WWL atau Weaning With Love (menyapih dengan cinta), memang tidak asing bagi sebagian besar ibu-ibu modern. Kini, dengan bekal ilmu bagaimana menyapih si kecil dengan metode penyapihan ala WWL, banyak dari mereka memilih metode ini untuk menyapih putra/putrinya yang telah lulus S3 ASI.
Mungkin bagi sebagian ibu yang lain akan ragu mempraktikkan metode ini. "Apa bisa sukses ya?"
"Bagaimana kalau dia berontak?"
"Emang dia bisa ngerti kalau dikasih tahu kayak gitu?"
"Apa tidak terlalu lembut kalau nyapih dengan cara itu?"
Beberapa pertanyaan ini sering muncul di benak ibu, menambah keraguannya termasuk juga saya dulu.
Pun begitu, sukses atau tidak nantinya, saya tetap memilih metode WWL untuk menyapih si sulung kala itu. Ya, karena saya tidak setuju dengan metode penyapihan yang biasa dilakukan oleh para orangtua dulu. Alasan pertama, karena membohongi si kecil. Mengatakan 'PD'-nya kena darahlah (karena diberi lipstik), lagi sakitlah (karena dikasih plester), atau ASI-nya jadi pahit (karena diolesi biji mahoni). Kedua, karena itu membodohi. Ketiga, karena memaksa secara sepihak. Dan keempat, saya takut dia justru akan trauma dengan cara pemaksaan ini.
Kunci dari kesuksesan WWL ini adalah ketegasan ibu. Ini kendala umum yang sering dialami oleh para ibu. Ya, karena dia tidak tega akhirnya justru malah molor terus masa penyapihannya. Niat hati dua tahun disapih, sampai umur tiga tahun pun masih ng-ASI. Sounding sih rajin, tapi hanya sekadar sounding tanpa ada ketegasan. "Ya, gimana? Orang kalau dibilangin, dia malah berontak. Nangis terus kalau belum nenen."
Meski menggunakan cinta, bukan lantas kita mengabaikan ketegasan. Tegas bukan berarti galak atau terlalu memaksakan kehendak.
Berikut ini yang saya lakukan ketika saya menyapih anak saya yang pertama.
1. Sounding sejak umur 1 tahun
Saya sudah mulai sounding ke anak saya sejak usianya menginjak 1 tahun. Ini terinspirasi dari artikel seorang ibu yang pernah saya baca. Ibu ini bahkan sudah memulainya sejak usia 6 bulan, ketika si kecil sudah belajar makan MPASI. Saya memutuskan ketika ia berumur 1 tahun, karena di usia ini dia sudah cukup memahami pesan bundanya. Sounding ini semakin sering dilakukan ketika usianya mendekati umur 2 tahun.
2. Kesepakatan bersama yang melibatkan si kecil
Inilah salah satu alasan saya, kenapa saya memulainya ketika dia berumur 1 tahun. Karena proses penyapihan dengan metode WWL harus melibatkan si kecil dalam pengambilan keputusan. Ya, walau saat itu ketika saya pertama kali sounding ke dia sebelum minta nenen, ada reaksi aneh dari mimik muka imutnya. Dia tampak berusaha memahami pesan bundanya. Gurat wajahnya sedikit menunjukkan penolakan. Tapi seiring perjalanan waktu dia akan mengerti.
"Besok Azra kalau sudah umur 2 tahun, sudah tidak nenen lagi lho ya?" Lalu saya ajak dia bersepakat dengan tanda 'tos'.
Saya juga beri pengertian, kalau saat ini sampai 12 bulan ke depan dia masih boleh minta ASI. "Jadi, waktunya masih lama," kata saya setelah menangkap reaksi mimik penolakan. Entah dia sudah paham atau tidak, tapi memberi pengertian ini membuatnya lama-lama memahaminya.
3. Dipadukan dengan metode janji harus ditepati
Ternyata memadukan metode WWL dengan metode 'janji harus ditepati' sangat pas dan mendidik. Saya selalu bilang setiap kali sounding, "Janji lho, ya. Kalau janji harus ditepati." Karena saat itu anak saya belum bisa pakai tanda janji dengan jari kelingking, akhirnya saya pilih tanda 'tos' saja agar lebih memudahkan.
Metode berjanji ini nyatanya manjur sekali saat saya berusaha mengingatkannya kembali setelah usianya dua tahun pas. Saya gencar mengingatkan janjinya. "Azra sudah umur 2 tahun lho. Azra sudah janji sama bunda kalau sudah umur dua tahun berarti sudah tidak minta nenen lagi. Kalau sudah janji, harus ditepati."
Pas umur dua tahun, ketika malam hari setelah seharian tidak minta ASI, dia bangun tengah malam, rewel. Tidak nagih minta ASI sebetulnya. Tapi dia tetap rewel. Dikasih minum susu UHT atau air putih tidak mau. Akhirnya saya terpaksa nyusuin lagi, tapi tetap mengingatkan janjinya.
4. Beri tenggat waktu dengan mengajaknya bermain hitungan jari
Ini penting sekali. Memberi tenggat waktu setidaknya memberi pengertian pada si kecil bahwa waktunya semakin lama semakin berkurang. Sebelum nenen saya juga kasih tahu dia jika waktu tinggal sekian bulan. "Azra boleh nenen, waktunya tinggal 10 bulan lagi lho ya." kata saya dengan menunjukkan kesepuluh jari saya.
Lama-lama dia ikutan menunjukkan jari tangannya menirukan gerakan jari saya. Dan dia sangat asyik saat disounding bundanya setiap kali mau nenen. Bahkan dia sudah hafal sendiri saat bundanya baru bilang, "Waktunya tinggal..." Dia sudah menunjukkan jarinya. Cuman lucunya ketika waktunya semakin dekat, dia malah menambah jari tangannya. Hahaha.
5. Melibatkan Ayah, simbah, tetangga dan teman-teman sepermainan
Saya melibatkan mereka ketika usianya sudah menginjak umur dua tahun. Di luar prediksi saya--yang saya pikir WWL-nya akan gagal karena dia malah makin sering minta nenen saat usianya mendekati dua tahun--ternyata dia menepati janjinya. Ketika dia diingatkan bahwa dia sudah berumur dua tahun, dia sama sekali tidak nagih minta nenen.
Ini jelas mengejutkan saya. Karena sebelum ini, nenennya kenceng banget. Bahkan tiap malam dia selalu bangun 3-4 kali minta nenen. Saya pun awalnya ragu jika WWL-nya akan sukses, sampai bilang gini ke suami, "Ini sebenernya niat disapih nggak sih?"
Agar dia makin ingat dengan janjinya, saya libatkan ayahnya, simbahnya, tetangga yang mengenalnya dan teman-teman sepermainan untuk mengingatkannya juga. Semisal bilang, "Wah, kamu udah dua tahun ya? Berarti sudah nggak nenen lagi dong. Kan sudah besar."
Ketika seharian dia sukses nggak minta ASI, saya libatkan 'para pasukan' ini untuk memuji dan menyemangatinya. Saya sebetulnya kasihan dan tidak tega juga. Dia tampak seperti tersiksa terutama saat dia lagi ngantuk. Tapi dia sama sekali tidak nagih. Ya, walaupun saya harus selalu menemaninya bermain--karena dia akan nangis jika ditinggal--dan menggendongnya saat akan tidur. Pas malamnya pun dia hanya minta dielus-elus kaki dan tangannya dengan diolesi minyak telon dan bedak.
Tapi ujian datang saat tengah malam dia mendadak bangun. Rewel terus. Diberi susu uht atau air putih tidak mau. Digendong tetap rewel. Tidak nagih ASI sebetulnya. Tapi karena terus rewel akhirnya saya susuin lagi sambil mengingatkan dengan janjinya. "Kali ini boleh nenen lagi. Tapi besok, Azra harus berusaha untuk nggak nenen lagi. Kan Azra sudah janji sama bunda. Janji harus ditepati."
Paginya, saya lagi-lagi melibatkan 'para pasukan' untuk menasihatinya. "Lho, tadi malam kamu masih minta nenen ya? Kamu kan udah dua tahun. Masa' masih nenen?"
Malam berikutnya, alhamdulillah dia tidak rewel. Kalau bangun dia mau minum susu uht yang disedot. Saya menghindari mengalihkannya dengan dot kempeng karena dia akan sangat bergantung dengan barang ini ke depannya. Apalagi, dot kempeng akan membuatnya merasa nyaman sehingga konsumsi susu akan berlebihan dari batas maksimal yang disarankan. Lebih-lebih saya masih repot untuk menyapihnya untuk kali kedua nanti. Ya, meskipun dengan cara ini sukses bikin tubuh saya pegal-pegal karena harus gendong dia saat lagi tidur siang atau menemaninya saat bermain.
Inilah beberapa hal yang saya lakukan saat menyapih si sulung dulu. Ini sebetulnya cerita lama, karena usianya kini sudah menginjak 3,5 tahun. Yang jelas, menyapih dengan metode WWL jauh lebih mendidik ketimbang metode turun temurun yang justru malah membodohi si kecil. Apalagi, memaksakan penyapihan tanpa pengertian sebelumnya justru dampaknya akan tidak baik ke depannya. Mungkin timbul rasa trauma atau si kecil justru menyangsikan kasih sayang kita. Atau bahkan kita justru menyisipi kebohongan karena kita membohonginya dengan mengatakan 'PD' sakit, berdarah, pahit dsb.
Si kecil kita anak yang pintar, moms. Jangan anggap mereka hanyalah sosok mungil yang dengan mudahnya kita bohongi. Berilah pengertian, dan lihat, betapa mereka mampu memahami pesan kita meski belum lancar berbicara. Semoga bermanfaat.