Siaran di box siar. Foto kiriman teman, karena foto siaran saya hilang semua gegara laptop minta diformat ulang sementara data belum sempat di-back up. :D |
Mungkin banyak yang pingin jadi penyiar radio? Hihihi. Iya, profesi ini memang banyak diimpikan sebagian orang. Biar sering dianggap sebagai pekerjaan nggak jelas, batu loncatan atau bahkan gajinya cuman kecil tapi nggak dipungkiri kalau peminatnya lumayan banyak juga.
Terbukti saat stasiun radio tempat saya bekerja dulu, tiap kali membuka lowongan penyiar, pasti yang daftar segambreng. Sebelum siaran di radio dakwah di Solo, saya pernah juga melamar jadi penyiar di radio jaringan di kota lahir saya, Sragen, yang daftar pun juga puluhan. Padahal cuman diterima 2 penyiar doang. Hahaha. Bahkan sekelas radio kampus pun yang daftar juga banyak.
Kenapa banyak orang kepingin jadi penyiar radio? Padahal kalau dilihat berapa gajinya mungkin tidak begitu besar dan bahkan tidak menentu karena hanya dihitung per jam siaran selama sebulan (beberapa stasiun radio punya kebijakan masing-masing. Kalau di radio saya, semua penyiar asal bukan penyiar trainee fee per jam-nya disamaratakan. Bedanya, tidak setiap penyiar punya jam mengudara sama. Ada yang jam on air-nya tinggi, ada pula yang siaran cuman 16 jam sebulan saja. Nah, yang jam siarnya sedikit inilah yang gajinya cuman sak umplik :D).
Lalu kenapa peminatnya banyak? Beberapa alasan ini mungkin yang menjadikan profesi sebagai penyiar radio itu diminati banyak orang.
1. Eksis
Siapa sih yang nggak kepingin dikenal banyak orang? Mungkin hanya orang-orang introvert yang nggak ingin dikenal banyak orang (xixixi, bener nggak sih? :D). Paling enggak, nama kita dikenal seantero komplek lah. Heuheu.
Dan menjadi penyiar radio adalah salah satu cara agar kita dikenal banyak orang. Bahkan sekelas radio kampus yang siarannya hanya menjangkau hingga 5 km pun nyatanya bikin penyiarnya punya banyak fans. :D
Dulu ketika saya daftar jadi penyiar di radio kampus di Faperta UNS, saya tak menyangka jika nasib saya benar-benar berubah. Awal daftar sebetulnya hanya untuk melatih public speaking agar saya tidak grogi saat berbicara di depan. Tapi setelah beberapa waktu siaran, saya mulai menyukai bidang ini. Saya tak menampik jika saya saat itu juga sedikit keblinger dengan virus mendadak eksis.
Ya, saya yang hanya mahasiswi polos, pasif organisasi, anak rumahan, dan tidak banyak dikenal orang, tetiba berubah menjadi serasa 'artis'. Jika saya tidak siaran, pendengar yang rata-rata mahasiswa dan anak sekolahan, pada nyariin saya. Handphone saya yang tadinya sepi telpon dan sms (dulu belum ada WA, hahaha udah tua ya saya :D), tetiba mendadak jadi ramai. Bahkan saat tengah malam pun ada saja orang iseng yang main miss called. Fuihhhh...
Apalagi ketika saya siaran di radio dakwah di kota Solo. Nasib saya banyak yang berubah.
Dulu, saat saya jalan berdua dengan teman saya, yang disapa pasti hanya dia seorang. Saya dicuekin. Padahal pernah sekelas. Hahaha.
Dulu, ketika teman-teman sekampus yang berasal dari SMA yang sama, jika ada kegiatan mereka diberitahu. Saya? Nggak pernah dikabari. Bahahaha.
Ngenes? Enggak. Saya tahu diri kalau (saat itu) saya memang nggak dikenal oleh banyak orang. Ohokohok.
Tapi, setelah saya jadi penyiar radio, mereka yang tadinya cuek dengan saya, kalau saya jalan, minimal senyum terulum dari bibir mereka.
Teman-teman SMA yang saya pikir nggak tahu saya, eh ternyata mereka pada tahu saya. Saat saya beli aksesoris komputer, eh pemilik tokonya juga tahu saya. Saat saya angkat telpon di kantor majalah--tempat kerja saya yang lain, si penelpon langsung tahu saya. Bahkan saat saya mengenalkan diri hanya menyebut nama Isna, orang di seberang sms sana sudah langsung nyambung kalau itu Isna penyiar, padahal saya bilang dari redaksi majalah Respon. :D
Ini mungkin agak narsis. Tapi begitulah. Memang menjadi penyiar membuat kita (sedikit) eksis. Hanya satu pesan saya: jangan keblinger dengan keeksisan. :D
2. Kerjanya enak
Gimana nggak enak? Kerja cuman duduk di kursi siar, sambil ngomong, dapat duit. Pas nge-play musik atau iklan, kita bisa istirahat sejenak. Kadang leyeh-leyeh senderan di kursi putar sambil dengerin lagu nasyid (saya kan di radio dakwah) di headphone. Kadang online sebentar. Kadang sambil nyicil sarapan. Atau bahkan sampai tiduran sebentar di meja siar karena masih ngantuk--efek pagi-pagi siaran (hahaha, parah :D).
Malah, di saat tengah siaran--karena lagi muter lagu, saya keluar sebentar dari box siar. Saat itu ada artis yang datang ke studio nengokin temannya. Saya diajakin partner siar saya buat foto bareng sebentar. Ngahaha, lebih parah kan? :p
Ruang siar radio Persada FM Solo, diambil dari ruang khusus narasumber yang tempatnya terpisah. |
3. Menjadi Diperhitungkan
Iya, inilah yang juga saya rasakan. Dulu, mana ada orang yang ngelibatin saya untuk menjadi panitia dalam kegiatan? Nggak ada juga yang nawarin saya daftar organisasi kampus, entah BEM, entah rohis dsb. Padahal teman-teman saya ada yang daftar karena awalnya ditawari dulu. Kalau usul atau menyampaikan pendapat, saya juga lebih sering diketawakan karena suara saya saat itu malah kedengeran aneh saking ndredeg-nya. Hahaha. Overall, saya itu udah mirip kayak seorang figuran di sinetron yang sebenarnya menjadi bagian di dalamnya tapi perannya diabaikan penonton. Bahahaha.
Tapi semua perlakuan itu berubah drastis ketika saya jadi penyiar radio. Tiap kali ada kegiatan atau event-event tertentu baik yang digelar stasiun radio atau di luar itu, saya selalu dilibatkan dari awal hingga akhir. Bahkan tak jarang, saya yang awalnya hanya sekadar membantu justru malah jadi pemain inti karena ketua panitianya hanya eksis saat rapat saja. :D Saat saya usul, didengarkan bahkan langsung disetujui. Saya bahagia sebetulnya, tapi di balik itu ada rasa kecewa yang mendalam. Betapa banyak dari kita yang melihat dari covernya dulu: cover bagus berarti oke. Padahal belum tentu begitu bukan?
4. Banyak dapat gratisan
Bisa dibilang, saya untung banget jadi penyiar. Gimana enggak? Habis ngecuis siaran, ada pendengar datang bawain kacang rebus, kedelai rebus dan pisang rebus. Kadang tahu goreng, gulai kambing, cup cake, keripik dan aneka makanan lainnya. Kadang beli di warung yang mereka ini pendengar, nggak mau dibayar. Apalagi atasan di radio orangnya juga lomo banget. Kalau pas lagi ngumpul, "Yuk, kita makan disitu!" Atau pas habis acara--padahal saya dan teman-teman sudah kenyang makan prasmanan tamu--masih diajakin mampir kulineran.
Saat siaran bareng salah satu provider, dapat gratisan HP. Hanya becanda minta digratisi buku, ternyata beberapa waktu kemudian saya dikirimi buku. Dan entah mengapa, nomor saya sering dikirimi pulsa. Ada yang ngaku ngirim, tapi banyak juga yang enggak. Enak berlipat-lipat nggak tuh? Gaji sih cuman 200-300an ribu (ups, pura-pura nyeplos :p), tapi gratisannya banyak tak terkira. Wkwkwk.
Ini belum keitung kalau tiba-tiba saya diajakin salaman, nggak tahunya saya dikasih uang. Apa?! Nyogok? Bukan, cuman ngasih, dibalikin nggak mau. Akhirnya buat nraktir teman-teman radio. Ya, walau masih kurang, dan ujung-ujungnya yang diajakin yang nombokin. Ngahahaha.
5. Dapat tawaran kerja
Inilah mengapa profesi penyiar radio itu sering dijadikan sebagai batu loncatan. Ya, karena jadi penyiar radio itu menjadi nilai plus banget buat kita, terutama untuk mendapatkan pekerjaan lainnya.
Saya ditawari jadi redaktur sebuah majalah dakwah juga karena saya penyiar dan tentu, karena mereka tahu saya juga bisa menulis (sebelumnya saya sudah lebih dulu bergabung menjadi tim redaksi lewat audisi). Karena tahu saya penyiar, saya sering jadi MC atau moderator di SMA saya dulu. Ada juga sekolah milik ibunya teman kenalan.
Hanya sayangnya, saya tetap nggak enak kalau dibayarin. Merasa sini cuman apalah, karena belum bisa jadi MC atau moderator yang oke kayak teman-teman penyiar yang super duper lebih keren. Kalau diamplopin, biasanya saya kembalikan lagi. Kadang juga hanya dapat bingkisan parcel, tapi tetap saja saya ngerasa nggak enak nerimanya--walau tetap diterima. Ngahahaha.
Foto enam tahun lalu yang saya dapat karena di-tag pendengar di Facebook. :D |
Gimana? Enak kan jadi penyiar radio? Hihihi. Tapi bagi saya, dikenal banyak orang justru membuat saya tidak nyaman. Gimana nggak nyaman? Orang tiap hari di-smsin pendengar. Kalau enggak balas, dia akan ngasih dalil, "jawab salam itu wajib lho." Padahal sehari dia bisa sms salam sampai lima kali bahkan lebih. Apa nggak terganggu tuh? Kadang diajak curhat, kalau nggak dibalas saya disebut sombong. Awalnya saya balas karena dia ini perempuan. Tapi kok ya lama-lama malah diajak curhat, bahkan curhat yang nggak penting. Kadang sudah malam pun ada saja yang masih sms atau telpon. Kalau di fb terkadang saya bisa kena unfriend, walau beberapa waktu kemudian dia add lagi. Hahaha.
Kadang kalau jalan di satu tempat, ada yang nyenyumin, karena merasa nggak kenal saya nggak balas tersenyum, saya bisa saja dicap anggak (bahasa Jawa) atau sombong. Lebih-lebih saya jadi penyiar di radio dakwah milik yayasan dakwah yang jumlah jamaahnya besar. Tingkah laku kita hingga gaya pakaian atau jilbab yang kita kenakan juga ikut disoroti. Bahkan hanya sekadar unggah foto kru yang putri ada di depan sementara kru putra di belakang saja dapat kritikan. Padahal biar kelihatan dekat, sebetulnya ada jarak sekitar satu meter lho. Hihihi.
Baca juga : Resign karena Panggikan Jiwa Menjadi Ibu
Baca juga : Resign karena Panggikan Jiwa Menjadi Ibu
Sekarang saya sudah resign dan memilih menjadi ibu rumah tangga sejak pertengahan tahun 2012 lalu. Kini kehidupan saya kembali seperti saat saya belum menjadi penyiar radio. Saya hidup jauh dari orang-orang yang mengenal saya. Saya tak pernah lagi menjadi MC apalagi moderator.
Kini, saya hanyalah emak erte biasa yang jarang kemana-mana. Pun begitu, saya justru menikmati kehidupan seperti ini. Serasa damai. Jika pergi ke satu tempat, saya tak perlu merasa bersalah ketika ada orang yang terlihat tersenyum ke arah saya. Ya, karena saya yakin, pasti dia tengah tersenyum kepada orang yang ada di belakang saya. Sama halnya yang sering saya alami saat belum jadi penyiar radio dulu.
So?
Jadi penyiar radio itu enak nggak sih? Silahkan dijawab sendiri-sendiri.
Lah?! Kok malah balik nanya? Ahaha ahihi. :D