Senin, 31 Oktober 2016


Hanya ilustrasi

Beberapa waktu lalu saya membaca postingan seseorang di Facebook yang mengisahkan tentang anak kecil yang sudah tahu tentang (maaf) sex position. Sejujurnya saya tidak nyaman dengan gambar yang diunggah karena disana memperlihatkan sepasang anak kecil yang tengah lengket berciuman. Statusnya sebetulnya bagus, tapi gambar tersebut bisa saja tidak sengaja dilihat oleh anak-anak kita jika ibunya main share begitu saja. Sayangnya, banyak ibu yang bagikan statusnya lengkap dengan gambarnya. Padahal hanya copas dengan menyantumkan sumber kan sudah boleh. 

Kembali ke postingan tadi dimana si ibu tersebut mergokin tiga anak kecil lewat di depan rumahnya. Saat itu si anak laki-laki, 6 tahun, ngajakin anak perempuan, 4 tahun, main pipis-pipisan. Dia, si anak perempuan, disuruh jongkok. Sedang si anak laki ada diatasnya. Posisinya hampir mirip seperti sex position. 

Beberapa waktu lalu saya dengar kabar anak kelas 3 SD juga sedang (maaf) saling buka celana di sebuah masjid yang lagi sepi karena tidak sedang waktu shalat. Ada orangtua yang mergokin. Entah mereka hanya sekedar penasaran atau mau berbuat. 

Ada juga seorang ibu yang inboxin saya di Facebook. Dia anak kelas 3 SD, tiba-tiba menghampiri anak kecil perempuan. Dia bilang begini, "Dek, aku lihat ***** (tetooot nyebut itu) kamu dong." Kontan si emak dan orang-orang disana yang dengar mendadak terperanjat. Kaget petir. Jelegerrrr! 

Dulu saya pun pernah nyetatus di Facebook tentang anak laki-laki kelas 1 SD juga mengajak dua teman perempuannya pergi ke sawah dan memaksa mereka (maaf) buka celana. Murid TPA saya juga pernah cerita, kalau teman-teman cowoknya (kelas 3 SD), suka (maaf) ngusap-ngusap bagian d*d* teman kelas yang perempuan.

Ada seorang ibu juga pernah cerita ke saya. Ketika itu dia hendak buang air kecil di kalen (saluran air). Dipikirnya nggak ada orang. Eh, ada satu dink, anak kecil, usia 6 tahun. Karena mikirnya toh anak kecil, dia tetap BAK disana. Ah, baru sadar ternyata dia diintipin oleh si anak kecil tersebut. :(

Inilah BunYah, mental-mental anak kecil kita yang kekinian ruarrr binasahhhh. Di usia sekecil itu, otak polos mereka sudah dipenuhi oleh hal-hal mesum. Apa dipikirnya, beberapa dari mereka ini anak orang bejat? Anak dari ortu yang suka zina dsb? Justru sebaliknya, BunYah.

Anak yang kepergok di masjid tadi bahkan ortunya rajin pergi ke masjid. Kalau ke masjid, anaknya sering diajak serta. Anak yang ngintipin ibu BAK tadi juga dari orangtua baik-baik. 

Semua ini akibat dari apa?

Yep, salah satunya adalah gadget. Gadget itu selain candu juga polusi. Dia bisa mencemari otak anak-anak kita yang polos itu jika sering melihat video atau gambar yang tidak layak untuk dilihat. Umumnya orangtua, mereka tidak sampai memikirkan akibat yang ditimbulkan ketika anaknya sudah 'dicecoki' dengan gadget sejak kecil. Membiarkan anak main gadget sesukanya, tanpa batasan, tanpa pendampingan. Dipegangin gadget agar anaknya diam, nggak rewel, nggak usrek ngerecokin emaknya. "Lha gimana? Orang kalau dijauhin, dia ngamuk."


Malah bukan hanya pinjam milik ortu, tapi dibelikan. Alasannya? Karena anaknya minta, anaknya nangis. Pfff, lagi-lagi tangis anak merontokkan ketegasan ortu.

Ortu bahkan tidak mengecek isi di dalamnya apa saja. Selain karena abai, mereka juga gatek. Ironisnya, mereka justru bangga ketika anak kecilnya sudah pintar main gadget. Dipikirnya hanya main game, nggak tahunya game-nya pun ada muatan pornonya.

Bayangkan jika senyum polos mereka terpolusi oleh hal-hal (maaf) mesum di usia sekecil mereka.

Soal anak yang mengintip ibu yang BAK atau anak kelas 3 yang pingin lihat bagian ***** dari anak kecil tadi, dia ini korban dari kelalaian ortunya yang koleksi video atau gambar porno di hp. Padahal HP-nya terkadang dipakai anaknya untuk main game. Fuihhhhhh..

So, BunYah, mari mulai sekarang kita harus waspada. Jaga baik-baik anak-anak kita. Pendidikan seks sejak dini bukan hal yang tabu. Beri pengertian pada anak-anak kita tentang menjaga pergaulan meski mereka masih kecil. Saya sendiri bahkan melarang anak saya bergaul dengan anak yang lain jenis. Kecuali disana ada anak-anak perempuan lain dan saya mendampingi.

Jangan biarkan anak menonton televisi sendiri, bahkan dia nonton sinetron ABG yang pacaran itu. Nyesek banget pas tahu ada anak 4 tahun sudah hafal nyanyi cinta-cintain. Dan jangan biarkan anak-anak kita main gadget tanpa pendampingan, tanpa batasan. 

Mari, BunYah. Didik anak-anak kita dengan nilai-nilai agama sedini mungkin. Jangan hanya memasrahkan pada sekolah-sekolah Islam, sementara orangtua abai. Pun anak bersekolah di sekolah yang pendidikan agamanya bagus bahkan sampai dimasukin ke pesantren atau sekolah berasrama, jika orangtua hanya pasrah bongkokan, ya tentu hasilnya kurang bagus, bahkan mungkin anaknya akan menjadi pembangkang karena miskin perhatian ortunya. Semoga anak-anak kita tumbuh menjadi generasi yang shaleh/ah. Amiin. :)

Selasa, 25 Oktober 2016


Sumber gambar : pixabay

Beberapa waktu lalu saya dibuat penasaran saat seorang teman mengunggah foto di instagram yang juga dibagikan di Facebook. Dari caption foto tersebut membuat saya bertanya-tanya sendiri, meski sejujurnya saya nggak terlalu ngeh juga. Ya, karena dia menyebut dirinya adalah a girl, not a woman. Inilah yang membuat saya mengernyitkan kening, "Bukankah dia ini sudah menikah? Apa aku yang salah menduga atau hanya gagal paham?" tanya saya dalam hati.

Seingat saya dia memang sudah menikah. Tapi? Kok saya jadi sangsi sendiri. Selama ini saya memang belum pernah melihat dia posting foto bersama suaminya. Padahal dia juga sering mengunggah foto dirinya di media sosial. Kalau dia memang sudah nikah, masa' iya nggak sekalipun unggah foto dengan suami? Mungkin lain cerita kalau itu saya yang memang tidak pernah unggah foto pribadi di Facebook.

Karena penasaran, saya sambangi kronologinya. Ya, kali saja saya hanya salah mengira kalau dia sudah menikah, padahal nyatanya belum. Saya baca komentar yang masuk, ternyata ada yang komentar, nunggu undangan. Ah, berarti memang belum nikah, batin saya. Saya pastikan lagi untuk ngecek di bio-nya. Status lajang.

Clear? Lagi-lagi, saya belum yakin. Karena dalam ingatan saya, dia pernah ngasih tahu kalau dia mau menikah. Saya tanya seorang teman yang jadi rekan kerjanya di kantor.

"Emang dia sudah menikah kok, mbak." tulisnya di WA.

Ah, iya. Saat itu juga saya ingat kalau dia pernah ngundang saya untuk datang ke resepsi pernikahannya. Dasar otak emak-emak yang gampang lupa. Hihihi. Sejauh ini saya husnudzon, mungkin dia belum sempat mengubah status dari single menjadi married, karena sibuk kali ya (walau nikahnya udah hampir dua tahun lalu :D)

Mengapa Harus Menyertakan Status 'Married' di Media Sosial?


Ini penting sekali lho. Saya sarankan bagi yang sudah menikah untuk mengecek di profil socmed-nya masing-masing. Sudahkah mengganti statusnya dari lajang menjadi menikah? Jangan-jangan belum karena nggak sempet ngedit profil? Atau sudah diubah tapi statusnya nggak ditampilin di profil? Hanya di-private? Mulai sekarang, tampilkan status bahwa kita sudah menikah. Jangan diumpetin karena dampaknya bisa nggak baik.

Inilah alasan mengapa kita yang sudah menikah untuk menampilkan status 'married' di media sosial.

1. Nanti ada yang naksir, gimana?

Ini cerita dari seorang teman. Kala itu dia dibuat penasaran dengan sebuah artikel yang mampir di inbox-nya yang dikirimkan oleh seseorang lewat grup facebook. Hanya membaca artikel itu, ia sudah dibuat terkesan oleh penulisnya. Ia berusaha mencari tahu siapa penulisnya. Singkat cerita, ia menemukan siapa penulis aslinya.

Ah, ternyata dia adalah orang yang dikenalnya beberapa waktu sebelumnya karena terlibat dalam kegiatan yang sama. Tapi satu pertanyaan besar muncul, "Dia masih single atau sudah menikah?" Di Facebook pun, dia tidak menampilkan status lajang atau married. Sampai akhirnya, dia benar-benar tahu saat ada teman memberitahunya bahwa dia memang sudah menikah.

Hm, padahal diam-diam sudah naksir. Hihihi, karena sudah nikah ya nggak jadi. :D


Yep, inilah salah satu alasannya. Kalau kita nggak nampilin status 'married', boleh jadi akan mengundang mereka yang masih jomblo naksir ke kita. Apalagi jika kita juga hobi unggah foto sendirian tanpa pasangan di media sosial. Bahkan postingan kita pun juga terlihat seperti masih lajang dan tidak menunjukkan bahwa kita sudah berkeluarga.

Mungkin bagi sebagian besar orang memang memilih tidak ingin membawa hal pribadi di media sosial. Tapi kalau dia sendiri ngeksis sendirian di socmed, sementara dia sudah berstatus 'married', apa ini nggak berbahaya? Kalau memang tidak ingin membagi kehidupan pribadi, minimal tunjukkan status di bio bahwa dia sudah menikah. Atau seperti yang saya sering lakukan, ketika saya berbagi status di Facebook, saya akan beritahukan bahwa saya adalah seorang emak erte yang menunjukkan bahwa saya sudah menikah. Meski saya sendiri di Facebook tidak sekalipun mengunggah foto bersama suami, tapi lewat cerita dalam status itu orang-orang jadi tahu bahwa saya sudah menikah.

Kasihan lho kalau ada orang yang diam-diam naksir lalu dibuat patah hati karena yang ditaksir ternyata sudah menikah. Atau jangan-jangan justru itu yang diharapkan? Hadehhhh, kok gitu?!

Sumber gambar : pixabay

2. Mencegah dari orang-orang yang iseng dengan kita

Kalau kita menunjukkan status 'married', setidaknya ini akan aman dari orang-orang yang hendak iseng dengan kita di media sosialnya. Ya, meski geng ngiseng tetap ada sekalipun kita sudah memperlihatkan bahwa kita sudah menikah. Paling tidak, kita berusaha mencegahnya. Selain itu, tetap jaga sikap terutama dengan mereka yang laki-laki karena jika terlalu akrab atau berlebihan bisa menimbulkan fitnah.

3. Orang mungkin akan berprasangka buruk, "Jangan-jangan pernikahannya bermasalah?"

Ya, boleh jadi bagi mereka yang tahu bahwa kita sudah menikah, akan berprasangka buruk, hingga menduga-duga sendiri karena mengira kehidupan rumah tangga bermasalah. Padahal boleh jadi memang baik-baik saja.

Lain jika kita membagi status sederhana semacam, "Sekalinya pingin martabak, eee...suami pulang kerja bawa martabak manis. Makasih ya, suamiku. Tanpa diminta sudah dibeliin. :-)" Status macam ini nggak pamer lho. Setidaknya, dia menunjukkan bahwa hubungan dengan suaminya baik-baik saja. Dia juga memperlihatkan kebaikan suami. Kalau dinilai pamer, ya itu sih terserah mereka mau menilai gimana. Ketimbang nyetatus curcol ngeluh mending kan ekspos kebaikan pasangan. Lak iya tho? :)

4. Sengaja menutupi status pernikahan apalagi mengaku single, akibatnya bisa fatal

Kalau sudah menikah kok ngaku masih lajang meski sekadar status relationship di media sosial jelas akibatnya bisa tidak baik, bahkan fatal. Ya, karena banyak sekali dari mereka yang iseng pasang status masih single, niatnya mungkin bukan ingin selingkuh, melainkan biar kelihatan muda dan keren. Padahal, ini jelas sudah bohong namanya. Meski hanya sekadar iseng, bohong bentuk apapun tetap dilarang dalam Islam  Hanya becanda saja dilarang, apalagi iseng bahkan sengaja menutupi status pernikahan di media sosial karena ada hati dengan yang lain. Na'udzubillah min dzalik.

Saya juga menyunting status menikah di profil Facebook.

Saya pernah baca tulisan teman di Facebook, saat itu dia bercerita ketika ada seorang laki-laki (yang sebetulnya sudah menikah), tidak mencantumkan status 'married' di Facebook. Di media sosial, dia berkenalan dengan seorang perempuan yang masih lajang. Awalnya hanya sekadar berteman, sampai mereka semakin dekat. Benih-benih cinta pun tumbuh pada si perempuan tadi. Sampai akhirnya si perempuan tahu jika si laki-laki sudah menikah. Dia kontan meluapkan amarahnya, kenapa tidak bilang dari awal jika dia memang sudah menikah.

"Aku nggak bermaksud bohong. Aku takut jika kamu tahu aku sudah menikah, kamu nggak mau temenan sama aku," ungkapnya.

Ah, tetap saja ini dilarang. Berteman dekat dengan laki-laki yang bukan mahram, baik yang masih lajang atau bahkan sudah menikah tentu dilarang dalam agama. Hubungannya bisa mengarah ke taqrobuzzina (mendekati zina). Hanya sekadar menjalin silaturahim sesama rekan kerja, mantan teman kuliah, sekolah dsb, dengan tetap menjaga sikap dan menjaga hati, tentu tidak mengapa. Tapi kudu diingat juga, jangan ada modus di balik silaturahim. :)

Tuh, kan? Ternyata akibatnya bisa nggak baik kalau kita tidak menampilkan status relationship di media sosial. Mulai sekarang, cek profil socmed kita. Sudahkah mengganti status dari lajang menjadi 'married'? Jangan lupa juga untuk men-settingnya menjadi publik agar orang-orang tahu bahwa kita sudah menikah.

Rabu, 19 Oktober 2016


Sebelumnya saya menulis ini bukan bermaksud pamer atau gimana lho ya. Hihihi, insya Allah enggak, Mak! Saya menulis ini untuk memotivasi para emak untuk tetap produktif sesuai passion-nya masing-masing. :)

Cerita ini bermula ketika pertengahan bulan September lalu, mbak Afifah Afra, salah satu penulis favorit saya, membagikan info tentang sayembara Indiva Cari Karya "Jangan Jadi Cewek Cengeng (JJCC)" yang digelar oleh Penerbit Indiva Media Kreasi, di fanpage-nya. Saat itu saya hanya sekadar baca dan belum berniat untuk ikutan. Pun begitu, tetap saya simpan jika sewaktu-waktu saya berubah pikiran.

Alhamdulillah setelah deg-degan karya saya nongol di nomor 24.

Menginjak tanggal 20, entah mengapa saya mulai menimbang-nimbang lagi. Kenapa saya tidak memanfaatkan kesempatan bagus ini? Jika naskah saya lolos, maka akan diterbitkan bersama penulis lainnya. Apalagi Penerbit Indiva sudah menerbitkan buku-buku berkualitas bagus dan mendidik dengan skala edar hingga nasional. 

Pada akhirnya, saya memilih untuk ikut serta. Saya berusaha mencari ide. Sehari dua hari berlalu, saya belum menemukan ide yang pas. Tanggal 25, sedikit menemukan titik terang. Saya membuat outline sebelum menulisnya menjadi artikel dengan panjang antara 8 hingga 10 halaman A4. Tanggal 27, saya mulai menulis.

Ternyata menulis untuk diikutkan lomba itu membuat saya sedikit grogi. Saking groginya saya kesulitan memulai. Bahkan saat itu, dalam semalam, saya hanya bisa nulis sepanjang tiga paragraf saja.  Itupun harus mengalami tragedi pen-delete-an berulang-ulang. :D

Karena saya harus fokus menyelesaikan tulisan tersebut, saya sampai harus vakum dari dunia perbloggingan selama setengah bulan. Bahkan sekadar membuat status Facebook-pun saya tak sempat. Alhasil status saya terpaksa hanya repost dari status saya sebelumnya atau copas.

Dari tanggal 27 September sampai 12 Oktober, terpaksa saya nggak nge-blog sementara waktu.

Tetap Produktif bagi Emak Erte itu Bukan Hal Mudah

Ya, sungguh bukan hal yang mudah bagi seorang emak erte yang sudah diamanahi balita batita lucu untuk tetap produktif. Saya bahkan hanya bisa menulis di saat malam hari, karena saat siang hari saya harus menemani mereka bermain dan juga disibukkan dengan segala tetek bengek kerjaan rumah tangga. Karena kecapekan, saya biasanya memilih tidur dulu dan akan bangun saat tengah malam atau dini hari.

Lantaran masih ng-ASI-in, sesekali konsentrasi saya buyar karena si kecil bangun, rewel minta ASI. Dan ajaibnya, saat emaknya nulis, anak saya yang cowok ini akan bangun hampir sejam sekali, bahkan kalau nulisnya dekat shubuh, dia malah bisa bangun setengah atau seperempat jam sekali. Sedap! Hahaha. Jangan dipikir bangunnya anteng kalem. Nay, nay! Dia rewel, nangis minta ASI. Alhamdulillah, untung yang ditagih ASI bukan sufor. #eh :p


Terkadang, saya juga ketiduran sampai shubuh. Alhasil, malam itu nggak bisa ngelanjutin tulisan. Sempat ketar-ketir karena mendekati DL, tulisan belum jadi juga. Bahkan, sempat digentayangi buntu di tengah jalan. Ada hawa pesimis kala itu, antara melanjutkan atau tidak. Tapi tetap: saya nodong suami buat bangunkan saya (karena saya ini paling susah bangun kepagian :D).

Alhamdulillah, Allah memudahkan. Dini hari tanggal 9 Oktober atau H-1 DL, artikel berjumlah 10 halaman itu akhirnya jadi. 

Pagi hari, setelah melakukan editing berulang-ulang, saya mengirimkan lewat email melalui laptop. Karena si bocil sudah bangun, dia ngerecokin emaknya. Ditariknya LCD laptop hingga ke belakang. Kadang keyboard dipukul-pukul. Bukan ngamuk, emang dia demen banget sama laptop. Dikira mainan kali ya. :D Pas, disingkirin, dia akan nangis.

Di saat begini, saya akan pasang muka melas sama pak suami sambil bilang, "Tolong dong, ajakin anak-anak keluar dulu." Xixixi. Dan betapa lega rasanya ketika email tersebut sudah sampai ke tujuan.

Menunggu Pengumuman

Tanggal 15 Oktober sesuai pengumuman, sebetulnya akan diumumkan pemenangnya. Tapi karena yang ngirim jadi segambreng, akhirnya pengumuman itu harus diundur hingga tanggal 17 Oktober.

Saya terus berdoa semoga Allah memberikan jalan yang terbaik bagi karya saya. Saya serahkan kepada-Nya, apapun hasilnya karena Dia tahu yang terbaik bagi hamba-Nya. Saya juga minta suami mendoakan yang terbaik untuk karya saya. 

Jam 10 pagi, tanggal 17 Oktober, sesuai yang dijanjikan, akhirnya pengumuman pemenang sayembara Indiva Cari Karya "Jangan Jadi Cewek Cengeng (JJCC)" diposting di laman penerbit Indiva. Saya buka ditemani irama degup jantung yang tak menentu. Jemari saya bahkan bergetar saking risaunya. Bahkan rasanya hampir saingan saat nonton MotoGP ketika Valentino Rossi salip-salipan dengan Marc Marques di lap terakhir. :D

Ternyata ada 25 pemenang yang terpilih, padahal target sebelumnya hanya memilih 10 karya terbaik. Ini karena yang ngirim melebihi dari yang diperkirakan. Jumlah naskah yang diterima bahkan mencapai ratusan. 

Saya mulai menyisir hingga ke bawah. Udah nyampai belasan, nama saya belum muncul. Mulai pesimis. Bahkan di nomor 20 pun belum ada. Dan...


Saya sontak sumringah saat judul naskah saya ada di nomor 24. Saya lapor suami dan segera saat itu saya sujud syukur. Sungguh ini kebahagiaan yang tak terkira. Alhamdulillah...

Status facebook-pun hanya bisa copas, padahal saya sering berbagi status motivasi di Facebook.

Ya, saya patut berbangga karena naskah saya bisa masuk 25 terbaik diantara ratusan naskah yang dikirimkan. Apalagi disana juga ada beberapa karya yang ditulis oleh penulis senior seperti mbak Ifa Avianty, mbak Asri Istiqomah dsb. Saya sendiri bukan seorang penulis yang karyanya wira-wiri di banyak media. Bahkan di kolom pendaftaran, tak ada satupun karya yang pernah dimuat di media yang bisa saya tulis di sana. Ya, karena saya memang baru mengirimkan tulisan di dua media yang sampai sekarang belum ada kabarnya (semoga ada kabar baik ya, amiin). Sejauh ini saya memang belum banyak mengirimkan karya di media karena khawatir saja, jika tulisan saya dimuat (misalnya), tetapi tidak konfirmasi padahal saya kesulitan jika harus selalu membeli koran atau majalahnya. Makanya, saya memilih mengirim ke media yang kalau dimuat akan konfirmasi.

Baca juga : Smartphone Mengubah Saya dari Emak Kucel Jadi Emak "Ajaib"

Semoga ini menjadi awal yang baik bagi saya, seorang emak erte yang bermimpi menerbitkan novel (meski sampai sekarang idenya masih ngendep di kepala :D). Bersyukur sekali, untuk kali pertama saya mengikuti lomba menulis bergenre non fiksi, Allah mengijinkan saya menjadi salah satu pemenangnya. Semoga saya makin tersulut lagi untuk terus menulis, menulis dan menulis. Menulis yang menebar manfaat bagi siapa saja, termasuk bagi diri sendiri. Amiin. 

Terus produktif ya, Mak! Jika kita berusaha, insyaAllah Allah akan memberi jalan yang terbaik bagi kita. Ingat bahwa yang terbaik menurut-Nya terkadang tidak melulu berupa kesuksesan. Kegagalan pun juga bisa jadi yang terbaik, karena darinya kita belajar untuk menjemput hikmah di baliknya. Karena kegagalan ibarat benih perjuangan. Jika kita membuangnya, maka kita akan kehilangan kesempatan untuk memetik buahnya saat ia tumbuh besar nanti. Sebaliknya, jika kita memilih menanam dan merawatnya, kelak di kemudian hari akan kita nikmati buah yang ranum-ranum itu. Tinggal kita memilih yang mana? :)

Kamis, 13 Oktober 2016




Saat belanja ke pasar, sering mengajak serta si kecil nggak, Bun? Ternyata ada banyak manfaat jika kita mengajak mereka ke pasar, terutama ke pasar tradisional. Mereka bisa belajar banyak hal dari sini. Dari bersosialisasi, kedisiplinan hingga ketanggapan.

Meski rempong karena harus gendong si adik yang belum bisa berjalan, saya merasakan banyak manfaat ketika  membawa mereka ke pasar. Karena rumah saya nempel dengan pasar, setiap pagi saya ajak serta mereka berbelanja bahan-bahan untuk menu makan harian. Berikut 8 manfaat mengajak anak ke pasar.

1. Belajar bersosialisasi

Ketika berada di pasar, anak akan bertemu banyak orang dari yang tua hingga yang kecil, laki-laki maupun perempuan dengan bermacam karakter. Berhadapan dengan banyak orang membuat mereka secara tidak langsung belajar bersosialisasi. Karena sering ke pasar, biasanya mereka akan disapa oleh beberapa penjual sayur atau buah yang jadi langganan kami. Ternyata kebiasaan menyapa ini direkam oleh mereka. Saat bertemu dengan orang yang dikenalnya, mereka akan menyapanya. Bahkan, si adik yang masih 13 bulan, juga akan menyapa meskipun dengan, "Ehhhhh... Ahhhhh..." Hihihi.

Belajar bersosialisasi memudahkan mereka cepat beradaptasi saat berada di lingkungan baru. Anak saya yang pertama alhamdulillah dengan anak kecil yang baru dikenalnya akan mudah akrab, meski terkadang perlu waktu beberapa menit untuk menjadi pengamat dulu, baru kemudian main bersama. Kalau anak saya yang kecil memang perlu 'digembleng' lagi karena dia ini akan nangis jika bertemu dengan orang baru. Untungnya saat diajak ke pasar dia nggak pakai nangis, malah senang banget.

2. Tidak gagap keramaian

Saya pernah baca artikel di salah satu portal berita bahwa rasa ketidakpercayadirian ibu itu akan menurun ke anak. Bila ibunya takut dengan keramaian, maka anaknya pun akan begitu. Ya, karena jika ibunya sendiri tidak nyaman berada di tempat ramai, otomatis anak--yang diasuhnya--juga tidak terbiasa dengan keramaian.

Pun begitu, karakter bawaan anak juga turut menjadi faktor penyebab. Anak saya yang nomor dua ini sedari bayi dia takut sekali berhadapan dengan orang baru. Dengan kakeknya yang hampir tiap hari ketemu saja dia takut sampai nangis kejer. Saat itu dia hanya mau diajak oleh Bunda, Ayah atau neneknya. Ketika disapa oleh orang lain--baik yang asing atau tidak--dia mengira akan dimarahi sehingga membuatnya takut dan menangis. Repotnya saat berada di tempat ramai yang asing, dia akan rewel. 

Untungnya saat diajak ke pasar dia justru suka cita. Ini tentu memudahkan saya untuk melatihnya agar terbiasa dengan keramaian. Alhamdulillah kini dia sudah mulai berani. Dengan orang yang dikenalnya, dia akan menyapanya ala bahasa dia, bahkan mau diajak oleh mereka. Ya, meski saat berada di lingkungan baru terkadang masih suka takut. Hihihi, perlu proses kali ya. :)

3. Membangun rasa percaya diri dan menumbuhkan keberanian

Saya biasanya akan membiarkan si kakak berjalan di depan saya. Terkadang dia tetap lurus ke depan sementara saya mau belok. Saat begini, saya manfaatkan untuk menguji mentalnya. Saya biarkan dia mencari bundanya. Terkadang dia jadi panik dan menangis. Karena banyak orang, sebelum tangisnya pecah saya panggil dia atau saya dekati. Entar saya dikira ibu tegaan. Hihihi. 

Kebiasaan ini ternyata mampu membangun rasa percaya dirinya dan menumbuhkan keberaniannya lho, Bun. Jika dia bertemu dengan teman baru, tak butuh waktu lama bagi anak saya untuk berteman dengannya. Hanya kadang yang jadi kendala kalau si teman baru ini nyuekin, bahkan sampai ngencepin dsb. Sikap yang begini yang kadang membuat anak saya hanya diam, jadi pengamat saja. Bersyukurnya, dia tidak akan menangis hanya karena dicuekin atau diencepi. :)


4. Melatih kemandirian

Dengan membiarkan anak berjalan sendiri di depan kita juga bermanfaat sekali untuk melatih kemandirian anak. Bagaimana dia berani jalan di depan, mencari rute sendiri dan terkadang diuji mentalnya saat salah rute dan kehilangan jejak bundanya (tapi bundanya sebenarnya juga tetap mantau :D). 

5. Meningkatkan ketanggapan dan kepedulian

Saat saya rempong membawa barang-barang belanjaan, biasanya si kakak sudah menawarkan diri dengan membawa salah satunya. "Yang ini biar aku yang bawain, Bun." Kadang dia salah pilih bawa barang yang rada berat untuk tangan mungilnya. "Berat, Bun. Aku bawa yang ini saja."

Awalnya, saya menawarkan si kakak untuk membantu membawakan salah satu barang belanjaan yang ringan. "Kakak bantuin bunda ya? Kakak mau bawain yang mana?" Tapi tetap tidak memaksanya, sehingga ia tidak merasa terbebani. Sekarang tanpa saya minta, dia sudah dengan sendirinya mau bantuin. :)

6. Mengenalkan sumber makanan yang sehat

Di pasar tentu banyak orang berjualan aneka macam sayur mayur dan buah-buahan. Dengan mengajak mereka ke pasar sejak kecil juga membantu mengenalkan pada mereka dengan berbagai macam sumber makanan yang sehat. Mereka tahu sayur bayam, wortel, brokoli, buah pepaya, jeruk, jambu dsb. Mereka biasanya akan kepo nanya, "Ini namanya apa, Bun? Kalau yang ini?" Jangan lupa juga beritahu si kecil manfaat jika suka mengonsumsi sayuran dan buah-buah ya, Bun.

7. Melatih disiplin jajan

Banyak yang bilang kalau mengajak serta anak ke pasar atau pusat perbelanjaan, maka akan membuat anak hobi jajan. Anak akan minta dibeliin ini atau itu. Bahkan mungkin sampai tantrum saat yang dia mau nggak diturutin bundanya.

Ah, ini tergantung bagaimana kita mendidiknya, Bun. Kalau sedari kecil kita ajari mereka membiasakan makan makanan yang sehat, memberi pengertian tentang manfaat makan makanan sehat, tidak jajan sembarangan, membatasi makanan/minuman yang boleh atau tidak dikonsumsi sesuai usianya dsb, insya Allah pelan-pelan anak akan terbiasa hidup sehat.

Seperti misalnya saat anak saya minta jenang mutiara yang ada di pasar, saya tidak membolehkannya dengan menerangkan kepadanya bahwa jenang mutiara-nya ada pemanis buatan, kalau makan tenggorokannya bisa serak. Ini betul lho, saya tidak sedang menakuti dengan membohonginya karena saya pernah merasakan sendiri. Agar tidak menyinggung, kita bisa mengajak anak menjauh dari penjualnya dulu.

Lewat pengertian dengan memberitahu akibatnya ternyata cukup efektif untuk anak saya. Bahkan dia jadi kritis sendiri. "Bun, kalau aku beli klepon disana, banyak lalatnya kan, Bun?"

"Iya. Belinya di tempatnya mbah minah saja, kalau disana karena sudah dikemasi jadi nggak dihinggapi lalat. Kalau dihinggapi lalat, nanti kakak bisa sakit perut."

"Bun, kalau aku banyak makan permen, nanti gigiku bolong ya, Bun?

"Iya, makan permennya cukup satu saja atau nggak usah makan permen malah lebih bagus. Nanti kalau kebanyakan, gigi kakak bisa bolong. Kalau bolong bisa sakit."

Muka belum mandi sudah pergi ke pasar. :D

8. Mengajarkan kesederhanaan

Pergi ke pasar tradisional juga mengajarkan tentang kesederhanaan. Di tempat ini, anak akan berhadapan dengan orang-orang yang tampil sederhana. Jarang ada orang yang tampil mewah saat pergi ke pasar tradisional. Mungkin golongan seperti ini gengsi kalau pergi ke pasar. Hihihi.

Terkadang anak juga dihadapkan pada kondisi lorong pasar yang becek, banyak lumpur karena habis hujan. Ya, karena nggak semua anak mau jalan di tempat becek seperti ini karena jijik, takut kotor dsb. 


Inilah delapan manfaat mengajak serta anak ke pasar. Gimana, Bun? Mau ajak serta si kecil belanja ke pasar? Biar rempong nggak masalah mengingat manfaatnya sungguh banyak. Atau Bunda sudah sering mengajak serta anak ke pasar? Kalau iya, share dong manfaat lain selain yang saya sebutkan di atas. Hihi. :)

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!