Minggu, 07 Agustus 2016


Hasil mewarnai anak saya, 3,5 tahun.

Judul diatas mengutip dari ungkapan Kak Seto yang saya baca di Twitter beberapa waktu lalu. Judul itu sangat pas sekali untuk nasihat saya pribadi. Ya, sebagai ibu, saya harus menyiapkan berlusin-lusin sabar untuk menghadapi murid macam anak saya, 3,5 tahun, dengan tipikal anak yang tidak suka didikte dan digurui ketika belajar.

Foto di atas adalah hasil dari mewarnai anak saya. Mungkin untuk ukuran anak lain seusianya sudah pandai mewarnai meski belum sempurna benar. Tapi, bagi anak saya, sungguh tantangan besar buat emaknya. :D

"Mewarnainya di dalam gambarnya yang warna putih." Dikasih tahu begini, dia malah nyoret hampir semua bagian buku.

"Kulit jagungnya warna hijau." Dia ngotot pakai warna pink.

Giliran serius, sedikit bisa karena terus dimotivasi, sebentar kemudian dia sudah bosan. Pingin main-main yang lain yang membuat tubuhnya bergerak kesana kemari.

Jika emak atau ayahnya berusaha memberi tahu, bahwa yang benar begini, dia malah bilang, "Nggak ya, Bun. Yang betul begini. Dikasih tahu kok ngeyel." Padahal salah, hahaha.

Ya, begitulah si sulung. Belajar iqro'pun begitu. Hafalanpun juga begitu.

Tapi ada satu yang unik darinya. Dia cepat menangkap jika dia belajar sendiri (dengan pendampingan) dari video. Bahkan bisa naik sepeda pun, sedikit terilhami dari nonton video.

Ketika dia diajari belajar iqro' (saya mengajari iqro' lebih dini karena ini lebih disarankan ketimbang belajar caliatung) dengan buku, masya Allah sulitnya kebangetan. Sampai yang bukan huruf pun dia sibuk nanyain. 😂😂😂 Saat dia bersama-sama hafalan surat pendek bareng emaknya, dia lebih sering terbolak-balik. 

Tapi begitu dia belajar sendiri (dengan pendampingan) dari aplikasi atau video edukasi, cepat sekali menangkap. (Catatan: gadgetnya no sinyal lho ya)

Sejujurnya, ada sedikit kekhawatiran saya: jangan-jangan dia mirip emaknya. Hahaha. Ya, saya dulu adalah tipikal murid bahkan mahasiswi yang justru sulit memahami penjelasan guru/dosen secara langsung saat di kelas. Tapi sebaliknya, saya bisa paham dengan belajar sendiri dari copyan catatan teman yang mencatat jeli apa yang disampaikan guru/dosen. 

Satu hal yang harus saya catat lekat-lekat: jangan paksa dia belajar ketika ia sendiri sudah bete kebangetan. Apalagi sampai menargetkan muluk-muluk: dia harus bisa ini, bisa itu, hafal ini, hafal itu. Yang jelas, jangan sampai dia merasa terbebani karena ini. Saya sendiri berusaha membuat proses belajarnya se-fun mungkin. Pun, itu bukan hal yang mudah. Lebih nggak mudah lagi karena adiknya ngerecokin. Hohoho.

Saya harus memahami kondisinya. Ya, karena kecerdasan anak tak melulu soal dia sudah pintar calistung, pandai mewarnai dsb.

Saya patut bersyukur karena dia tumbuh menjadi anak yang tanggap, disiplin, percaya diri, cukup mandiri di usianya, perhatian, pengertian, kontrol emosi bagus, bersosialisasi, tahan banting, bangga dengan apa yang dia punya, sederhana dan nilai-nilai plus lainnya. 

Tugas saya hanyalah memupuk semangatnya tanpa harus memaksanya. Sayapun kudu menguatkan mentalnya andaikan dia coba dibanding-bandingkan dengan sepupu-sepupunya atau teman-temannya yang mungkin terlihat pintar secara akademik. 

Dia baru berumur 3,5 tahun. Belum sekolah. Masih banyak hal yang harus saya persiapkan sebelum dia menapak ke lingkungan sekolah. Persiapan yang bukan sekadar pintar calistung atau mewarnai.

Baca juga : Jangan Khawatir bila Balitanya Belum Pintar Calistung

Saya pribadi tidak akan menuntut anak-anak saya pintar secara akademik. Karena dulu pun saya bukan murid yang ambisius mengejar prestasi akademik. Target saya saat itu, hanya ingin menjadi salah satu murid yang diperhitungkan di kelas. Itu saja. Ya, karena ada banyak hal lain yang harus kita pelajari di luar sana. Tak melulu soal ilmu di sekolah.

Andaikata mereka kelak jadi murid berprestasi, tentu akan saya dukung penuh, tanpa harus merasa terbebani. Jauh dari itu, menanamkan aqidah, menguatkan prinsip, dan membangun karakter menjadi generasi yang tak mudah terbawa arus, jauh lebih utama dari yang lainnya. :)

12 komentar:

  1. Mbak, sempat penasaran dengan kata calistung. Akhirnya googling sebelum ngetik komentar ini. Oh, ternyata membaca, menulis, dan berhitung, toh. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi, nggak pa-pa nanya mbah google dulu. :D

      Hapus
  2. anak saya juga kalo dikasih tau suka ngeyel hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Namanya anak-anak, mbak. Kita saja juga kadang gitu. :D

      Hapus
    2. Wah, pas Mbak. Putra saya Fahmi juga usia 3,5 tahun bulan depan. Gitu dech, mirip sama cerita Mbak. Fahmi lebih menguasai materi hijaiyah dan iqro dari video.

      Every child is special 😊 bagaimanapun kondisinya anak adalah anugerah yh harus kita syukuri. Karena anak ibarat benih, maka kita yang harus menjadikannya sebuah pohon dengan buah yang lebat, kelak. Pohon apapun itu dan dengan media apapun nanamnya 😊

      Hapus
    3. Iya, mbak. Anak itu lahir dengan keunikannya masing-masing. Anak saya yang nomor dua juga beda banget dengan kakaknya. :)

      Hapus
  3. Anaknya mba Isna lucu banget, ini sih sama sama kelakuan anak saya, dulu sampe TK B aja kalo diminta mewarnai pasti ya semau-maunya. hihihi

    Pas TK anak saya diantara teman-temannya terlihat seperti "tertinggal", beberapa orang membuat indikasi kalo anak pinter itu dari kecil sudah jago calistung. Saya sih santai aja, ga pernah memaksa (tetap dikenalkan dengan calistung) dan ga sampai iri liat anak lain begitu melesat.

    Masuk kelas 1 sd pun masih baru mengenal dasarnya aja belum lancar calistungnya, saya masih tenang. Lama-kelamaan prosesnya yang lumayan singkat anak saya dengan hanya diberikan contoh, dilatih, dan dibiasakan tanpa ada pemaksaan belajar akhirnya bisa juga. Alhamdulillah. Malah semangat banget. Sekarang kelas dua, gemarnya matematika kalo lago mood minta belajar sendiri dan minta soalnya sampe 2 lembar. hehehe

    Di kelas dasar yang bukan akademisnya dulu yang diasah lebih ke pendidikan karakter, akidah, dan akhlak. Nanti akademis akan mulai lebih dikuatkan di kelas 4. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mbak. Emang ibunya kudu nyantai kalo misal mereka terlihat sedikit 'tertinggal' dengan anak-anak lainnya. Saya juga ngenalin angka dan huruf, tapi ya hanya sebatas ngenalin suka-suka sambil bernyanyi. Nyesek banget waktu anak tetangga yang sudah TK B, tapi tidak dinaikkan ke sd. Ada tetangga bilang, "Kamu itu bodoh makanya nggak naik kelas." Dikatain begini dia langsung polos nanya ke ibunya, "Bu, apa aku bodoh tho? Katanya aku ini bodoh."

      Hadehhh...jangan dikira anak nggak ngerti dengan ucapan seperti ini. :(

      Hapus
  4. Semoga keinginannya tercapai :))

    BalasHapus
  5. Anak itu maunya suka-suka aku dong, begitu. Nggak mau diatur-atur. Tapi tiap anak memang beda, satu dan lainnya tak semanis yang kita harapkan

    BalasHapus

Mohon maaf komentarnya saya moderasi. Hanya untuk memastikan ada komentar dan komentarnya sopan. Terima kasih. :)

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!