Sabtu, 24 Oktober 2015

Tetiba saya nemu istilah ini: Suami Beng-Is. Apa itu? Suami yang nebeng istri dalam hal menopang perekenomian rumah tangga. Suami yang seharusnya mencari nafkah untuk keluarga, tetapi perannya diambil alih oleh istri.

Inilah yang saya sebut sebagai suami Beng-Is. Suami macam ini tampaknya semakin bertambah saja. Tak jarang, yang sudah mengajipun bisa terjerembab pada posisi ini. Saya pikir, ada beberapa faktor kenapa mereka menjadi suami Beng-Is (Jadi jangan menjudge negatif dulu ya).

"Ibuku sudah nggak tahan lagi sama bapakku, mbak. Aku kasihan sama ibuku. Dia pontang-ponting kerja serabutan kesana kemari, sementara ayahku malah enak di rumah," curhat salah satu adik tingkat di kosan dulu. #kasus1

"Kasihan dia. Dia kerja jadi guru Paud. Masih nyambi buat tempe keripik untuk dijual ke toko-toko. Jual brambang goreng. Sementara suaminya malah enakan dolan ngabisin uang," ada ibu yang cerita, saya ikut nyimak. #kasus2

Seperti yang saya bilang tadi, ada beberapa faktor kenapa suami menjadi seperti ini. Saya tidak akan membahas jika mereka ini bukan orang yang mengkaji tuntunan Islam. Kewajiban shalat saja berani ditinggalkan, apalagi kewajiban memberi nafkah keluarga?

Hanya yang jadi garis besar disini kenapa orang yang sudah mengerti tuntunan Islam sekalipun bisa terjerembab menjadi suami Beng-Is? Perlu diketahui, kasus 1 adalah mereka yang sudah mengaji.

Saya melihat banyak saudara kita yang kesehariannya berdagang, yang jualan adalah istri sementara suami hanya bantu mengangkat-angkat barang, kulakan dsb. Sementara istri terlihat pintar dan luwes berdagang, sedangkan suami dia terlihat tidak berdaya andaikan dia diminta berdagang sendiri.

Nah, pada kasus seperti ini, terkadang istri merasa bahwa yang menghasilkan adalah dia seorang. Meski tanpa bantuan suami, dia merasa bisa melakukannya sendiri.

Kerja keras suami yang mengangkat barang, kulakan dsb tidak diperhitungkan karena dia pikir toh ketika ditinggalkan dia bisa melakukannya.

Tanpa disadari sikap merasa bisa dari seorang istri ini akan memicu sikap pesimistis dari suami. Jika istri memang berharap suami bisa juga berdagang, pacu dia, dorong, dan semangati dia. Yakinkan bahwa dia bisa melakukannya. Jangan terlalu menuntut dia bisa luwes dan cekatan seperti istri yang pintar berjualan. Kepiawaiannya mungkin tak seluwes istri, tapi seberapa kecil usahanya hargailah ia.

Jika istri selalu menganggap enteng usaha suami, tidak menghargai malah terkadang mencerca, sikap seperti ini yang kadang memunculkan rasa pesimis sehingga bermuara pada suami beng-Is.

Dia ini meski terlihat kuat, tetapi ada sisi dia akan menjadi rapuh, apalagi ketika belahan jiwanya tidak mampu memahami dan mengerti bagaimana dia. Dia sangat butuh dorongan dari orang terkasihnya. Bahkan kalimat, "Semangat!" atau "Saya percaya njenengan bisa melakukannya!" mampu menjadi cambuk dahsyat untuk memotivasinya.

Pada kasus yang pertama tadi, dalam hati saya meragukan, benarkah ayahnya seperti itu? Atau jangan-jangan seperti yang saya uraikan diatas: berusaha tapi dianggap enteng? Saya pernah mendengar ada bapak cerita bahwa ayahnya ini sangat rajin sekali kerja bakti di Masjid. Ketika yang lain sudah istirahat, dia yang paling belakangan. Wallahu'alam.

Tetapi walau bagaimanapun, suami adalah pemimpinnya istri. Jangan hanya karena merasa usahanya tidak dihargai, kemudian dia pesimistis hingga menjadi suami Beng-Is. Sebagai pemimpin, dia berkewajiban mendidik, mengarahkan serta mengertikan istrinya terhadap kebajikan. Dia juga wajib memberi nafkah lahir batin kepada istrinya.

Jika istri mengabaikan usaha suami, cobalah mengertikan dia dengan cara yang santun. Berilah perumpamaan. Jangan hanya dibiarkan bahkan sampai suami merasa rapuh sendiri.

Pun begitu, suami tetaplah wajib memberi nafkah bagi keluarganya, semampunya dia. Rasulullah Saw bersabda ketika ditanya tentang haknya istri atas suaminya, "Kamu memberinya makan apabila kamu makan, kamu memberinya pakaian apabila kamu berpakaian...." (HR. Abu Dawud) Rasulullah Saw juga bersabda, "Cukuplah bagi seseorang berdosa apabila ia mengabaikan orang yang makan dan minumnya menjadi tanggungannya." (HR. Abu Dawud)
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf komentarnya saya moderasi. Hanya untuk memastikan ada komentar dan komentarnya sopan. Terima kasih. :)

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!