"Bannya copot!" Seru Dinda, 3 tahun, saat tengah menaiki sepeda anak saya. Dia lantas meminggirkan sepedanya. Ketiga temannya, termasuk anak saya, datang menghampiri.
Saya hanya mengamati dari emperan toko, menunggu reaksi polos mereka saat dihadapkan pada masalah seperti ini.
"Bannya dikasih lem saja, Din," saran Fika, 4 tahun. "Aku ambil lem dulu di rumah ya?"
"Dipukul pakai batu saja bannya." Anak saya ikut beri solusi, terinspirasi dari ayahnya saat memasang ban sepeda roda tiga itu dengan dipukul (tapi menggunakan tangan). Fika tak jadi pergi. Sementara Dinda ambil batu, dipukullah ban yang copot itu agar terpasang kembali.
"Sini aku bantuin pegang sepedanya," kata Galang, 4 tahun, sambil memegang sepeda agar tidak geser. Diikuti Fika dan anak saya.
Hihihi, seru ya kalau kita mengamati tingkah polos mereka, apalagi di saat mereka tengah diuji dengan masalah semisal ban sepeda copot. Apa pada akhirnya mereka berhasil memasang kembali ban sepedanya? Jelas tidak. Tapi memberi kesempatan mereka memecahkan masalah adalah salah satu cara untuk membentuk mereka menjadi anak yang tangguh.
Pada akhirnya si ayah-lah yang memperbaiki memasangkan kembali ban yang copot. Dengan membimbing mereka, setidaknya mereka akan merekam bagaimana memasang ban bila sewaktu-waktu ban copot kembali.
Memang umumnya orang tua terlalu banyak terlibat saat anaknya menghadapi masalah. Mereka bahkan tidak memberikan kesempatan bagi si kecil untuk belajar memecahkan masalahnya sendiri. Ya, alasannya karena mereka masih kecil. Toh yang dilakukan juga salah atau nggak beneran, pikir orangtua.
Orangtua biasanya tidak sabar saat si kecil ingin belajar mengerjakan sendiri. Pakai baju misalnya. Ketika si kecil berkata, "Ma, aku pakai baju sendiri ya?" Ibunya malah bilang, "Nggak usah. Biar mama saja yang pakaikan. Entar kelamaan!"
Kedengarannya mungkin simpel, tapi kebiasaan ini bisa saja membuat anak akhirnya jadi malas untuk mengenakan baju sendiri. Atau jika ibunya sampai berujar, "Kamu nggak bisa pakai baju. Biar mama yang pakaikan!" Ini jelas mematahkan semangatnya untuk belajar memakai baju sendiri. Dari sinilah timbul rasa tidak percaya diri dengan kemampuannya. Akibatnya, anak bukannya lebih mandiri, justru semakin manja. Maka tidak mengherankan jika anaknya nanti akan terlalu bergantung dengan ibunya, dikit-dikit minta bantuan ibu.
Dilansir dari tempo.co, kemampuan memecahkan masalah pada anak harus dilatih sejak kecil. Orang tua dapat memulainya dari hal-hal kecil yang ditemui setiap hari. Menurut psikolog Lucia R.M. Royanto, kemampuan memecahkan masalah pada anak sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan berupa stimulasi-stimulasi psikologis melalui kegiatan yang dilakukan bersama anak dan asupan nutrisi yang diterima oleh anak. Stimulasi psikologis yang diberikan oleh ibu, berupa permainan dan latihan, dapat mengembangkan kemampuan anak dan membantu perkembangan anak secara maksimal.
Seperti dikutip Republika Online yang dilansir dari The Huffington Post, mengajari mereka memecahkan masalah sendiri akan membangun kemampuan mengambil sikap, dan semangat tangguh dalam menghadapi tantangan dalam hidup.
Saat si sulung yang berusia 3,5 tahun itu bermain dengan teman-temannya, saya biasanya hanya menjadi pengamat diam-diam. Terkadang saya mengintip dari balik kaca etalase, atau sengaja menjaga jarak 5-10 meter, untuk melatih kemandirian dan keberanian. Namanya anak-anak, sesekali ia akan dinakali temannya atau disewoti oleh mereka karena salah satunya membawa ipad.
Di saat seperti ini, saya tidak akan langsung mendekatinya, atau bahkan sampai ikut campur memarahi mereka. Jika ia tidak sampai menangis, saya akan menunggu reaksinya. Ah, ternyata dia cuek saja! Saat ketiga temannya pada ngumpul main ipad, dia pede saja duduk di sebelah mereka. Sesekali ia mencuri pandang dengan saya, lalu ia tersenyum girang. Dia memilih mainan sendiri. Karena terus dicuekin, akhirnya dia pulang ke rumah tanpa beban. Hihihi.
"Kamu tadi dicuekin temanmu ya?" selidik saya. Dia membalas dengan tawa. "Nggak apa-apa. Tapi jangan ikut-ikutan nyuekin kayak mereka ya?" Dia mengangguk. Saya balas dengan pelukan.
Baca juga : Karena Bahagia itu Sederhana, Nak!
Baca juga : Karena Bahagia itu Sederhana, Nak!
Mungkin sebagai ibu kita khawatir dengan balita kita. Ibu mana sih yang tega melihat anaknya diencepi (bibir dimiringin tanda nyinyir)? Pasti ada rasa sedih atau segera menjauhkan ia dari mereka, bukan?
Karena saya pernah ikut mendampingi adik-adik asrama usia SMA, betapa mereka akan merasa tersisih hanya karena dicueki teman-temannya, maka sebagai ibu saya merasa perlu menguji mentalnya saat diposisikan seperti ini. Ternyata dia bisa tahan mental. Dicueki karena asyik mainan hp (sementara anak saya tidak), ya dia enjoy main sendiri. Terkadang ada temannya yang tertarik ikutan main. Kalau terus dicueki ya pulang sendiri.
So, Bun, berilah kesempatan kepada si kecil memecahkan masalahnya sendiri. Pantaulah bagaimana ia menyelesaikannya. Jika ada yang kurang, bimbinglah ia. Pujilah ia dan berikan pelukan agar ia bangga dengan sesuatu yang telah ia lakukan, bagaimana pun hasilnya. Semoga bermanfaat. :)