah. Saya bertugas meng-input data barang yang masuk dan data penjualan di komputer. Saya juga kebagian tugas mencatat pendapatan dan pengeluaran harian di aplikasi keuangan. Meskipun kami orang swasta, dengan adanya laporan ini, pendapatan kami jelas sehingga kami bisa mengontrol berapa pengeluaran setiap bulannya.

Saya bersyukur sekali bisa membersamai anak-anak di masa tumbuh kembangnya. Sebagai ibu, saya bertindak sebagai guru sekaligus trainer bagi mereka. Setiap pagi saya ajak mereka belanja ke pasar. Si kakak yang sudah besar, saya biarkan dia berjalan di depan untuk melatih keberanian. Dengan mengajak mereka ke pasar, mereka akan belajar bersosialisasi, tidak gagap dengan keramaian, tanggap saat tahu bundanya kerepotan membawa barang belanjaan dan sebagainya.

Salah satu alasan saya #BahagiadiRumah adalah bisa membersamai anak-anak di masa emasnya. Anak saya (baju pink) tengah berjalan di depan saya sembari menenteng sayuran. Setiap pagi saya mengajak mereka ke pasar untuk melatih keberanian, kemandirian, ketanggapan dan bersosialisasi dengan sekitar.

Sore hari, saya biasanya mengajak mereka main ke kebun milik tetangga atau ke pinggir sawah untuk belajar mengenal alam. Saya biarkan si kakak yang baru berusia tiga tahun lebih empat bulan itu bermain berkejaran dengan ayam-ayam, berburu kepiting atau katak dengan bantuan bundanya, memetik dedaunan dan mencari barang-barang bekas untuk dijadikan mainan. Sementara adiknya yang belum genap delapan bulan hanya duduk mengamati di pangkuan bundanya.

Saya tanamkan nilai-nilai kebaikan pada mereka sedini mungkin. Saya juga membiasakan mereka untuk mengonsumsi makanan sehat sejak usia enam bulan. Saya berusaha membuat MPASI sendiri dan fresh di setiap jam makannya, memasak menu keluarga setiap hari, dan menanamkan disiplin jajan dan makan (mengatur makanan dan minuman apa yang boleh dikonsumsi atau dibeli dan berapa frekuensinya) kepada mereka.

Selain aktivitas di atas, saya juga jadi guru TPA yang ada di kampung seberang. Karena sibuk mengurus bayi, sementara saya vakum dulu untuk beberapa bulan ini.

Inilah beberapa hal yang saya lakukan untuk tetap produktif meskipun hanya berada di rumah. Dengan begini, saya semakin menikmati hari-hari di rumah dan selalu merasa #BahagiadiRumah. Saya juga bermimpi, kelak bisa menerbitkan sebuah novel yang ceritanya baru mengendap di otak karena kesibukan mengurus anak-anak. Saya juga berangan-angan untuk membentuk komunitas ibu rumahan yang produktif suatu hari nanti. Walau baru sebatas angan, jika kita berusaha semaksimal mungkin, saya yakin, insya Allah akan terwujud. Amiin.

Terima kasih, Tabloid Nova. Dengan menyelenggarakan event ini, saya harap akan memacu ibu-ibu yang lain agar tidak bosan dan tetap merasa #BahagiadiRumah.

Tidak terasa NOVAVERSARY sudah melewati usia yang ke-28 tahun. Jika disamakan dengan manusia, usia ini adalah usia dewasa di mana ia semakin matang dengan tindakan-tindakan yang diambil. Semoga Tabloid Nova selalu menebarkan banyak manfaat kepada para pembacanya, termasuk saya, dengan artikel-artikelnya yang informatif dan inspiratif.

Perjalanan NOVAVERSARY hingga usia 28 tahun tentu bukanlah hal yang mudah untuk dilewati. Saya harap, segala rintangan dan hambatan tetap bisa dilalui Tabloid Nova dengan baik.

Terakhir, saya ucapkan, "Happy NOVAVERSARY yang ke-28, Tabloid Nova." Semoga ke depan, Tabloid Nova semakin sukses dan selalu bersinar. Tetap sajikan artikel-artikel yang menginspirasi dan selalu up to date untuk kami, para ibu rumah tangga yang tetap ingin produktif dan #BahagiadiRumah.

Salam.

Minggu, 17 April 2016

Menanti memang butuh kesabaran. Tak mudah melewati masa-masa ini. Kita yang terus dibombardir dengan pertanyaan kapan, kapan dan kapan, serasa seperti ketusuk duri, andai membawanya sampai ke hati. Desas-desus orang di belakang, bahkan sampai omongan miring seakan menambah rasa sakit itu.

Kita ingin menutup telinga, mengunci rapat hati agar tak sampai sakit hati, nyatanya itu sulit ditunaikan. Kita berusaha kuat, mencoba untuk tegar, tapi cibiran mereka benar-benar menyesakkan. Seperti sebutan perawan tua, mandul, atau apalah itu.

Inilah sesungguhnya ujian penantian itu, ujian yang mengocok-ngocok kesabaran kita. Dulu saya pernah menulis sebuah artikel berjudul, "Ujian Kesabaran Ibarat Menanti Hujan Reda". Saya terinspirasi dari postingan teman di Facebook saat ia menanti hujan reda usai shalat shubuh di masjid karena tidak membawa payung.

Menunggu saat menanti hujan reda jelas menyebalkan. Kita bahkan tidak tahu sampai kapan hujan akan reda. Jika nekat, akan basah kuyub. Jika menunggu, mau sampai kapan?

Andai tak sabaran, mungkin kita akan memaki hujan. Kenapa turun hujan di pagi buta? Mengapa tiba-tiba? Bahkan sebelumnya langit tidak tampak digelayuti mendung?

Ah, apa salah hujan turun tiba-tiba? Dia datang atas perintah-Nya untuk membasahi bumi. Tak peduli manusia menolak atau mencoba mendikte kapan datangnya. Karena dia patuh pada perintah-Nya, Allah SWT-lah yang telah menciptakannya, bukan manusia.

Sesungguhnya hujan itu adalah rahmat dari-Nya. Allah berfirman dalam QS. Al-A'raaf 57 yang artinya, "Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan)..."

Dalam Surat lain Allah juga berfirman, "Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak..." (QS. Al An'aam 99)

Dengan hujan, tanaman akan tumbuh lebat hingga menghasilkan buah di kemudian hari. Tanpa hujan, makhluk di bumi akan mati. Itulah sesungguhnya buah dari kesabaran. Allah berfirman, "Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl 96)

Kembali pada postingan teman yang menunggu hujan reda selepas menunaikan shalat shubuh di masjid. Andai dia mau bersabar, dia akan masuk ke masjid, memanfaatkan waktu menanti ini dengan qiroah, berdzikir, membaca buku yang ada disana dan sebagainya. Jika masih hujan, dia keluar, menikmati hujan, bermain-main sebentar dengan menengadahkan tangan sehingga rintik-rintiknya berloncatan di telapak tangan. Lalu dia merenung, memahami kekuasaan-Nya. Hingga tanpa terasa, hujan akhirnya reda juga. Dia pulang ke rumah tanpa basah kuyub, dengan oleh-oleh ilmu luar biasa dari penantian tadi.

Lain halnya jika dia gagal bersabar. Dia terus menggerutu. Khawatir jika hujan tak kunjung reda. Serasa lama. Karena tak sabaran, dia nekat menerebos derasnya hujan. Padahal rumahnya lumayan jauh. Dia rutuki nasibnya karena baju basah kuyub, kaki penuh pasir, kedinginan dan sebagainya. Dia makin memarahi hujan karena tak jua berhenti.

Begitulah gambaran dari penantian itu. Tinggal kita memilih terus bersabar atau merutuki nasib?

Saya juga pernah berada di posisi penantian yang mengubek-ngubek kesabaran, menunggu jodoh dan menanti buah hati. Saya tahu bagaimana rasanya berada di posisi ini. Mereka terus bertanya kapan, padahal kita tidak tahu jawabannya. Mereka kepo bertanya, "Udah isikah?". Kita hanya bisa menjawab ngocol, "Isinya ada banyak..." Lengkap dengan senyum yang sedikit dipaksakan.

Saya selalu percaya, Allah akan mempertemukan kita dengan jodoh di waktu yang tepat, menurut-Nya. Pun dengan hadirnya buah hati. Ketika Ia menilai kita siap, pantas, dan layak bertemu dengan seseorang yang dinanti, saat itulah Allah datangkan ia pada kita. Mungkin kita menilai telah siap dan pantas, tapi belum tentu menurut-Nya.

Andai saya menikah empat tahun lebih awal, bisa jadi saya kesulitan mencintai suami karena saat itu saya masih terkungkung dalam pemahaman cinta yang salah kaprah. Andai saya nekat nikah tiga tahun lebih awal, ketika itu saya masih gamang menatap pernikahan. Andai saya menikah dua tahun lebih awal, boleh jadi saya akan menjelma menjadi ibu-ibu penggemar sufor dan hobi nyekokin anak dengan aneka junkfood. Andai saya menikah setahun lebih awal, mungkin saya akan meninggalkan anak-anak untuk bekerja di luar rumah.

Sungguh jalan-Nya sangat indah, teman. Saya tidak pernah berdoa untuk disegerakan jodohnya, tetapi jika saya dinilai oleh-Nya telah siap, pantas dan layak untuk menjadi istri, saya mohon kepada-Nya untuk mempertemukan saya di masa itu. 

Selama masa penantian itu, Dia banyak memberi petunjuk kepada saya. Dia tempatkan saya pada profesi yang kelak bisa jadi bekal saat menikah nanti. Saya siaran gizi bersama narsum sekaligus sahabat di bidang gizi. Saya juga jadi redaktur majalah yang mengharuskan saya membaca semua naskah yang masuk. Saya menulis belasan halaman di setiap edisinya. Karena profesi ini, saya harus rajin membaca, menggali ilmu lebih banyak lagi.

Setahun sebelum menikah, saya dihadiahi oleh Allah sebuah kecelakaan. Karena kondisi kaki yang belum stabil, untuk sementara saya tinggal di asrama. Niatnya sebetulnya hanya sementara, tapi karena ada banyak pelajaran berharga disana, saya bertahan sampai menikah. 

Di asramalah, saya mengenal banyak karakter anak-anak asrama. Menyadarkan saya, betapa ibu sangat berperan penting dalam pendidikan anak-anaknya. Karena inilah, saya harus bersama anak-anak kelak.

Pun, dengan hadirnya buah hati. Allah sedikit menunda memberi amanah buah hati, karena Ia ingin memberi kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan amanah pekerjaan yang belum maksimal ditunaikan. Karena saya sudah berazzam, jika saya jadi ibu, saya akan resign. Saya juga diberi kesempatan untuk belajar menjadi ibu, sedikit lebih lama lagi, sebelum saya benar-benar dipercaya menjadi ibu.

Karena pernah di posisi ini, saya jadi lebih memahami mereka yang dalam masa penantian. Biarpun tidak kenal, biasanya saya akan mendoakan mereka dalam diam. 

Inilah hikmah di balik penantian itu. Percayalah, meski terasa getir, sesungguhnya ada kebaikan di sana. Karena Dia tahu yang terbaik bagi kita, untuk yang lalu, saat ini, dan juga nanti.

Jumat, 15 April 2016

Sumber gambar : google
Bersyukurlah, suami. Di sampingmu sudah ada istri yang mengerti bagaimanapun keadaanmu. Dia tidak menuntutmu melebihi kemampuanmu. Dia ikut prihatin ketika hidupmu masih terseok-seok di dasar lembah.Mendapatkan istri seperti ini, itu anugerah lho, suami.Dari seribuwanita di muka dunia, belum tentu kamu mendapatkan satu diantara mereka istri macam ini.

Saya ingat obrolan rekan kerja ketika saya masih bekerja beberapa tahun lalu.

"Aduh, coi, aku kasihan sama si fulan itu,"katarekan bertubuh tambun itu.

"Emang kenapa dia?"tanya saya mewakili teman yang lain.

Dia senderan di kursi putar. "Aku kemarin mau nagih utang ke dia, tapi gak tega. Dia belum gajian. Aku lihat dia makan pake telur goreng sebutir dipotong dua sama istrinya.Bayangin, coi. Gimana perasaanmu?"ungkapnya dengan gaya ekspresif, khasnya.

Mungkin bagimu, ini hal biasa. Berbagi sebutir telur berdua malah romantis. Behehehe. Tapi ini bukan soal biasa atau romantis, ini tentang istrimu yang memahami bagaimanapun keadaanmu, brothers.

Dia tak mengapa meski tinggal di rumah kontrakan sempit nun dekil yang bahkan uang sewanya saja hasil bantuan teman baik yang meminjamimu tanpa tenggat waktu. Dia bahkanbahagia meski diajak tinggal di dalam kios yang sudah sesak oleh barang dagangan.

Dia tidak menuntutmu melebihi keadaanmu. Setiap teman-teman facebooknya memajang baju, jilbab, tas atau apapun barang dagangan mereka di lapak online, dalam ciut hati, sesungguhnya ia kesemsem dengan salah satunya. Tapi, godaan itu ia tahan karena diaingat dengan keadaanmu.

Padahal sebelum bersamamu, kehidupannya tidak seperti ini. Dia hidup berkecukupan, tinggal di rumah besar yang layak huni. Sementara denganmu?

Beberapa diantara mereka, atas ijinmu, ikut bekerja, membantumu menopang kebutuhan keluarga. Punbekerja, dia tidak mengabaikan anakmu. Dia jualan makanan, bawa bronjong, sambil gendong anak. Dia ngojek, sambil gendong anak. Ngajar,sambil gendong anak. Bahkan, manggul rumput untuk pakan ternak, sambil gendong anak. Ah, sungguh istri-istri macam ini amat langka jumlahnya, suami. Muliakanlah dia. Sayangi dan kasihi dia, suami.

Istrimu memang bukanlah sosok yang sempurna. Sekali dua kali mungkin dia lelah dengan pengertian ini. Mungkin dia sedikit iri dengan keadaan teman-temannya yang menikah dengan pria mapan secara finansial. Mengertilah, suami, perasaan ini wajar. Jangan kau sebut ia sebagai istri yang kufur.

Tanggungjawabmulah membimbingnya, terutama ketika ia sedang lengah sehingga mudah terbisiki syaitan seperti ini. Mungkin kilauan perhiasansedikit menyilaukan matanya, tetapi perhatianmu jauh lebih ia dambakan. Dia butuh semangatmu, dia nanti dekapanmu.

Dalam perjalanan waktu, istrimu mungkin tak secantik semasa single dulu. Tubuhnya semakin melar, kulitnya sedikit kusam. Bahkan seiring pertambahan usia, muncul guratan halus di sudut matanya.

Sementara kehidupanmu sudah jauh lebih mapan ketimbang dulu. Kau bahkan kini menempati jajaran petinggi di kantormu. Penampilanmu makin necis, dengan tatanan rambut klimis dan pakaian rapi.

Kau mungkin jenuh dengan keadaan istrimu yang tidak sesegar rekan kantormu. Hatimu bisa saja tergoda hingga tanpa sadar tertaut dengan salah satu diantara mereka. Sosok gadis manis dan ceria yang diam-diam menggelayuti sebagian hatimu.

Beruntung, Allah menjaga hatimu. Gadis yang kau taksir dalam diammu bukanlah sosok perempuan penggoda. Dia gadis shalehah yang menjaga hatinya untuk yang layak menghuni.

Andai istrimu tahu, jelas ia akan cemburu. Mungkin ia akan kecewa saat tahu kau tergoda olehnya. Kau, yang istrimu berusaha untuk mengerti keadaanmu saat masih terseok-seok dulu.

Maka, jangan lupakan ia yang telah memahami dan mengerti bagaimanapun keadaanmu, ketika merintis dari bawah kala itu, suami. Dia selalu ada bersamamu, sesulit dan segetir apapun kehidupanmu.

Jangan lupakan ia, istrimu yang berada di balik kesuksesanmu kini. Ia yang telah berkorban banyak untuk membantumu. Ia yang ikut prihatin dengan keadaanmu. Dan ia yang telah melewati suka maupun duka bersamamu, bertahun-tahun yang lalu.

Rabu, 06 April 2016

"Bunda, aku tak ikut ayah di sana ya?" Anak saya yang nomor satu meminta ijin.

"Nggak usah. Duduk di sini saja, di sana panas," balas saya cepat. Dia lalu ikut duduk di dekat saya.

Ibu berbaju merah melenggang di depan kami. Manik matanya memandang teduh ke arah anak saya. "Hehehe... Dibohongi ibunya saja langsung manut ya, Nduk." ujarnya seraya tertawa lebar.

Saya tersenyum. "Nggak dibohongi sama bundanya kok, Bu." Saya mencoba meralat. Ya, karena saya memang tidak berbohong pada anak saya. Di sana (di tempat ayah berdiri) memang betul panas.

***

Terbiasa bohong dan pandai membual janji pada anak kecilnya. Dua hal ini tampaknya mengekor lekat pada mayoritas orangtua. Jika Ayah Bunda seperti ini, berhentilah menjadi orangtua macam ini mulai sekarang. Stop menganggap mereka hanyalah anak polos yang dengan mudahnya kita bohongi.

Bohong dan membual janji seringkali dijadikan alat orangtua untuk meredakan tangisan atau rengekan mereka ketika meminta sesuatu. Apa ini akan membuat mereka mematuhi kita? Mungkin iya pada saat itu, tapi efeknya justru buruk ke depannya, terutama bagi mereka saat besar nanti.

Berikut beberapa alasan mengapa orangtua dilarang berbohong kepada si kecil.

Pertama, agama melarang kita berbohong meski pada anak kecil sekalipun. Dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah SAW sesungguhnya beliau bersabda, "Barangsiapa berkata kepada anak kecil, "Kesinilah ! saya beri". Kemudian ia tidak memberinya, maka yang demikian itu adalah perbuatan dusta". [HR. Ahmad dan Ibnu Abid Dunya, di dalam At-Targhiib wat Tarhiib juz 3, hal. 597]

Kedua, secara tak sadar kita justru menanamkan nilai kebohongan dan khianat pada mereka. Dengan terbiasa berbohong pada mereka, anak akan menganggap bahwa bohong itu hal biasa dan bukan sesuatu yang keliru. Tidak menepati janji juga sesuatu yang wajar dan bukan hal yang salah. Ini bahaya, jika anak sampai ternanam pemahaman keliru seperti ini. Padahal, dalam Islam, berbohong meski bercanda saja dilarang, apalagi yang serius.

Ketiga, anak akan makin tidak patuh kepada orangtua. Jangan dianggap anak akan patuh dengan kita yang gemar berbohong dan pandai membual janji. Justru sebaliknya, Ayah Bunda. Mungkin awalnya dia patuh, tetapi selanjutnya jangan harap. Sekali lagi, mereka bukanlah anak polos yang mudah kita bohongi dan buali janji. Jangan heran jika senjatanya kemudian ketika meminta atau menagih apa yang dia mau adalah tantrum, menangis jejeritan, bahkan sampai gulung-gulung di lantai.

Bukan satu dua orang yang mengatakan anak saya patuh dengan perkataan bundanya. Bahkan mereka keheranan ketika saya hanya mengijinkan dia mengonsumsi permen sebiji sehari. "Dia nggak nangis kalau dia minta lagi?"

Sebelum memberi saya ucapkan janji dengannya. "Makan permen sehari satu saja lho, ya." Dia menggangguk, lalu mengambil sebiji permen dengan sumringah. Jika di lain waktu (pada hari yang sama) dia minta lagi, saya ingatkan kalau dia sudah makan permen. Dia sudah janji makan permen sebiji sehari harus ditepati.

Dengan metode menjadi orangtua yang jujur dan tepat janji, alhamdulillah anak saya tidak menjadi anak tantrum ketika meminta sesuatu. Sama halnya ketika WWL (Weaning with Love) dulu, dua metode ini manjur untuk diduetkan dengan cara menyapih dengan cinta.

"Emang dasarnya anakmu manutan..." begitu kata orang-orang.

Betulkah begitu? Ah, mereka tidak tahu bagaimana karakter anak saya. Dia sebetulnya adalah anak yang tidak suka didikte, digurui dan ngeyelan kalau dinasihati. Tapi kelebihannya, dia tipe anak pemikir.

Meski anak lahir dengan karakter dan sifat dasar yang berbeda-beda, tetapi bukan lantas kita tidak bisa mengarahkan. Segala sesuatu di dunia ini ada akibat pasti ada sebabnya, pun sebaliknya. Hukum sunnatullah itu berlaku.

Untuk menerapkan metode ini kita harus menjadi orangtua yang tegas dengan aturan yang disepakati bersama dan konsisten. Aturan yang telah disepakati ini harus seharmoni dengan semua penguni rumah (ayah, bunda, ART, simbah dsb). Jangan segan untuk menegur baik-baik jika kita dapati mereka tidak konsisten dengan aturan ini. Simbah biasanya yang paling tidak tegas dan konsisten karena tidak tega mendengar tangis cucunya.

Dengan non penghuni rumah pun, kita harus menerapkan aturan yang sama. Ingatkan mereka baik-baik jika mereka berusaha berkata bohong kepada anak kita.

Satu ketika ada kerabat berkata kepada anak saya ketika dia kecewa tidak dibelikan bakso karena miskom, "Beli bakso nanti saja ya." Padahal tadinya saya sudah bilang bahwa beli baksonya besok saja, karena sudah malam.

Saya tahu, sebetulnya "nanti" yang dimaksud adalah hanya untuk melegakan kekecewaannya. Artinya dia berbohong. Saya langsung menegurnya baik-baik. Saya katakan bahwa anak saya tidak biasa dibohongi, jika memang tidak bisa membelikan malam ini, katakan tidak bisa. Meski kecewa, dia jauh lebih menerima ketimbang harus dibuali janji.

Semoga bermanfaat. :)
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!