Hari Senin, 29 Agustus lalu, boleh jadi adalah hari paling memilukan bagi Ana Istianingsih. Bagaimana tidak? Usai menunaikan shalat dhuhur di masjid dekat rumahnya, ia mendadak terhenyak ketika mendapati rumah sederhananya itu telah hangus terbakar. Tangisnya sontak pecah ketika ketiga balitanya yang tertidur di dalam rumah tewas terpanggang si jago merah.
Ah, ibu mana yang tidak sesak dadanya ketika mendengar berita ini? Apalagi saat saya lihat foto sang ibu menangisi ketiga balitanya yang sudah tak bernyawa diantara serakan puing-puing sisa kebakaran. Sungguh membuat para ibu manapun akan ikut menitikkan air mata.
Terhitung sejak tanggal 26 Agustus--tepat setahun anak saya yang nomor dua lahir--saya seperti diingatkan oleh Allah tentang bagaimana mensyukuri waktu yang terbatas ini, di tengah kerepotan mengurus dua bocil yang terkadang mengocok-ngocok kesabaran ketika menghadapi kerewelan mereka. Tepat di hari itu, ada teman facebook yang mengunggah foto putrinya yang meninggal ketika usianya baru menginjak 1,5 tahun, sepuluh tahun silam. Melihat foto itu, membuat saya tercenung sejenak. Ya, andai itu terjadi kepada saya. Kehilangan ketika anak-anak kita masih lucu-lucunya mungkin rasanya akan sangat berat sekali.
Kita mungkin akan merindukan tingkah polosnya. Yang sudah ngecuis ini itu, meski belum jelas apa yang dikatakannya. Pipinya yang gembul membuat kita terus menghujani dengan ciuman. Memberinya ASI, semakin melekatkan kita dengan buah hati. Menepuk lembut pantatnya, mengusap rambut tipisnya. Ah, rasanya kehilangan ketika anak kita masih berwajah menggemaskan itu bukanlah hal yang mudah. Luar biasa berat.
Tapi ketika takdir sudah berbicara, tak akan ada yang mampu menolak atau mengundurnya. Buah hati kita hanyalah titipan dari Allah yang diamanahkan kepada kita. Suatu saat, entah kapan, akan diambil lagi oleh Sang Pemilik.
Saya ingat ketika mendengar kabar dari teman SMA yang putranya berumur 10 bulan meninggal dunia. Kabar ini kontan membuat saya kaget. Ya, karena ibunya sering mengunggah foto anak keduanya itu di media sosial. Bahkan anaknya sangat lincah karena perkembangan motorik kasarnya amat cepat.
Siapa yang tidak sesak dadanya ketika anak kita yang sebelumnya tidak sakit apa-apa ketika paginya kita dapati tubuh mungilnya sudah terbujur kaku? Ya, itu yang terjadi pada anak teman saya. Dalam keadaan panik dia gendong tubuh yang sudah pucat membiru itu ke rumah sakit bersama suaminya. Sampai disana ternyata putra kesayangannya memang sudah tiada. Ah, saya sampai menangis menulis ini. Tidak terbayang bagaimana jika itu terjadi pada saya.
Tepat di tanggal 26 Agustus itu ada juga teman lain yang membagikan kisah di blog pribadinya. Kenangan ketika ia harus kehilangan putri kecilnya yang berusia 3,5 tahun, seumuran dengan anak pertama saya. Saya menangis ketika membacanya. Ia masih mengingat detil detik-detik putri bungsunya itu sebelum akhirnya dipanggil oleh Allah SWT.
Siapa yang menyangka dia pergi secepat itu? Bahkan sorenya, ia masih lincah berjoget di atas sofa sembari menirukan lagu anak-anak yang disetel di televisi. Ketika Maghrib, ia sudah berada di IGD. Terbujur tak berdaya dengan nafasnya yang makin terputus-putus. Dokter menyarankan untuk memberinya nafas buatan dengan memasukkan selang di tenggorakannya. "Resikonya kemungkinan besar pita suara adik akan rusak, Bu." kata dokter seraya meminta persetujuan.
Sontak ibunya mematung. Seakan tak sanggup menerima jika si kecilnya yang pintar bercerita itu tidak bisa berbicara lagi. Tapi jika tidak diberi nafas buatan, ia akan meninggal. Dengan berat hati ia menyetujuinya.
Tapi tampaknya nafas buatan itu tak membantu. Tubuh putri kecilnya kian melemah hingga akhirnya Allah memanggilnya. Dari keterangan dokter, putrinya meninggal karena paru-parunya keracunan, efek dari muntahan yang balik lagi ke dalam kerongkongan lalu mengenai paru-parunya. Sebetulnya bungsunya itu hanya masuk angin biasa dan muntah-muntah tapi masih aktif dan ceria.
Siapa yang mengira jika buah hatinya akan pergi secepat itu? Tanpa kita nyana-nyana karena sebelumnya dia masih sehat. Ya, itulah takdir Allah. Tak ada yang bisa menolak atau mengundurnya.
Berita ketiga balita tewas terbakar bisa dibaca dengan meng-klik gambar diatas. |
Kehilangan anak di usia kecil mereka, seakan menjadi cambuk bagi kita, khususnya bagi saya pribadi. Ya, betapa kita terkadang dibuat kesal dengan ulah polosnya. Terkadang pula, kita merasa lelah menghadapi polah mereka yang benar-benar menguji kesabaran. Rumah yang berantakan. Si kecil yang terus rewel. Si kakak yang merajuk minta dilayani. Padahal kerjaan rumah belum beres.
Baca juga : Berdamai dengan Rumah Berantakan
Terkadang kita merasa jenuh, karena rutinitas yang hanya begitu-begitu saja. Sebagai lulusan Sarjana, kita pun ingin tetap produktif meski berada di rumah. Tapi kerempongan mengurus bocil-bocil yang usianya berdekatan benar-benar membuat kita kesulitan memanajemen waktu. Mungkin kita merasa bosan dan ingin segera terbebas dari rutinitas. Hingga tanpa kita sadari, perasaan itu perlahan menggerogoti keikhlasan kita.
Kematian buah hati mereka menjadi pengingat bagi kita semua. Bagaimana agar kita semakin mensyukuri waktu yang berharga ini. Mendidik mereka, membersamai di masa tumbuh kembangnya. Menggali potensi dan mengembangkannya. Memberi asupan nutrisi bergizi seimbang untuk mendukung tumbuh kembangnya. Menemani saat mereka bermain, dan sebagainya.
Baca juga : Beri Kesempatan Si Kecil Memecahkan Masalah
Dengan bersyukur, semoga membuat kita semakin menikmati momen berharga yang tak akan terulang lagi. Hingga tidak akan lagi kita dengar keluhan kekesalan yang nyeplos keluar dari mulut kita. Ya, semoga kita menjadi ibu yang bisa sabar menghadapi keceriwisan dan segala polah si kecil.
Bagaimanapun, anak kita adalah titipan dari Allah. Dia sudah memercayakan mereka dalam asuhan kita. Maka, tunaikan amanah itu dengan sebaik-baiknya. Dengan sepenuh syukur dan sabar. Mungkin akan jadi penyesalan tiada terkira ketika kita yang merasa lelah menghadapi ulah polos mereka, Allah tiba-tiba mengambil mereka dari kita. Semoga Allah memberinya kesehatan dan umur yang berkah kepada anak-anak kita hingga mereka tumbuh dewasa menjadi generasi shaleh dan shalehah. Amiin.