Selasa, 09 Agustus 2016


Anak pertama saya saat usia 7 bulan. Kini usianya sudah 3 tahun 7 bulan.

Andai saya tidak siaran bersama narasumber ahli gizi di radio tempat saya bekerja dulu, bisa jadi saya akan tumbuh menjadi ibu yang akan memberikan susu formula (sufor) bagi kedua buah hati saya. Ya, jauh sebelum saya memandu acara "Saatnya Wanita Berbicara" yang membahas tentang gizi bersama seorang nutrisionis, sudah lekat dalam pikiran saya, bahwa sufor-lah nutrisi yang baik untuk putra-putri kita.

Itulah pemikiran salah kaprah semasa masih lajang dulu. Bahkan saya sudah membayangkan, susu formula merk apa yang akan saya berikan untuk anak saya kelak. Sama sekali tidak terbayangkan akan memberikan ASI, apalagi sampai menyusuinya hingga usia dua tahun. Pandangan saya ini bukan tanpa sebab. Di lingkungan tempat tinggal saya, masih banyak ibu yang memberikan sufor untuk bayinya. Anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang terlihat super aktif dan pintar, dengan badannya yang gembul dan sintal. Sementara anak yang diberikan ASI terlihat sedikit pasif dan berat badannya tidak gemuk dan segar. Inilah mengapa karena keawaman saya, dulu saya berpikir bahwa susu formula dengan merk bagus itu lebih baik dari ASI.

Pelan-pelan saya mulai teredukasi tentang apa itu ASI dan segala kebaikannya. Meski tidak melulu membahas tentang ASI, siaran selama satu minggu sekali bersama nutrisionis pendukung ASI, sukses membuat saya akhirnya menyadari bahwa ASI adalah nutrisi terbaik bagi bayi kita. Susu formula sebagus dan semahal apapun tidak ada yang bisa menandingi kebaikan ASI. Titik tidak pakai koma.

Dari siaran bersama nutrisionis itulah saya tahu, bahwa menyusui, memberikan ASI harus sudah dipersiapkan sejak kita masih lajang, baik secara pengetahuan maupun kondisi tubuh kita yang kelak akan menghasilkan ASI. Maka dari itulah, ada 3 hal yang harus kita persiapkan agar kelak bisa memberikan ASI melimpah dan berkualitas kepada bayi kita.

1. Mengubah gaya hidup


Ada satu pertanyaan saya waktu itu, ketika on air, "Agar kelak kita bisa menghasilkan ASI melimpah dan berkualitas, apa itu harus kita persiapkan sejak masih lajang?" Dia menjawab, "Oh, jelas iya. Terutama ubah gaya hidup menjadi yang sehat."

Betul sekali. Bahwa mengubah gaya hidup dari yang semaunya menjadi yang sehat itu bukan perkara yang mudah. Sulit andaikan kita berubah 'ujug-ujug', langsung saat itu juga. Perlu proses untuk mengubahnya menjadi terbiasa.

Sedari kecil, saya jarang minum air putih, minumnya suka yang manis-manis. Makan sayur pun lebih sering disingkirin. Suka jajan sembarangan. Hobi makan junkfood. Dan seringkali saya tidak memperhatikan asupan yang dimakan apakah sudah mengandung gizi seimbang atau belum.

Karena kesadaran bahwa kelak tubuh saya akan menghasilkan ASI untuk buah hati, maka saya harus mengubah gaya hidup yang tidak sehat seawal mungkin. Saya mulai suka minum air putih. Yang tadinya tidak suka sayur, pelan namun pasti saya mulai menyukai sayuran bahkan digado tanpa bumbu apapun saya mau (sayurannya tetap direbus atau kukus). Kebiasaan ngeremuk mie mentah juga mulai saya tinggalkan. Kalau kepingin makan mie rebus, saya akan tambah dengan sebutir telur atau tahu dan juga sayuran. Sementara untuk buah, saya memang sudah suka sejak dulu.

Dengan mengubah kebiasaan ini, setidaknya saya tidak merasa terbebani ketika saya benar-benar menjadi ibu karena saya sudah terbiasa dengan gaya hidup sehat. Saat lahiran anak pertama, tiga setengah tahun lalu, alhamdulillah saya bisa memberinya ASI hingga usianya dua tahun. Bahkan sekarang, dilanjut adiknya yang kini usianya menginjak sebelas bulan.


Jujur, saya miris ketika tahu ada ibu yang katanya ingin memberikan ASI bagi bayinya, sementara dia tidak mau mengubah gaya hidupnya. Ogah makan sayur. Tidak mau minum air putih. Sering minum teh kemasan yang mengandung pengawet dan pemanis buatan. Alhasil, dia mengeluh karena ASI-nya kurang. Begitu disuruh mengubah, dia menjawab sulit. Akhirnya, suforlah yang jadi andalan.

2. Perluas wawasan tentang pemberian ASI dan segala kebaikannya


Ini penting sekali. Mungkin ketika masih single, ilmu tentang ASI hanya sebatas pengetahuan secara umum. Yang penting, saya saat itu sudah tahu bahwa ASI adalah asupan terbaik bagi bayi. Tidak ada nutrisi terbaik untuk bayi selain ASI.

Wawasan tentang ASI terus saya perluas ketika saya sudah menikah, dan makin digali lagi saat saya sudah mengandung. Apalagi agar ASI bisa keluar sesaat setelah melahirkan atau bahkan sebelum melahirkan, saya harus melakukan perawatan payudara selama hamil. Dikutip dari AyahBunda, salah satu cara perawatannya adalah dengan pijat payudara atau breast massage yang berguna untuk relaksasi dan membantu refleks pengeluaran ASI. Pijat payudara sebaiknya dilakukan sedini mungkin, yakni saat usia kehamilan 5 atau 6 bulan. Namun, hentikan pijat setelah usia kehamilan masuk trimester ketiga, karena bisa menimbulkan kontraksi rahim.

Dengan pengetahuan ini--hasil berburu ilmu dari internet dengan sumber yang jelas--setidaknya saya sudah punya bekal yang banyak. Jadi ketika si bayi lahir, saya sudah siap dengan apa yang akan saya lakukan nanti.

Dua kali saya melahirkan, ASI tidak langsung bisa keluar. Dua klinik bersalin tempat saya melahirkan pun tampaknya juga tidak pro ASI. Bayi tidak langsung didekatkan pada saya untuk dilakukan IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Saya sendiri saat itu sudah lemas. Bekal ilmu saya soal IMD ini masih amatlah dangkal andaikan saya harus melakukan sendiri, sementara dari bidan atau perawatnya tidak membantu.

Sungguh perjuangan berat bagi seorang ibu yang hendak memberikan ASI secara ekslusif, sementara rumah sakit atau klinik bersalinnya tidak mendukung. Maka penting sekali bagi ibu yang hendak melahirkan untuk survei rumah sakit atau klinik bersalin mana yang pro ASI.

Alhamdulillah, meski bayi saya sempat terpisah dengan saya selama satu jam, perawatnya belum memberikan susu formula. Pada akhirnya saya melakukan IMD semampunya dibantu oleh suami dan Bu Dhe yang saat itu ikut jagain.

Tapi ASI masih belum keluar juga. Saya berusaha untuk tenang dan yakin jika ASI akan cepat keluar dengan membiarkan si bayi terus menghisap puting, di samping juga memberikan rasa nyaman. Seperti yang pernah saya baca, bahwa ketenangan dan keyakinan ibu menentukan kelancaran ASI.

Dr Utami Roesli, SpA, MBA, IBCLC, FABM, seperti dikutip detikHealth, mengatakan bayi bisa bertahan 24-48 jam, karena ia sudah dibekali dari kandungan. Dr Tami juga menjelaskan, hampir sekitar 50 persen keberhasilan menyusui bergantung pada pikiran si ibu.

Lebih lanjut dr Tami juga mengungkapkan dari sisi kedokteran ada 2 hormon yang mempengaruhi ASI yaitu hormon prolaktin yang berfungsi memproduksi ASI dan hormon oksitosin yang berfungsi mengalirkan ASI. Hormon oksitosin ini terpengaruh oleh pikiran ibu. Jika ibu sedang sedih, stres, kesal atau mangkel maka hormon oksitosin akan berkurang sehingga mempengaruhi produksi ASI.

Sementara itu, mengutip dari laman okezone, para peneliti juga menemukan bahwa pada hari pertama sampai hari ketiga lambung bayi baru lahir hanya memiliki kapasitas menampung berkisar lima sampai tujuh ml ASI setiap kali minum. Jumlah ini sesuai dengan jumlah kolostrum yang sudah tersedia dalam payudara ibu pada hari-hari awal pascapersalinan. Tetesan-tetesan ASI pertama kali sampai hari kelima atau ketujuh berupa kolostrum, sudah cukup memenuhi kebutuhan bayi.

Dari sinilah saya tetap berkeyakinan, saya akan bisa memberikan ASI ekslusif untuk bayi saya. Alhamdulillah setelah kurang lebih lima jam pasca persalinan, ASI sudah keluar meski belum lancar benar.

Maka, penting sekali bagi calon ibu untuk memperluas wawasannya tentang ASI agar selepas bayinya lahir nanti, ibu tidak gagap saat menghadapi ASI-nya belum keluar pasca persalinan. Apalagi jika rumah sakit atau klinik bersalinnya tidak pro ASI. Andai saya tidak membekali diri dengan ilmu, bisa jadi saya akan patah arang, dan mengira bahwa saya tidak bisa menyusui bayi saya karena ASI belum keluar.

3. Menguatkan mental


Ya, bukan hal mudah bagi seorang ibu yang ingin memberikan ASI ekslusif untuk bayinya. Tanpa bekal mental yang kuat, ibu bisa saja menyerah dan pada akhirnya memilih memberikan susu formula kepada bayinya.

Ketika ASI belum keluar, entah untuk ke berapa kalinya, perawat bolak-balik nanya, "Gimana? Udah keluar belum? Apa dibikinin sufor saja?" Saya tetap menjawab santai namun tegas. "Nggak usah, mbak." Walau hanya sebatas bertanya, tapi bisa saja membuat kita jadi terpengaruh.

Pas lahiran anak pertama, saya bahkan diberi susu formula kemasan 150 gr dalam paketan perlengkapan bayi, sebagai salah satu fasilitas dari klinik bersalin tersebut. Memang, bidannya tidak memaksa atau menganjurkan untuk diberi susu formula. Tapi 'dititipi' se-dus susu formula bisa saja membuat ibu jadi tergoda karena ASI belum keluar.

Ketika anak menginjak usia tiga bulan, mertua saya bahkan menasihati saya, "Sudah tiga bulan, dikasih makan saja. Nanti kalau nggak dikasih makan, kamu bakalan disusuin terus." Saya berusaha menjawab santun lengkap dengan senyum, "Belum dulu, bu. Makannya besok kalau sudah usia 6 bulan. Nggak apa-apa saya disusuin terus."

Sepupu saya ada juga yang menyarankan begini ke saya, "Jangan cuma ASI. Dikasih sufor juga. Biar nanti kalau ditinggal nggak repot. Lagian kalau dia cuman ASI, besok dia bakalan nggak doyan susu."

Bahkan ibu saya juga pernah menyarankan yang sama saat anak kedua saya terlihat tidak semegrak (sebetulnya anak kedua saya ini aktif, tapi dia susah tersenyum selain dengan ayah, bunda dan kakaknya, kalau diajak orang lain seperti ketakutan atau kalau mau dia lebih terlihat kalem dan terkesan kurang lincah). "Ditambahin sufor biar lebih lincah dan badannya sintal. Lagian, anak orang lain dikasih sufor juga nggak masalah. Mereka baik-baik saja." Karena dengan ibu sendiri, saya lebih mudah memberikan penjelasan tanpa ada rasa sungkan.

Anak kedua saya yang dinilai susah tersenyum saat usianya 6 bulan. Kini usianya sudah 11 bulan.

Itulah beberapa kalimat yang pernah dilayangkan kepada saya. Tanpa mental yang kuat, saya bisa saja down sehingga mempengaruhi produksi ASI. Alhamdulillah, suami saya selalu menjadi tempat mencurahkan unek-unek. Kita biasa menjadikan kalimat-kalimat mereka ini sebagai candaan agar saya sendiri tidak terlalu memasukkan sampai ke hati.

Inilah mengapa, niat menyusui itu harus tumbuh jauh sebelum menjadi ibu. Karena ada banyak bekal yang harus kita persiapkan agar bisa memberikan nutrisi terbaik sebagai anugerah dari-Nya untuk bayi kita. Ingat bahwa setiap tetesan-tetesannya itu akan dinilai oleh-Nya jika kita ikhlas memperjuangkannya.

Meski Pekan ASI Dunia yang jatuh tanggal 1 - 7 Agustus telah berlalu, tapi semaraknya akan selalu digaungkan oleh para pendukung ASI. Karena sekali ASI tetaplah ASI. Tidak untuk yang lain, tak peduli dengan hambatan maupun rintangan yang menghadang. Happy breastfeeding, Moms!

*Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway DuniaBiza bertema "ASI dan Segala Cerita Tentangnya".



Sumber :
http://www.ayahbunda.co.id/kehamilan-gizi-kesehatan/5-kiat-lancar-asi-eksklusif-

http://m.detik.com/health/read/2011/09/27/150447/1731510/764/bayi-baru-lahir-bisa-bertahan-48-jam-tanpa-menyusu

http://m.okezone.com/read/2011/08/05/195/488715/asi-belum-lancar-don-t-worry

18 komentar:

  1. Berbahagialah seorang ibu yang diberi karunia untuk bisa menyusui anaknya...ASI eksklusive...semoga menang GA-nya ya mbak...salam dari jogja

    BalasHapus
  2. Aku belum nikah dan punya anak, jadi belum punya pengalaman soal asi-sufor ini. Maunya kasih asi, lah. Alami dan ga bikin dompet tipis hehehe. Eh tapi pola makan juga harus diperbaiki, bukan cuma bair asinya bagus sih, buat kesehatan kita juga, kan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi, iya, mbak. Buat kebaikan kita juga. Kalo sudah jadi ibu, perasaan ingin melindungi dan memberikan yang terbaik buat anak kita itu jauh lebih besar mbak. :)

      Hapus
  3. ASI memang yang terbaik buat anak ya, mba. Yang penting usaha dulu untuk anak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mbak. Yanh pasti kudu semangat dulu, jangan keburu menyerah. :)

      Hapus
  4. Ternyata harus dimulai sejak single ya persiapannya. Makasih mba untuk sharing-nya. Semoga menang juga :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mbak. Ya, karena mengubah gaya hidup sehat itu buat mereka yang biasa nggak sehat, emang nggak gampang. :)

      Hapus
  5. Setuju mbak, saya di awal mengalami kesulitan memberi ASI krn pas msh hamil gak belajar soal ini. Da gak cuma ibu yg belajar namun jg ayah dan keluarga jg dipersiapkan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh, iya banget itu, mbak. Kalo keluarga apalagi suami nggak dukung bisa jadi tantangan besar. :)

      Hapus
  6. Seperti hidayah ya, Mbak, datengnya beda-beda ke tiap orang. Saya ngerti pentingnya ASI baru setelah anak pertama berusia satu tahunan. Anak pertama gagal ASI eksklusif, tapi Alhamdulillah anak kedua dan ketiga yang sekarang ASI saya lancar mengalir ke mereka :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mbak. Berasa kayak dapet hidayah. Alhamdulillah ya, mbak. Anak kedua dan ketiga bisa kasih ASI ekslusif. Ibu yanh baik memang harus belajar dari kesalahan. :)

      Hapus
  7. betul, saya setuju sekali bahwa gaya hidup sehat selagi muda bisa mempengaruhi ASI kita kelak

    BalasHapus
  8. Setuju banget mba... kesuksesan ASI selain dukungan keluarga juga dimulai dengan keyakinan ibu.... terimaksih berkenan berbagi ceritanya mba...

    BalasHapus

Mohon maaf komentarnya saya moderasi. Hanya untuk memastikan ada komentar dan komentarnya sopan. Terima kasih. :)

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!