Sabtu, 28 Mei 2016


Saya jelas bukan seorang emak hebat. Coba deh, saya disuruh buat kapal-kapalan atau orang-orangan dari kertas, saya pasti akan angkat dua tangan. Nyerah! Betapapun ada yang ngajarin, bukannya bisa, malah tambah bingung sendiri. Bagi mereka mungkin simple, tapi buat saya itu susah sekali. Serius. Hihihi.

Saya di dunia nyata juga hanya emak biasa yang sehari-hari bersama anak-anak di rumah, jarang bepergian,  apalagi ngeksis di luar. Jika melihat tampilan saya di rumah, jelas saya bukan seorang emak fashionista. Mungkin malah, kebalikannya. Karena hanya di rumah, saya biasa menggunakan baju gamis sederhana yang terpolusi bau ASI, bau kompor, bahkan bau ompol. Ya, beginilah saya di balik layar dunia maya.

saya dan smarphone


Lalu bagaimana dengan saya saat menjelajah dunia maya? Oh, jelas sangat berbeda sekali. Saya, seorang emak kucel ini berasa jadi emak "ajaib" ala tokoh kartun favorit yang sekilat berubah dengan kekuatan magic mereka. Jika Doraemon punya kantong ajaib, saya punya smartphone yang mengubah saya jadi emak "ajaib". Saya sengaja memberi tanda kutip pada kata "ajaib" agar para emak tidak salah arti. Ajaib yang saya maksud tentu hanyalah ajaib-ajaiban saja, alias tidak betul-betul ajaib. Heuheu.

Ya, ini semua karena HP android, saya seolah menjadi emak "ajaib" yang bisa berubah menjadi ini dan itu, jauh dari latar belakang saya yang merupakan lulusan dari Fakultas Pertanian. Lima petunjuk ini setidaknya jadi bukti kalau saya seketika akan berubah jadi emak "ajaib".

Bukti pertama : seolah jadi seorang psikolog, nutrisionis hingga praktisi kesehatan!


Apa persepsi orang ketika saya menulis artikel tentang kakak cemburu pada adik atau menjadi orangtua jujur dan amanah bagi si kecil? Mungkin dikiranya saya dari jurusan Psikologi karena saya menulis berdasarkan pengalaman pribadi tanpa copy paste

Atau ketika saya update status tentang mie instan yang katanya mengandung pengawet dan juga lilin di media sosial. Saya berusaha mendobrak isu yang terlanjur ditelan mentah oleh masyarakat ini dengan memuat bagaimana proses mie instan dibuat dengan mencantumkan sumber yang jelas. Saya tidak menduga ketika saya posting ini ternyata banyak teman Facebook yang melayangkan pertanyaan ke saya. Dari mie instan merk apa hingga pada pertanyaan seputar kesehatan seperti gangguan pencernaan, alhamdulillah bisa saya jawab dengan maksimal. 

Saya pun harus berulangkali mengatakan bahwa makan mie instan itu aman asal tidak berlebihan (kalau saran dokter sih, maksimal satu saja karena kandungan natriumnya tinggi) dan harus melengkapinya dengan tambahan protein dan juga sayuran karena kandungan gizi dalam mie instan itu belum cukup memenuhi kebutuhan gizi harian. Sepintas mungkin saya seperti seorang nutrisionis bukan?

Saya memang suka baca, tapi kelemahan saya adalah gampang lupa dengan nama atau istilah tertentu. Akan jadi cobaan bagi saya kalau saya nekat posting tentang minuman teh atau kopi yang tidak disarankan untuk diminum saat sahur karena merupakan jenis minuman diuretik, begitu kata portal online ternama. Sementara selepas nyetatus, ada banyak Facebooker kritis yang siap membantai saya dengan argumen semisal, "Loh, saya cuman minum air putih banyak saja kok masih sering buang air kecil?" 

Dijamin garuk-garuk jilbab dong ya. Bingung euy! Hihihi. Untungnya saya terselamatkan dengan adanya smartphone

Sebetulnya saya sudah punya bekal ilmu tentang minuman diuretik ini sebelumnya. Karena saya ini pelupa, saya harus minta bantuan mbah google untuk mengumpulkan informasi yang lebih solid dan akurat. Saya hanya tinggal menulis kata kunci yang masih saya ingat. Lalu cari artikel yang pernah saya baca atau terkadang menemukan artikel lain sebagai tambahan referensi untuk lebih memperkuat. 

Hasilnya? Ya, saya seolah seperti seorang psikolog, nutrisionis bahkan praktisi kesehatan, walaupun aslinya hanya KW 11. Hahaha. Pun begitu saya bukan pemberi informasi tanpa dasar sumber yang jelas dan asal comot doang, apalagi dari link abal-abal. Saya berusaha maksimal untuk memberikan jawaban yang jelas kepada mereka, dengan pengetahuan yang saya miliki karena hobi membaca. 

Bukti kedua : serasa jadi seorang manajer keuangan di perusahaan!


Sebagai emak erte, saya memegang peran menjadi manajer keuangan keluarga. Dalam menjalankannya saya tidak ingin asal-asalan. Berbahagialah saya yang dari jurusan IPA dan sangat tidak menyukai pelajaran Akuntansi ini terbantu dengan adanya aplikasi keuangan di HP. Sekarang, banyak aplikasi semacam ini yang bisa kita download cepat atau nyari ke Play Store.

Ini aplikasi keuangan yang membuat emak erte macam saya serasa jadi manajer keuangan di perusahaan.

Dari aplikasi tersebut saya bisa membuat laporan keuangan per hari. Karena saya sibuk merawat si kecil yang masih bayi, terkadang saya tidak sempat lagi untuk membuat perencanaan keuangan dengan sangat matang. Tapi setidaknya dengan HP android ini lebih memudahkan saya untuk mengontrolkan pengeluaran. Minimal saya masih sempat untuk merencanakan tabungan harian untuk anak buat biaya sekolah besok, inilah yang utama. Selain itu, saya usahakan agar uang pengeluaran tidak mendekati pemasukan sehingga saya bisa menabung untuk dana masa depan atau bila sewaktu-waktu dibutuhkan dalam keadaan tak terduga (sakit misalnya, dan harus dirawat di rumah sakit), saya tidak akan gelagapan karena bingung harus nyari duit dari mana.

Bukti ketiga : bak reporter atau bahkan seorang detektif!


Pernah satu ketika, di pagi-pagi buta, hujan abu turun menyelimuti daerah Sragen, tempat saya tinggal. Para tetangga ramai beradu argumen. Mereka mulai menduga-duga, abu tersebut berasal dari mana. 

"Ini pasti gunung Merapi meletus," ujar salah satu tetangga.

"Masa' Merapi? Jangan-jangan gunung Lawu aktif lagi," timpal tetangga lain dengan dugaan yang makin membuat panik karena gunung Lawu lebih dekat dengan tempat kami.

Mengobati rasa penasaran mereka, saya langsung ambil HP. Search di Twitter. Saya lihat judul time line beberapa portal online. Ketemu! Gunung Kelud-lah yang meletus hingga angin menerbangkan abunya ke wilayah kami. Begitu tahu berita ini, saya langsung kabarkan kepada mereka. Bak seorang reporter bukan? Ini pula yang akan saya lakukan saat rumah kami tiba-tiba bergerak pelan, sementara para tetangga sudah heboh berlarian keluar rumah dengan diliputi banyak pertanyaan, "Daerah manakah yang gempa?"

Selain jadi reporter berita KW 15, saya juga terkadang jadi seorang emak erte yang kepo dengan sebuah kasus pelik semacam pembunuhan yang tersangkanya sulit terendus polisi atau sudah ditetapkan tapi bagi saya serasa janggal. Seperti kasus Akseyna, mahasiswa UI yang ditemukan mengambang di danau Kenanga UI, Maret tahun lalu. Kasusnya yang begitu misterius ini membuat saya, penyuka cerita detektif, terus mengikuti kasus ini sampai sekarang, terutama dengan mengandalkan tanya pada mbah google.

Untuk melampiaskan unek-unek saya tentang kasus pembunuhan yang semula diduga bunuh diri ini, saya biasa menuliskannya lewat media sosial. Saya nekat menganalisis kasus ini bak seorang detektif, meski kelasnya baru sebatas kacangan. Hahaha. 

Begitu halnya dengan kasus Mirna, Sisca Yofi hingga kasus Feby Kurnia, mahasiswi UGM yang bagi saya masih agak janggal meski sudah ditentukan tersangkanya. Saya hanya penasaran saja dengan kasus tersebut. Pun begitu, bukan wewenang saya untuk menilai kinerja polisi. Kebenarannya seperti apa? Wallahu'alam.

Bak seorang detektif, emak erte kayak saya nekat juga mengulas kasus pembunuhan di media sosial.

Sepintas mungkin saya sok jadi detektif. Analisis saya bisa jadi dinilai masuk akal. Tapi tahukah? Bukan karena saya yang pintar, tapi smartphone-lah yang membuat saya begini. Karena pada kenyataannya, saya juga kepoin TL-nya akun-akun yang berusaha mengupas kasus-kasus ini. Hihihi.

Bukti keempat : mendadak Ustadzah!


Pernah ada teman berdecak kagum dengan saya karena saya bisa mencantumkan hadits shahih dalam tulisan saya. Katanya, "Wah, kamu ini bisa hafal isinya hadits-hadits shahih?"

Lah? Padahal, saya hanya ngetik kata kunci yang saya ingat lalu klik di file chm yang berisi kumpulan brosur-brosur kajian yang membahas tentang bab tertentu, lengkap dengan rujukan ayat dan hadits shahih. Misalnya, saya hendak mencari hadits yang memuat tentang orangtua yang tidak boleh berbohong meskipun pada anak kecil. Saya hanya mengetik kata kunci "kejujuran", beberapa file bermunculan, kemudian saya klik satu per satu, dicari hadits yang senada dengan yang saya cari. Tak butuh waktu lama, hadits-nya sudah ketemu, tinggal copy paste. Pun hanya dengan ayat Al-qur'an.

Tentu saya bisa cepat mencari di HP karena memang sudah saya pelajari sebelumnya. Saya tinggal mengetik kata kuncinya saja. Klik, ketemu! Mudah, bukan? Serasa saya jadi ustadzah dadakan, padahal saya hanyalah seorang emak erte biasa yang selalu mengkaji ilmu.

Bukti kelima : menjelma layaknya pelajar yang meraih prestasi.


Sejak saya punya smartphone, saya baru tahu ada info lomba menulis, blog competition atau giveaway yang berseliweran di dunia maya. Sebelumnya, entah karena jadulnya HP saya atau apa, saya tidak pernah sekalipun tahu ada event-event seperti ini lho! Padahal HP jadul saya juga bisa buat online, meski hanya GPRS. Saya tahu info lomba juga dari Facebook atau Twitter. Aneh kan? Hihihi.

Karena punya smartphone, saya jadi sering ikut lomba beginian. Apalagi sekarang bisa nulis sambil nyusuin, jadi lebih cepat selesainya. Kalau dulu harus nulis di laptop, agak repot karena nggak bisa nulis sambil disambi ASI-in. 

Ngikutin event semacam ini rasanya kita dikembalikan pada masa sekolah dulu. Saat akan ujian, kita dibuat kelabakan karena sistem belajarnya SKS alias sistem kebut semalam. Kita makin panik saat teman-teman yang lain kelihatan menguasai bab yang akan diujikan. 

Ketika ujian berlangsung, tengok kanan kiri, semua pada kelihatan pintar mengerjakan soal. Alhasil, makin khawatirlah kita. Di sisi lain kita juga bermimpi mendapat ranking tiga besar atau paling tidak sepuluh besar karena kita masuk kelas favorit.

Saat penerimaan rapor, kita dibuat deg-deg-an. Apa kita masuk tiga besar, lima besar atau sepuluh besar? Atau malah, tidak sama sekali?

Begitu halnya saat kita mengikuti kompetisi blog atau giveaway. Kalau kita coba bijak menyikapi, andai kita bukan pemenang sekalipun, sesungguhnya kita sudah masuk dalam barisan pejuang. Ya, karena kita sudah berjuang maksimal mengerahkan potensi yang kita miliki.

Andai kalah, ambil positifnya. Kita makin terasah kemampuan menulis, berbagi manfaat sekalian nambah postingan blog, termotivasi untuk terus belajar, kenal dengan blogger lain yang ngikutin kompetisi, pengunjung blog makin banyak dan sebagainya.

Walau kita jelas mupeng juga dengan hadiahnya. Apalagi giveaway kolaborasi Eliska Shop dan IDCopy ini hadiahnya bikin blogger pada kepingin ikutan. Hadiah pertama saja smartphone ASUS Zenfone Go ZC451TG. Siapa yang nggak mupeng? Ada tambahan dompet impor lagi. Jujur ya, saya saat ini nggak punya dompet. Kalau nyimpan SIM, KTP, ATM nebeng di dompet suami. Secara saya memang nggak kemana-mana. Kalau bawa uang, paling cuman dikantongin doang pas lagi ke pasar. Hahaha, kok saya malah curcol gini?

Yang pasti, jangan jadikan hadiah sebagai alasan utama. Menjadi pemenang itu prestasi. Dan hadiah hanyalah bonus dari prestasi yang kita raih. Bangga rasanya, kita yang sudah emak erte ini terus mengukir prestasi meski ranahnya dalam sebuah kompetisi blog atau bahkan giveaway.

Nah, inilah lima bukti yang menunjukkan saya yang seorang emak erte kucel ini bisa mendadak jadi emak "ajaib" karena bantuan smartphone. FYI ya, Mak. Saya bisa beli smartphone dari mengumpulkan uang sepuluh ribu per hari di celengan.

Buat mereka, untuk beli HP android seharga satu jutaan amatlah mudah. Tapi bagi saya, jelas saya harus memikirkan kebutuhan lain yang dinilai lebih prioritas. Makanya, biar ringan, saya harus sabar untuk disiplin nyelengin selama beberapa bulan. Inilah mengapa saya harus memanfaatkan HP ini dengan sebaik-baiknya, dengan sesuatu yang mengandung manfaat, dan memangkas hal yang sia-sia apalagi yang maksiat. Semoga bermanfaat.


"Lomba ini diselenggarakan oleh IDCopy.net dan Eliska.id"

*alhamdulillah artikel ini nyempil juga di juara favorit :)

Rabu, 25 Mei 2016




Mungkin sebutan itu pantas disematkan kepada saya. Iya, aneh. Saking anehnya, sampai detik ini saya merasa belum pantas menyebut diri sebagai blogger. Hihihi. 

Saya itu sebetulnya sudah nge-blog dari tahun 2008 lho! Blog pertama yang saya bikin juga di blogspot, entah dulu namanya apa. Tak lama kemudian, saya niru teman sesama penyiar, bikin blog gratisan yang dari Multiply. Setahun asyik di MP--sebutan tenarnya kala itu--saya bikin blog dari blogspot lagi dengan nama dunia maya yang aneh itu. Coba cek deh di blog ini

Tak puas kalau hanya punya satu blog, saya bikin blog di wordpress. Kacaunya, saya juga nekat membuat blog-blog lain untuk komunitas yang hendak dibentuk saya dan teman-teman.

Saya juga pernah jadi admin kedua di situs milik radio, menggantikan teman saya karena merasa dia tidak terlalu ngeh dengan dunia per-situs-an (#apasih). Saya juga pernah jadi kontributor di situs ini.

Dengan pengalaman saya di dunia perbloggingan ini seharusnya saya bisa menjelma jadi blogger sukses ya. Kalau ditekuni, mungkin pengunjungnya sudah lebih puluhan atau ratusan (ngayal boleh ya? :p).

Tapi, dasar saya yang suka mendua, mentiga, menempat (#eh). Bukannya ditekuni malah suka kelayapan kemana-mana. Alhasil, ya saya cuman disini-sini saja. 

Apalagi setelah saya resign tahun 2012 silam. Praktis saya vakum dari dunia perbloggingan karena saya harus tinggal di rumah, jauh dari sinyal hotspot. Pakai modem? Internetnya sering lemot. Pakai HP? Jujur, kala itu saya belum mampu beli smartphone, paling hanya nebeng punyanya suami (kok, jadi curcol? :D).

Baru tahun 2014 lalu saya bikin blog lagi dengan nama baru. Itupun miskin postingan karena kesibukan ngurus si kecil. Nah, sejak dua bulan lalu saya mulai sedikit rajin posting tulisan yang sebetulnya sudah saya lempar dulu di Facebook. 

Setelah aktif kembali, saya jadi tahu ada banyak komunitas blogger di sini. Blogwalking ke blognya blogger-blogger lain membuat saya jadi mupeng sendiri. Pengunjung mereka sudah ratusan ribu bahkan lebih dari sejuta.

Dalam hati saya menyesali, "Ah, andai dari dulu saya tekuni blog saya..." Tapi tak ada gunanya menyesal berkepanjangan. Saya harus merintis dari bawah lagi. Toh, mereka dulu juga mendaki dari bawah. Ya, kan? Ya, kan? :D

Nah, ini dia yang lucu. Lama vakum ngeblog membuat saya benar-benar harus belajar ilmu perbloggingan dari nol lagi. Sampai nyari template saja, saya nggak kepikiran harus sowan mbah google. Saya hanya melirik template bawaan dari blogspot yang macamnya hanya terbatas. Awalnya saya bertanya-tanya sendiri, "Perasaan dulu banyak pilihan template-nya, kok sekarang cuman segini?" Ya, pantes! Orang dulu saya nyari di situs lain yang menyediakan template gratis. Hahaha.

Gelinya lagi saat saya kebingungan nyari google followers. Berkali-kali saya nguplek-nguplek kolom 'tambahkan gadget' nggak ketemu juga. Sampai saya pasrah sendiri, mungkin sekarang sudah nggak ada kali, batin saya. Akhirnya secara kebetulan saya nemu artikel yang ngasih tahu dimana letak google friend connect ini. Setelah tahu, saya jadi tepok jidat sendiri. Ah, betapa dodolnya saya. Kenapa nggak kepikiran nge-klik ke "gadget lainnya" sih? Hadehhh...

Blogwalking


Setelah baca banyak artikel bagaimana meningkatkan jumlah pengunjung, salah satunya adalah blogwalking. Saya sudah lakukan itu jauh-jauh hari, tapi tetap nggak ngaruh buat perkembangan blog saya. Ya iya lah, orang saya cuman jadi silent reader. Hahaha. Saya hobi membaca artikel yang panjang, tapi jarang banget ninggalin komentar. Bukannya pelit, tapi bingung saja kalau harus komentar apa, kecuali jika saya punya kisah serupa.

Saya juga tipikal orang yang tidak suka basa-basi, apalagi SKSD. Bagi saya, akan merasa bersalah banget jika saya ninggalin komentar hanya sekadar untuk mencari imbalan dikunjungi balik. Artikel yang dikunjungi juga hanya dibaca judul, atau paling banter hanya paragraf pertama. Saya tidak mau menjadi orang seperti ini. 

Bagaimanapun mereka sudah susah-susah menulis untuk menyampaikan pesan kepada kita. Maka seyogyanya, hargailah karya mereka dengan membacanya secara tuntas. Paling tidak 75 % bagiannya sudah kita baca, andaikan kita tidak sempat membaca penuh.

Memang, adanya komentar, khususnya yang baik, menjadi penyemangat tersendiri bagi si penulis. Tapi jauh dari itu, saya percaya, dia akan lebih bahagia ketika apa yang ia tulis memberi inspirasi bagi pembacanya. 

Saya pribadi tidak berharap muluk-muluk. Tujuan saya meningkatkan jumlah pengunjung adalah agar apa yang saya tulis dapat menjangkau lebih banyak orang yang membaca. Soal yang lainnya, saya pikir, itu hanyalah bonus dari kerja keras kita.

Terakhir, tanpa banyak kata, semangat nge-blog wae lah! :)

Minggu, 22 Mei 2016




Tanpa disadari, terkadang kita dihinggapi perasaan seperti ini: merasa lebih suci. Kita sibuk menilai orang lain, bahkan sampai kadar taqwanya, sementara keburukan sendiri luput dari perhatian.

Ya, karena kita merasa lebih suci dari mereka!

Pernah satu ketika saya jalan dengan dua teman kuliah, satu tidak (belum) berjilbab, dan satu berjilbab mini. Saat itu ada kerabat yang melihat, dia langsung komentar begini, "Itu temanmu kok pada kayak gitu?" Tahu, kan maksudnya apa?

Ah, memangnya kenapa jika saya juga berteman dengan mereka? Orang mungkin akan sibuk menilai dengan dia yang tidak berjilbab, atau sudah berjilbab tapi masih mini. Tapi tidak tahukah mereka? Meski belum berjilbab, dia sangat lugu sekali. Dia tetap menjaga pergaulan dari lawan jenis. Dan seringkali saya diajak diskusi soal agama.

Saya tahu, dalam berteman, kita harus mencari kawan yang bisa mengarahkan pada kebaikan. Saya punya sahabat-sahabat seperti ini, mereka adalah sahabat dekat saya. Tetapi saya juga berteman baik dengan mereka yang belum berhijrah. Karena dengan beginilah, saya bisa berdakwah dengan mereka. Walaupun dakwah ala saya adalah dengan contoh dan sharing secara tidak langsung, lengkap dengan gaya saya yang sedikit kacau itu. Hehe.

Hanya sayangnya, banyak dari kita 'terhunus' oleh perasaan lebih suci. Kita merasa lebih suci dari mereka yang tidak berjilbab atau berjilbab tapi masih mini. Kita lupa bahwa mereka hanya belum berjilbab sesuai syariah seperti kita. Boleh jadi karena mereka belum paham, atau sudah paham tapi masih bimbang. Tanpa kita tahu, sebetulnya mereka tengah berproses menuju ke arah sana (sesuai tuntunan Islam).

Saya contohkan dari kisahnya seorang akhwat yang kerja di dekat kantor saya dulu. Ketika itu jilbabnya mini dan tipis. Orang mungkin akan sibuk nyinyir di belakang, "Itu kok ngerekrut karyawan yang jilbabnya mini?" Ya, karena dia juga bekerja di salah satu unit usaha yang dimiliki oleh yayasan dakwah, tempat saya mengaji.

Tapi tahukah mereka jika dia tengah berproses? Dia rajin ikut Tahsin. Dia semangat sekali belajar Tahsin. Bahkan saya saja kalah semangat darinya. Beberapa kali dia ketahuan tengah mengamati saya (hahaha, boleh ke-GR-an dikit ya? Karena dia bukan ikhwan, gak pa-pa, #ngek :D). Saya tebak, dia penasaran dengan gaya berjilbab saya yang tipis tapi 'didobeli' pakai jilbab tebal di dalamnya. Ya, karena saya sering dapat pertanyaan kayak gini.

Beberapa minggu kemudian, dia melebarkan jilbab tipisnya yang 'didobeli' dengan jilbab tebal di dalamnya. Dari belakang kamera, diam-diam saya tersenyum simpul. Dalam hati saya mengucap syukur dan berdoa agar dia istiqomah.

Maka, jangan kita merasa suci, teman. Allah berfirman yang artinya, "...janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa." (QS. An-Najm 32).

Selasa, 17 Mei 2016




Mbah Sati 'Getuk', begitulah orang-orang di pasar Paldaplang, Sragen, memanggilnya. Sudah lebih dari setengah abad lamanya ia berjualan getuk, salah satu makanan khas Jawa Tengah. Pribadinya yang murah senyum membuatnya awet hingga sekarang. Dengan tangan rentanya, ia membuat getuk sendirian.

Usianya sudah menginjak 85 tahun. Mbah Sati, penjual getuk asal dusun Mentir, desa Bener, Ngrampal, Sragen ini tetap bersemangat mencari rezeki di usia senjanya. Bahkan, ia berniat jualan getuk 'sak lawase' (selamanya), begitu katanya saat penulis menemuinya di sela-sela menjajakan dagangannya.

"Kulo malah seneng lak seh dodolan. Kulo pengen dodolan getuk sak lawase, geh sak patine kulo (saya malah senang kalau masih jualan getuk, saya ingin jualan getuk selamanya sampai saya mati)," ungkapnya dengan nada suara sedikit tak jelas karena giginya yang sudah ompong semua.

Sehari-hari mbah Sati biasa membuat getuk sendirian. Dari mulai mengupas, merebus, menumbuk bahkan sampai memarut kelapa, dilakukannya seorang diri. Selain getuk, ia juga membuat sawut, makanan tradisional yang terbuat dari singkong yang diserut lalu dicampur dengan gula merah.

Sore hari, biasanya ia sudah mulai mengupas singkong dan ubi. Jam setengah dua dini hari, ia akan bangun, lalu merebus bahan untuk getuk dan sawut di atas tungku kayu bakar. Selepas subuh, saat jam sudah menunjukkan pukul setengah lima ia akan berkemas. Getuk dan sawut yang sudah jadi itu, ia tata di dalam senik (tenggok) lalu ia gendong di belakang punggungnya yang membungkuk dengan selendang lusuhnya.

Sejak suaminya meninggal belasan tahun yang lalu, ia memang hanya tinggal sendirian di rumahnya yang sangat sederhana. Sebetulnya anak-anaknya sudah berulang kali memintanya untuk berhenti jualan dan tinggal di rumah salah satu anaknya. Tetapi ia keukeuh, ingin mencari nafkah sendiri sepanjang masih dianugerahi nikmat sehat. Ia bahkan bahagia tinggal di rumah kecilnya yang sudah puluhan tahun dihuninya bersama sang suami. Meski disini ia hanya sendirian, tanpa ditemani anak, cucu maupun cicitnya.

"Jane lak leren geh penak awake, nanging loro pikirane. Kulo lak jagakke anak, mboten purun (kalau istirahat, tidak jualan, ya enak badannya, tapi sakit pikirannya. Saya tidak mau kalau terlalu bergantung pada anak)," tukasnya sembari memotong getuk dari ubi ungu.

Saat suaminya masih hidup, ia biasa diantar dengan menggunakan becak. Sekalian mengantar, sekaligus berangkat untuk menarik becak di kota Sragen. Namun semenjak suaminya tidak ada, ia biasa berjalan tanpa mengenakan alas kaki sembari menggendong senik ke pasar yang berjarak 4 km dari rumahnya.

Mengingat usianya yang sudah semakin tua, ia kini sudah tak kuat lagi bila harus berjalan kaki ke pasar. Apalagi, setelah ia jatuh saat hendak ke kamar mandi beberapa waktu lalu. Ketika akan berangkat, ia biasa meminta tetangganya untuk mengantar ke pasar dengan membayar Rp. 5000,- rupiah. Demikian halnya saat akan pulang ke rumah, ia akan diantar oleh pak tukang parkir di pasar. Pun begitu, jika tidak ada yang mengantar, ia akan tetap berjalan kaki ke pasar atau pulang ke rumah, lengkap dengan gendongan getuknya.

Kini, dagangan getuknya pun tak bisa sebanyak dulu. Karena tubuhnya yang semakin renta, ia hanya membuat satu atau dua jenis getuk dari singkong atau ubi dan juga sawut. Itupun jumlahnya tak seberapa. Dalam sehari ia meraup pendapat kotor Rp.80.000,- hingga Rp.90.000,- dengan keuntungan rata-rata Rp.30.000,-.

Meski hasilnya tak seberapa bila dibandingkan dengan jerih payahnya, uang itu sudah cukup baginya. Tanpa harus mengharapkan bantuan anak-anaknya, ia bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dari berjualan getuk. Ia bahkan, menurut salah seorang pedagang di pasar, juga dikenal dermawan. Ia tak segan membelikan selendang atau sabun cuci jika tetangganya ada yang melahirkan. Terkadang juga memberikan oleh-oleh pasar pada tetangganya.

Sosok mbah Sati ini hanyalah satu diantara sekian ribu orang yang tetap semangat mencari rezeki di usia senja. Ketika banyak orang di luar sana yang masih dianugerahi fisik yang sehat dan kuat tetapi malah bermalas-malasan bekerja atau bahkan tak malu mengemis di jalanan, ada sosok-sosok seperti mbah Sati yang tetap giat bekerja, menjemput rezeki yang halal, yang lebih barokah.

Bagi mereka, raga yang menua bukanlah penghalang untuk tetap bekerja. Mereka, mbah Sati khususnya, juga tak mau menjadi beban bagi anak-anaknya. Sepanjang masih diberi kesehatan, ia akan tetap semangat meraup rezeki dari berjualan getuk.

"Barakan kulo niki mpun sedo danten, mbak. Kulo kudu semangat golek rezeki. Kulo syukur alhamdulillah seh diwenehi waras (teman sebaya saya sudah meninggal semua, mbak. Saya harus semangat mencari rezeki. Saya bersyukur alhamdulillah masih diberi kesehatan)," pungkasnya.

*Artikel ini pernah diikutsertakan dalam lomba blog Indonesiana Figur Inspiratif. Sebetulnya saya sudah lama ingin ngobrol dengan mbah super sumeh yang satu ini. Alhamdulillah ada momen tepat untuk mewawancarai beliau. Dan karena tulisan ini, alhamdulillah saya dapat hadiah smartphone. Hihihi...nggak pamer lho :p

Sabtu, 14 Mei 2016



"Dia nakalin adiknya nggak sih?" Pertanyaan serupa ini sering ditanyakan oleh mereka saat saya mengajak anak-anak keluar rumah. Wajar mereka kepo soal ini, karena selisih si kakak dengan adiknya lumayan dekat, hanya dua tahun delapan bulan.

Ya, alhamdulillah dia berkembang menjadi seorang kakak yang pengertian, tanggap dan sayang dengan adiknya. Bahkan dia sangat bisa diandalkan untuk membantu bundanya saat sibuk ngurusin adiknya. Misal, dia bantu ambilin celana di lemari, naruh celana yang diompolin ke tempat cuci, ambilin telon, bedak dan sebagainya. Dan bangganya lagi, tanpa diminta pun, terkadang dia sudah berinisiatif sendiri. Bahkan sampai rempong milihin baju yang dipakai buat adiknya. Hihihi.

"Ah, itu karena dia perempuan. Wajar kalau dia sayang adiknya," ada juga yang menyanggah, alasan kenapa anak saya jadi kakak super perhatian seperti ini.

"Waduh, nggak ngaruh itu. Anakku yang perempuan saja dia nggak mau ngalah dengan adiknya. Nakalin adiknya. Bahkan, sampai adiknya diseret-seret," ada ibu muda ikut nimbrung.

Cemburu dengan adiknya memang wajar terjadi pada anak-anak kita. Bukan hanya mereka yang selisih umurnya dekat, dengan mereka yang berjarak agak jauh pun bisa juga cemburu pada adiknya. Hanya bedanya jika si kakak masih balita atau batita, kontrol emosinya belum sebagus mereka yang sudah purna balita. 

Maka tidak mengherankan jika si kakak kecil ini cenderung lebih reaktif untuk meletupkan emosinya. Dia tak segan memukul atau melempari dengan barang ketika adiknya mengambil mainannya. Mungkin juga tanpa sebab apapun tiba-tiba dia mencubit adiknya, atau bahkan jorokin adiknya saat belajar berdiri. Dia bertingkah seperti ini karena menganggap adiknya sebagai saingan bahkan ancaman karena ibunya lebih sering berkutat dengan adiknya ketimbang dirinya.

Kalau ditanya sayang adiknya nggak? Oh, jelas sayang. Coba saja ada orang lain yang ngajakin adiknya, pasti dia bakalan melarang keras. Kalau nekat, dia bisa nangis kenceng.

Lalu apa betul, kakak yang bisa perhatian dengan adiknya memang bawaan dari sononya? Ah, semua pasti ada hukum sebab akibatnya, Bunda. Pada kenyataannya, banyak ibu yang abai untuk menyiapkan mereka ini menjadi kakak yang baik bagi adiknya. Mungkin karena kurangnya ilmu, kesibukan, atau karena dia sendiri sudah terlampau stress setelah sebelumnya melahirkan lalu merawat anak-anak batitanya.

Nah, untuk itulah saya bagikan beberapa kiat agar si kakak tidak cemburu dengan adiknya. Kiat yang saya bagikan ini juga senada dari beberapa sumber yang saya baca. 

Pertama, tunjukkan jika ibu tetap menyayanginya. 

Saya jadi ingat bagaimana reaksi anak saya ketika ia menemui bundanya setelah beberapa jam sebelumnya melahirkan. Dia menatap saya asing.  Ada rasa ketakutan saat saya memintanya mendekati bundanya. Saat saya menasihati dia di lain hari, sungguh saya dibuat terhenyak dengan reaksinya. Mimik mukanya seolah berbicara, "Bunda marahin aku berarti bunda nggak sayang sama aku lagi." Ini tentu tidak seperti dia sebelumnya, yang akan ketawa jika bundanya memarahinya karena mengira bundanya tidak serius. Padahal, saya hanya menasihati, dengan intonasi yang sengaja saya buat halus, tapi reaksinya malah seperti ini.

Dari sinilah, saya berkeyakinan, hal pertama dan utama yang harus kita lakukan adalah menunjukkan kasih sayang. Tunjukkan jika ibu tetap menyayanginya. Ini dimulai sejak adiknya masih di dalam kandungan. Katakan jika kasih sayang ibu tidak akan berubah, meski nanti adiknya lahir. Kebiasaan ini makin terus dilakukan ketika adiknya sudah lahir. Sering-seringlah memeluk, mencium pipi atau mengelus rambutnya sebagai bentuk jika ibu masih menyayanginya. 

Agar kakaknya tidak merasa terabaikan, di saat menyusui, mintalah kakaknya tiduran di samping adiknya. Sambil menyusui, sambil mengelus-ngelus tangan kakaknya. Selain menunjukkan kasih sayang, ini juga akan lebih mendekatkan si kakak dengan adiknya.

Kedua, siapkan dia menjadi seorang kakak seawal mungkin. 

Kenapa harus seawal mungkin? Ini penting karena jika terlambat, dia akan menjadi seorang kakak 'karbitan'. Banyak ibu mengabaikan ini karena dinilai toh masih di dalam kandungan. Padahal mumpung adiknya belum lahir adalah momen yang tepat untuk menyiapkannya menjadi seorang kakak yang baik bagi adiknya.

Beritahu dia ketika ibu tahu tengah mengandung lagi. Mulailah mengubah panggilannya dengan sebutan 'kakak'. Saya pribadi menerapkan dua pilihan. Jika dia bersama dengan adiknya, saya akan menyebutnya 'kakak', di luar itu saya memilih memanggil dengan namanya agar ia menjadi dirinya sendiri. 

Munculkan kedekatan dengan si adik, pun masih di dalam kandungan. Misalnya, mengajak adiknya ngobrol sambil mengelus perut ibu.

Ketiga, libatkan si kakak saat ibu mengurusi adiknya.

Dengan melibatkan si kakak saat bundanya sibuk mengurusi adik akan membuat si kakak merasa tidak diabaikan. Bahkan dia akan merasa bangga kala bundanya memujinya ketika dia ikut bantuin ambilin bedak, minyak telon dan sebagainya. Anak saya sangat menikmati kegiatan membantu bundanya mengurusi adiknya, selayaknya dia bermain-main. Bahkan dia tanpa diminta, ikut bantu ngelipat celana adiknya, naruh ke lemari, walaupun hasilnya nggak rapi tapi saya usahakan untuk memujinya agar kerja kerasnya dihargai.

Keempat, alihkan kelekatan pada ayahnya.

Karena umur si kakak yang masih batita, kelekatan dengan bundanya jelas masih sangat lengket sekali. Terlebih ketika adiknya sudah lahir. Mungkin dia yang sebelumnya sudah bisa makan sendiri, ketika adiknya lahir, bisa jadi dia akan ngambek kalau nggak dilayani bundanya. Bahkan, apa-apa harus bersama bundanya. Ini wajar, Bunda. Dia hanya merasa takut jika posisinya terancam dari 'tempat' bundanya.

Ini pula yang terjadi pada anak saya ketika adiknya baru lahir. Dia mau mandi kalau dimandiin bunda. Mau makan harus sama bunda. Sama ayah atau sama Uti-nya nggak mau. Repot kan kalau terus begini? Maka, penting juga mengalihkan kelekatan pada ayahnya, terutama saat ayahnya ada di rumah.

Alhamdulillah dengan menerapkan ketiga langkah di atas ternyata amat membantu untuk poin yang keempat ini. Mengapa kakak sampai cemburu? Ya, karena dia takut jika bundanya tidak sayang lagi dengannya. Maka, menurut hemat saya, menunjukkan kasih sayang adalah hal yang paling dasar untuk mengikis cemburunya kakak pada adiknya. Kasih sayang tidak harus dengan memberinya hadiah. Dengan pelukan, kecupan atau memberinya pujian sesungguhnya itulah yang amat dia nantikan.

Jika dia tidak meragukan kasih sayang ibu padanya, insyaAllah ke depannya akan berjalan lebih mudah. Si kakak tidak akan meragukan kasih sayang ibu padanya. Rasa cemburunya akan bisa diredam. Dan yang pasti, dia akan tumbuh menjadi kakak yang sayang kepada adiknya. 

*sebagai tambahan, ibu bisa baca referensi lainnya disini : Ayahbunda, Parenting, dan Tabloid Nakita

Selasa, 10 Mei 2016

Sumber gambar: Annida online

Sebetulnya suami yang shaleh itu tidak akan menuntut istrinya selalu tampil mempesona (secara fisikly) di depannya kok. Betul atau bener, suami? Maaf, kalau ngarang. :D

Ya, dia maklum betul dengan kondisi istrinya ketika ia sudah dibuntuti bocil-bocil. Betapa waktunya habis untuk mengurus rumah tangga dan si bocils yang selalu beredar kemana-mana. Jangankan memoles wajah, baginya, bisa mandi dua kali sehari saja sudah perawatan tubuh paling luar biasa. Malah, ada juga yang mandinya cuman sekali doang. Ini karena nggak sempet atau males? :p

Jadi, buat dia, meski istrinya bau terasi, bau ASI, bau karbol, bahkan bau ompol, sosoknya tetaplah mempesona baginya. Uhuk. Ehem. (Yang nulis bangun dulu!)

Eh, ini beneran tau! Kenapa istri jadi terlihat mempesona, pun dalam keadaan seperti ini, tentu ada sebabnya dong! Makanya, ist, jangan jadi istri nyebelin deh!

Kayak gimana istri yang nyebelin itu?

Satu, terlalu baper. Sedikit-sedikit sakit hati. Kesinggung sithik langsung air matanya menitik. Bahkan, suami maksudnya becanda, reaksinya malah dikira nyakitin beneran. Disakitin sekali, diingatnya sampai berkali-kali. Seolah suaminya selalu nyakitin, padahal dia sendiri yang terlalu baper.

Dua, cerewet biyut! Ada banyak hal yang dilakukan suami terkadang dianggap nyeleneh bagi istri. Seolah yang dilakukan itu tidak berguna. Sementara masih banyak pekerjaan lain yang lebih penting (menurut istri) yang harus segera dikerjakan. Bayangkan, apa reaksi istri ketika di lantai tersebar alat elektronik padahal dia bukan tukang reparasi barang elektronik atau sekadar benahin alat elektronik yang lagi rusak? Saat itu, saya bilang gini ke suami, "Andai istrimu bukan saya, pasti dia ngomelin njenengan lho!" Tak lama kemudian, ada seorang ibu mampir, melihat ada banyak potongan kabel disana-sini, dia langsung komentar gini, "Itu lagi ngapain? Aduh, nggak penting!" Setelah pergi saya ngelirik ke suami, "Tuh, kan!"

Tiga, sok pintar. Ini juga ciri istri nyebelin. Suami itu pemimpinnya istri. Walaupun 'S'-nya istri setingkat lebih tinggi ketimbang suami, tapi jangan merasa sok lebih pintar. Namanya juga sok, pasti ada bibit sombongnya. Nyampeinnya jelas dengan nada sengak bin meremehkan. Meski pendapatnya lebih oke, sampaikan itu dengan bijaksana. Jangan nyolot kalau ternyata pendapatnya tidak diterima.

Empat, komentator sok tahu. Gimana suami mau terbuka dengan kita? Sekali dia curhat masalah pekerjaan di kantor, istri dengan sok tahu malah ngomen yang bikin mood makin buthek, "Lha njenengan itu emang orangnya nggak cepat kalau ngerjain tugas, pantas saja bos marah!" Aih, kalau curhat dikomentarin kayak gini, nyebelin banget tau! Mending curhat di sosmed. Hoaaaa?!!! *melongo*

Lima, suka nuntut lebih. Padahal kewajiban suami menafkahi istri itu sebatas yang dia mampu. Kalau dia mampunya beli makanan di warteg, masa iya istri nuntut makan di pizza h**? :D

Enam, demen ngeluh. Sakit dikit,  ngeluh. Capek dikit, ngeluh. Beuh, lama-lama suami jadi hobi korek-korek kuping (hihi, apa hubungannya? :D ).

Tujuh, nggak pandai bersyukur. Selalu merasa kurang, kurang, dan kurang. Awas, nubruk karang! :D

Delapan, nggak bisa menghargai usaha suami. Kerja keras suami dianggap remeh karena merasa dirinya bisa mengerjakannya sendiri. Nggak beneran dikit, langsung ngomel-ngomel. Pffff...

Mau istrinya secantik apapun, kalau dia punya delapan dari yang saya sebutkan diatas, kecantikannya akan berasa blur di mata suami. Iya apa iya, suami?

Lain jika istrinya free dari ciri istri nyebelin diatas. Apalagi dia dilengkapi dengan pribadi yang murah senyum, bisa memahami, mengerti dan menghargai suami. Tanpa dipoles apapun, dia akan tetap terlihat adem bagi suami. Ihir.

Lebih-lebih jika istrinya juga merupakan sosok yang ceria dan humoris. Makin meriahlah hari-harinya. Yang tadinya besengut dengan kerjaan di luar rumah, begitu ketemu istrinya langsung sumringah. Bonusnya lagi, istri juga asyik kalau diajak sharing. Bener-bener paket komplit deh kalau punya istri macam ini.

Tentu, merawat diri, memoles agar terlihat cantik di depan suami, jelas lebih baik. Tetapi, sekali lagi, dia bisa memakluminya jika melihat kerepotan istri mengurus anak-anak dan rumah tangga. Lagian ya, pribadi istri yang banyak senyum dan ceria biasanya dia terlihat lebih segar meski tampil natural (emang iya? :D). Istri seperti ini akan terlihat awet muda, meski minim perawatan (masa sih?).

Udah. Selesai sampai disini. Entar ndak kebanyakan ngayal. Yang murah senyum, yang ceria, yang humoris nanti ndak pada melayang ke udara. Emang balon? Iya, kan sekarang body-nya udah melar kayak balon. *ngacir* :p

Kamis, 05 Mei 2016


Ini adalah sebuah acara Kompetisi Blogger ShopCoupons X MatahariMall. Yang diselenggarakan oleh ShopCoupons. voucher mataharimall dan hadiah disponsori oleh MatahariMall.



Kalau ngomongin soal tanggal tua, saya jadi teringat jamannya masih jadi pekerja beberapa tahun silam. Derita kantong kering di tanggal tua? Beuh, ini mah sudah nyanyian wajib teman-teman sesama penyiar di stasiun radio tempat saya bekerja dulu. Termasuk sayakah? Hm, untungnya tidak! Hihi.

Percaya nggak percaya, ketika teman-teman lain pada curcol soal kondisi keuangan mereka yang amat mengkhawatirkan, bahkan minus, saya masih adem ayem saja di tanggal tua. Saat mereka ramai-ramai ngutang kas radio pada Bu Bendahara, saya tidak ikutan. Kok bisa sih? Mau tahu rahasianya? Sini merapat, biar saya kasih tahu!

Sebelum saya kasih tahu, saya harus jujur dulu. FYI, saya juga pernah merasakan derita kantong kering di tanggal tua, walau level pilunya tidak sampai pada tingkat baper. Saya memang orang yang sangat perhitungan, tapi yang jelek dari saya adalah gampang lupa diri saat berkantong tebal.

Ketika habis gajian, biasanya saya akan langsung capcus ke pusat perbelanjaan, beli kebutuhan harian selama sebulan. Yang tadinya hanya ingin beli A, B, dan C, begitu lihat D jadi kepingin diangkut. Masih nyusul si E, F, G dan H, yang ngiri kalau nggak dibawa sekalian ke kasir. Alhasil, yang seharusnya habis sekian puluh ribu, naik jadi seratusan ribu.

Saat kantong masih tebal, teman-teman yang bakulan biasanya pada gesit nawarin barang dagangannya. Ada yang nawarin baju, kepingin beli. Ada yang nawarin jilbab, juga kepingin beli. Repotnya, kalau yang dilirik ada dua atau tiga model.

Biasanya saya baru nyadar ketika duit di kantong tinggal beberapa lembar lima puluh ribuan saja. Di saat seperti ini, sifat perhitungan saya baru keluar setelah semingguan bersemedi. Saya mulai mengatur keuangan biar bisa bertahan sampai akhir bulan. Untung saat itu saya tinggal di asrama yang kebutuhan makan harian, khususnya saat pagi dan malam hari digratisin. Coba kalau harus beli, alamat tekor akhir bulan dah! Hohoho.

Walau tidak sampai kering betulan, ternyata sifat jelek saya yang gampang lupa diri saat pegang uang banyak ini sukses bikin saya tidak bisa menabung berbulan-bulan. Padahal menabung buat saya itu serasa wajib hukumnya. Tragisnya lagi, nasib tabungan saya bukan makin gemuk malah makin kurus karena diambil terus buat nombokin pengeluaran yang terkadang lebih melar dari pemasukan. Kasihan, kan? Saya makin tidak tega kalau lagi kepoin berapa saldonya. Hiks!


Akhirnya, saya putuskan, saya harus berubah! Kalau saya begini terus, alamat dirundung galau terus-menerus karena mikirin abang saldo yang makin kurus. Dih, segitunya? Hanya karena saldo tabungan makin ceking, masalah? Iya, bahkan ini masalah besar buat saya.

Nah, mau tahu apa yang saya lakukan agar kondisi keuangan saya bebas dari residu kantong kering di tanggal tua?

Yup, saya harus buat perencanaan keuangan selama sebulan. Ini penting untuk menekan kelabilan saya pas lagi pegang uang banyak (menurut saya).

Untuk merencanakan keuangan, saya harus buat berapa anggaran untuk kebutuhan makan, cucian dan mandi, jajan, kesehatan, bensin, pulsa, infaq bahkan sampai parkir pun harus saya rencanakan dengan matang. Anggaran yang dibuat harus disesuaikan dengan berapa besar gaji sebulan. Gaji saya sebulan itu fluktuatif, kadang segini, kadang segitu. Ya, namanya juga penyiar. Gajinya tergantung dari berapa jam siar selama sebulan. Saya juga kerja di majalah lokal di Surakarta, gajinya pun ikutan fluktuatif. Kalau telat terbit, saya kena denda. Hahaha.

Karena gajinya tak tentu, biasanya malam sehabis gajian, saya berkutat dengan laptop untuk merencanakan keuangan saya selama sebulan. Saya harus cermat membuat anggarannya agar cukup selama sebulan. Setelah dikalkulasi seluruhnya terkadang anggaran melebihi pemasukan, maka saya harus pangkas anggaran kebutuhan yang sekiranya tidak terlalu penting. Karena jlimet-nya memanajemen keuangan, tak jarang kepala saya jadi pening sendiri. Hehe, nggak apa-apa. Bukankah kata pepatah, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian?

Untungnya HP jadul saya dulu dilengkapi aplikasi pengatur keuangan, bawaan dari HP-nya. Saya bisa mencatat berapa pengeluaran sehari-hari. Sebelumnya, sudah saya masukkan berapa anggaran tiap pos kebutuhan selama sebulan.


Dengan mengatur keuangan ini, saya merasa seperti mempunyai sebuah 'alarm' pengingat. Sebagai contoh, jika saya kepingin jajan, maka saya akan lirik ke HP berapa anggaran jajan yang masih tersisa. Kalau masih banyak, tak apa jajan. Kalau tinggal sedikit, lebih baik di-pending buat jajan akhir bulan.

Selain mengatur keuangan, saya harus cermat dalam memilih barang yang harganya lebih murah tapi kualitas tak jauh beda. Saya juga harus bisa membandingkan harga barang merk sama di tempat belanja satu dengan yang lainnya, syukur-syukur pas lagi ada promo. Dengan cara ini, setidaknya saya bisa lebih berhemat lagi karena mendapat harga yang lebih murah.

Dengan menerapkan sistem ini, ada banyak manfaat yang saya dapat. Pertama, saya aman dari serangan kantong kering di tanggal tua. Kedua, saya bisa berhemat karena bisa memprioritaskan kebutuhan mana yang lebih penting. Ketiga, saya bisa menyisihkan uang untuk ditabung. Keempat, kemampuan akunting saya yang serempangan itu makin teruji di sini (padahal semasa SMA dulu saya jurusan IPA lho!).

Sekarang saya sudah resign dari semua pekerjaan sejak empat tahun silam, setelah sembilan bulan sebelumnya menikah. Saya memilih membuka usaha bersama suami di rumah. Meski usahanya masih taraf kecil, kami bersyukur, kebutuhan harian keluarga tercukupi. Tentunya, kami tak lagi terpengaruh dengan tanggal apapun, entah tanggal muda atau tua. Semua sama bagi kami, walau tak dipungkiri, di tanggal apapun bisa saja kami dirundung pilu karena derita kantong kering.

Untunglah, saya sebagai manajer keuangan keluarga tetaplah membuat perencanaan keuangan, sehingga kami aman dari momok kantong kering. Maka tidak mengherankan, di saat tanggal tua sekalipun, kami bisa cuci mata, lihat barang-barang yang kami butuhkan di MatahariMall. Apalagi mulai minggu ke-3 ada promo Tanggal Tua Surprise (TTS) yang kasih diskon gede hingga 80 % untuk semua kategori di MatahariMall.

Seperti akhir bulan lalu, suami dengan menggunakan akun saya, beli Smart Watch di MatahariMall. Walau beli di tanggal tua, Smart Watch-nya dapat diskon 53 %. Asyik kan? Enaknya lagi kalau kita beli di MatahariMall, responnya cepat. Bisa COD-an (Cash On Delivery) dan free ongkir pula! Bahkan, dalam tiga hari barang sudah sampai rumah dengan selamat, diantar sama pak Kurir. Padahal rumah saya di Sragen, paling timur di Provinsi Jawa Tengah, sebelahan sama Provinsi Jawa Timur. Cepat kan?

Ini delivery slip sewaktu suami saya beli Smart Watch di MatahariMall. Bisa COD-an dan free ongkir lagi!

Nah, buat kalian yang masih mengeluh soal derita kantong kering di tanggal tua, apa nggak malu sama si Budi? Dia yang anak kos-an, yang pernah ngerasain bagaimana nyeseknya tragedi tanggal tua, sekarang sudah bisa tersenyum lebar selebar daun jati karena sukses keluar dari jeratan tanggal tua. Penasaran bagaimana caranya? Coba gih, tonton video #JadilahSepertiBudi berikut ini!


Gimana? Sekarang sudah ikutan sumringah kayak si Budi kan? Alhamdulillah deh kalau gitu. Tak ada gunanya merutuki tanggal tua, karena doi tidak salah dalam hal ini. Yang khilaf itu justru kita sendiri yang malas mengatur keuangan dan tidak pintar nyari tempat belanja yang kualitas barangnya bagus tapi harganya lebih mumer.

Satu lagi! Kalau pingin terbebas dari bayang-bayang kantong kering di tanggal tua mending resign saja dan jadilah pengusaha! Bukan ngomporin, tapi memang sengaja nyalain tungkunya biar kalian pada tersulut.

Oke, cukup sampai disini dulu saja. Sebelum saya capcus, hayuk ah kita dadah-dadah dulu sama si mantan bernama kantong kering tanggal tua. Kita senyum bareng-bareng menatap masa depan, si kantong basah yang tetap 'basah' sampai tanggal tua.

Senin, 02 Mei 2016


Sumber gambar: kendaripos.co.id

Kadang saya membayangkan hal konyol seperti ini. Ya, andai suamiku kaya raya. Boleh yah kalau saya ikutan berandai-andai juga. Hihihi.

Andai suamiku kaya raya...

Saya ini orangnya sangat perhitungan. Prinsip ekonomi selalu terinstal dalam kepala saya. Bahkan (nggak usah nggumun), setiap saya punya HP, dari jadul sampai smart, hampir semua ada aplikasi perencanaan keuangannya. Ini menandakan betapa pitungnya saya. :D

Saking perhitungannya, saya rela lajo pp rumah-kampus karena dinilai lebih hemat 200 ribu ketimbang ngekos. Inget banget waktu itu ibu menyuruh saya untuk ngekos. Saya langsung beringsut ke kamar, ambil kalkulator. Ngitung, bandingin, dan hey..ternyata lebih hemat lajo euy!

Saya bahkan memilih meng-copy catatan dari teman kuliah ketimbang nulis sendiri. Kenapa? Karena setelah saya kalkulasi biayanya lebih hemat copy buram diperkecil dua kali ketimbang nulis sendiri. Secara harga looslif kala itukian mahal. Belum bolpennya. Alamak, perhitungannya kebangetan! (Catcil; hobi ngopynya jangan ditiru kalau kalian belum tahu cara belajar efektif efisien ala saya :D)

Dengan super duper perhitungannya saya, apa jadinya jika disandingkan dengan yang kaya raya? Sementara, setau saya, orang kaya selalu tidak perhitungan menggunakan uangnya (walau tidak semua).

Setiap kali saya digratisin teman atau rekan makan di restoran, ketika saya tahu berapa harganya, sesungguhnya ada sebongkok rasa 'sayang' disana. Yah, sayang banget jika segelas minuman itu seharga segitu, yang hampir-hampir tidak tega saya menyeruputnya. Gleg.

Saya juga terheran-heran sendiri jika ada teman berduit yang jajan berlebihan. Bahkan hanya jajan di warung pun dia bisa habis 50 ribu, meski dia juga membelikan lauk untuk orang rumah.

Yah, mungkin bagi mereka mengeluarkan uang segitu tidak ada artinya. Tapi, bagi saya, uang segitu setengahnya bahkan bisa untuk makan sehari keluarga kami. Malah, jika dengan lauk yang sederhana bisa untuk beli beberapa macam sayuran dan buah buat stok di kulkas.

Bisa kebayang bukan jika saya disandingkan dengan yang kaya raya? Bukannya bahagia, yang ada malah sebaliknya, karena saya terus terheran-heran dengan gaya hidup mereka. Bahkan sampai geregetan!

Andai suamiku kaya raya...

Dia mungkin akan memanjakan saya dengan barang-barang mewah. Baju mahal, sepatu bagus dan juga tas mewah.

Ngomongin baju, saya jadi teringat saat seorang ibu yang tinggal di dekat tempat saya bekerja dulu pernah menawari saya dan teman-teman untuk membeli baju muslimah pemberian rekan untuk putrinya. Ibu dan anaknya ini non muslim, tapi dia dapat hadiah baju muslimah. "Sebenarnya harganya 500 ribu, tapi bayar aja 300 ribu, Mbak." Kata ibunya.

Dalam hati saya membatin, andaikan baju itu diberikan gratis, saya juga nggak bakalan mau, Buk. Mote-motenya, aihh... Bagi saya, baju seharga 50 ribu atau gamis seharga 85 ribu sudah membuat saya sangat nyaman.

Ingat juga saat acara jumpa pendengar usai, teman-teman sibuk memilih model tas dari sponsor. Saya tidak ikut memilih sendiri. "Kenapa kamu nggak ikut milih?" tanya teman.

"Yang ransel kan udah diambil orang. Kalau tas begituan, hmmm...kayaknya enggak deh."

"Tapi, kan, kamu bisa kasih ke ibu atau yang lain. Mumpung gratis, kenapa gak diambil?"

Ah! Kenapa nggak kepikiran dari tadi. Begitu mau ambil, hanya tersisa satu. Apa boleh buat? :D

Jadi andaikan suamiku yang kaya raya itu membelikan saya dengan baju, sepatu atau tas mahal, bukannya bahagia, saya justru akan merasa aneh. Barang-barang mewah itu sungguh berasa gak matching dengan saya yang ndeso ini. hohoho.

Andai suamiku kaya raya...

Suamiku yang kaya raya mungkin juga akan sesekali menghadiahi saya dengan perhiasan mewah. Apa saya akan bahagia karena ini? Dasar saya yang nyeleneh, dihadiahi itu justru akan membuat saya garuk-garuk jilbab seraya tersenyum garing. Jika wanita pada umumnya sangat menyukai perhiasaan. Saya tidak seperti mereka.

Betapapun indah dan mewahnya perhiasan tak akan mampu membuat saya jadi tertarik karenanya. Bukan saya tidak matre, hahaha. Saya memang tidak suka perhiasan. Mungkin akan berbeda reaksi saya ketika itu diganti dengan uang lalu ditabung buat nambah pundi-pundi saldo saya. Hohoho. Etapi, saya tidak akan masalah jika pakai cincin. Cincin nikah khususnya. :p

Diapun mungkin akan sering mengajak saya traveling ke beberapa tempat, entah di dalam negeri atau luar negeri. Saya memang suka jalan-jalan. Tapi saya sudah terbiasa menikmati pemandangan tanpa dipungut biaya. Hanya duduk di pinggir rawa yang bukan area wisata, ini sudah cukup membuat saya bahagia. Hanya duduk sembari melihat mereka menjajal berbagai wahana, saya bahkan sudah bahagia. Yah, karena bahagia bagi saya itu sangat sederhana.

Seringkali saya jauh-jauh datang ke satu tempat, meski hanya sekadar mampir, saya hanya menikmati pemandangan di luar. Entah karena tiket masuknya kemahalan atau saya harus menaiki bukit untuk dapat sampai ke tempat yang dituju. Terkadang tempat yang letaknya di lembah pun, saya memilih tidak ikut masuk, karena jika mau balik pasti harus menaiki ribuan tangga. Dan kebayang, napas saya jelas akan ngos-ngosan. :D

Bagi orang-orang mungkin akan dinilai sayang ya? Hehe, iya juga sih. Tapi selama ini kan saya lebih menikmati perjalanannya, bukan tempat yang dituju. :)

Andai suamiku kaya raya...

Karena suamiku kaya raya, sudah jelas kemana-mana saya akan naik mobil. Mobil yang bagus dan mewah. Apa saya bahagia?

Kalian tahu, dari semua alat transportasi, saya lebih menyukai naik apa?

Saya bahagia sekali saat naik kereta dan bus. Kenapa? Karena disinilah saya banyak belajar tentang nilai hidup. Saya bertemu dengan beragam orang. Ada yang cuek meski di sebelahnya berdiri seorang nenek. Ada yang perhatian, nyatanya cuma menipu. Ada yang tampilannya bak seorang pegawai kantoran ternyata dia nyopet.

Sembari duduk di dekat jendela, kita juga bisa menikmati pemandangan di luar. Melihat hamparan sawah, perbukitan, bahkan lalu lalang orang di pinggir jalan pun sudah jadi hiburan tersendiri.

Saat duduk seperti ini, bukannya saya ngiri dengan mereka yang naik mobil. Saya malah iri dengan mereka yang naik sepeda. Terlihat damai dan nyaman. Setiap kali mereka mengayuh sepedanya di pinggir jalan, saya akan terkesima. Dan adem rasanya saat melihat suami pergi ke masjid menaiki sepeda dengan payung yang ditali di sebelahnya (jika sewaktu-waktu turun hujan).

Sudah jelas bukan? Dari beberapa alasan yang saya ungkap diatas, rasanya orang macam saya tidak cocok jika disandingkan dengan yang kaya raya. Allah jelas Maha Tahu yang tepat dan terbaik bagi hambaNya.

Alhamdulillah, Dia mempertemukan saya dengan suami yang tidak kaya raya, tetapi (semoga) hatinya selalu merasa kaya. Saya yang perhitungan ternyata juga dipilihkan dengan suami yang sama-sama pengiritan. Sudah pasti saya tak akan geregetan melihat gaya hidup suami yang hobi wisata kuliner di luar sana, karena sifat ngiritnya akan jadi alasan kenapa dia mau makan di rumah. xixixi.

Dari tulisan ini, saya berharap bisa mengubah pandangan istri tentang arti bahagia. Ya, karena bahagia itu sederhana. :)

*sumber gambar : google
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!