Tampilkan postingan dengan label Pernikahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pernikahan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 25 Oktober 2016


Sumber gambar : pixabay

Beberapa waktu lalu saya dibuat penasaran saat seorang teman mengunggah foto di instagram yang juga dibagikan di Facebook. Dari caption foto tersebut membuat saya bertanya-tanya sendiri, meski sejujurnya saya nggak terlalu ngeh juga. Ya, karena dia menyebut dirinya adalah a girl, not a woman. Inilah yang membuat saya mengernyitkan kening, "Bukankah dia ini sudah menikah? Apa aku yang salah menduga atau hanya gagal paham?" tanya saya dalam hati.

Seingat saya dia memang sudah menikah. Tapi? Kok saya jadi sangsi sendiri. Selama ini saya memang belum pernah melihat dia posting foto bersama suaminya. Padahal dia juga sering mengunggah foto dirinya di media sosial. Kalau dia memang sudah nikah, masa' iya nggak sekalipun unggah foto dengan suami? Mungkin lain cerita kalau itu saya yang memang tidak pernah unggah foto pribadi di Facebook.

Karena penasaran, saya sambangi kronologinya. Ya, kali saja saya hanya salah mengira kalau dia sudah menikah, padahal nyatanya belum. Saya baca komentar yang masuk, ternyata ada yang komentar, nunggu undangan. Ah, berarti memang belum nikah, batin saya. Saya pastikan lagi untuk ngecek di bio-nya. Status lajang.

Clear? Lagi-lagi, saya belum yakin. Karena dalam ingatan saya, dia pernah ngasih tahu kalau dia mau menikah. Saya tanya seorang teman yang jadi rekan kerjanya di kantor.

"Emang dia sudah menikah kok, mbak." tulisnya di WA.

Ah, iya. Saat itu juga saya ingat kalau dia pernah ngundang saya untuk datang ke resepsi pernikahannya. Dasar otak emak-emak yang gampang lupa. Hihihi. Sejauh ini saya husnudzon, mungkin dia belum sempat mengubah status dari single menjadi married, karena sibuk kali ya (walau nikahnya udah hampir dua tahun lalu :D)

Mengapa Harus Menyertakan Status 'Married' di Media Sosial?


Ini penting sekali lho. Saya sarankan bagi yang sudah menikah untuk mengecek di profil socmed-nya masing-masing. Sudahkah mengganti statusnya dari lajang menjadi menikah? Jangan-jangan belum karena nggak sempet ngedit profil? Atau sudah diubah tapi statusnya nggak ditampilin di profil? Hanya di-private? Mulai sekarang, tampilkan status bahwa kita sudah menikah. Jangan diumpetin karena dampaknya bisa nggak baik.

Inilah alasan mengapa kita yang sudah menikah untuk menampilkan status 'married' di media sosial.

1. Nanti ada yang naksir, gimana?

Ini cerita dari seorang teman. Kala itu dia dibuat penasaran dengan sebuah artikel yang mampir di inbox-nya yang dikirimkan oleh seseorang lewat grup facebook. Hanya membaca artikel itu, ia sudah dibuat terkesan oleh penulisnya. Ia berusaha mencari tahu siapa penulisnya. Singkat cerita, ia menemukan siapa penulis aslinya.

Ah, ternyata dia adalah orang yang dikenalnya beberapa waktu sebelumnya karena terlibat dalam kegiatan yang sama. Tapi satu pertanyaan besar muncul, "Dia masih single atau sudah menikah?" Di Facebook pun, dia tidak menampilkan status lajang atau married. Sampai akhirnya, dia benar-benar tahu saat ada teman memberitahunya bahwa dia memang sudah menikah.

Hm, padahal diam-diam sudah naksir. Hihihi, karena sudah nikah ya nggak jadi. :D


Yep, inilah salah satu alasannya. Kalau kita nggak nampilin status 'married', boleh jadi akan mengundang mereka yang masih jomblo naksir ke kita. Apalagi jika kita juga hobi unggah foto sendirian tanpa pasangan di media sosial. Bahkan postingan kita pun juga terlihat seperti masih lajang dan tidak menunjukkan bahwa kita sudah berkeluarga.

Mungkin bagi sebagian besar orang memang memilih tidak ingin membawa hal pribadi di media sosial. Tapi kalau dia sendiri ngeksis sendirian di socmed, sementara dia sudah berstatus 'married', apa ini nggak berbahaya? Kalau memang tidak ingin membagi kehidupan pribadi, minimal tunjukkan status di bio bahwa dia sudah menikah. Atau seperti yang saya sering lakukan, ketika saya berbagi status di Facebook, saya akan beritahukan bahwa saya adalah seorang emak erte yang menunjukkan bahwa saya sudah menikah. Meski saya sendiri di Facebook tidak sekalipun mengunggah foto bersama suami, tapi lewat cerita dalam status itu orang-orang jadi tahu bahwa saya sudah menikah.

Kasihan lho kalau ada orang yang diam-diam naksir lalu dibuat patah hati karena yang ditaksir ternyata sudah menikah. Atau jangan-jangan justru itu yang diharapkan? Hadehhhh, kok gitu?!

Sumber gambar : pixabay

2. Mencegah dari orang-orang yang iseng dengan kita

Kalau kita menunjukkan status 'married', setidaknya ini akan aman dari orang-orang yang hendak iseng dengan kita di media sosialnya. Ya, meski geng ngiseng tetap ada sekalipun kita sudah memperlihatkan bahwa kita sudah menikah. Paling tidak, kita berusaha mencegahnya. Selain itu, tetap jaga sikap terutama dengan mereka yang laki-laki karena jika terlalu akrab atau berlebihan bisa menimbulkan fitnah.

3. Orang mungkin akan berprasangka buruk, "Jangan-jangan pernikahannya bermasalah?"

Ya, boleh jadi bagi mereka yang tahu bahwa kita sudah menikah, akan berprasangka buruk, hingga menduga-duga sendiri karena mengira kehidupan rumah tangga bermasalah. Padahal boleh jadi memang baik-baik saja.

Lain jika kita membagi status sederhana semacam, "Sekalinya pingin martabak, eee...suami pulang kerja bawa martabak manis. Makasih ya, suamiku. Tanpa diminta sudah dibeliin. :-)" Status macam ini nggak pamer lho. Setidaknya, dia menunjukkan bahwa hubungan dengan suaminya baik-baik saja. Dia juga memperlihatkan kebaikan suami. Kalau dinilai pamer, ya itu sih terserah mereka mau menilai gimana. Ketimbang nyetatus curcol ngeluh mending kan ekspos kebaikan pasangan. Lak iya tho? :)

4. Sengaja menutupi status pernikahan apalagi mengaku single, akibatnya bisa fatal

Kalau sudah menikah kok ngaku masih lajang meski sekadar status relationship di media sosial jelas akibatnya bisa tidak baik, bahkan fatal. Ya, karena banyak sekali dari mereka yang iseng pasang status masih single, niatnya mungkin bukan ingin selingkuh, melainkan biar kelihatan muda dan keren. Padahal, ini jelas sudah bohong namanya. Meski hanya sekadar iseng, bohong bentuk apapun tetap dilarang dalam Islam  Hanya becanda saja dilarang, apalagi iseng bahkan sengaja menutupi status pernikahan di media sosial karena ada hati dengan yang lain. Na'udzubillah min dzalik.

Saya juga menyunting status menikah di profil Facebook.

Saya pernah baca tulisan teman di Facebook, saat itu dia bercerita ketika ada seorang laki-laki (yang sebetulnya sudah menikah), tidak mencantumkan status 'married' di Facebook. Di media sosial, dia berkenalan dengan seorang perempuan yang masih lajang. Awalnya hanya sekadar berteman, sampai mereka semakin dekat. Benih-benih cinta pun tumbuh pada si perempuan tadi. Sampai akhirnya si perempuan tahu jika si laki-laki sudah menikah. Dia kontan meluapkan amarahnya, kenapa tidak bilang dari awal jika dia memang sudah menikah.

"Aku nggak bermaksud bohong. Aku takut jika kamu tahu aku sudah menikah, kamu nggak mau temenan sama aku," ungkapnya.

Ah, tetap saja ini dilarang. Berteman dekat dengan laki-laki yang bukan mahram, baik yang masih lajang atau bahkan sudah menikah tentu dilarang dalam agama. Hubungannya bisa mengarah ke taqrobuzzina (mendekati zina). Hanya sekadar menjalin silaturahim sesama rekan kerja, mantan teman kuliah, sekolah dsb, dengan tetap menjaga sikap dan menjaga hati, tentu tidak mengapa. Tapi kudu diingat juga, jangan ada modus di balik silaturahim. :)

Tuh, kan? Ternyata akibatnya bisa nggak baik kalau kita tidak menampilkan status relationship di media sosial. Mulai sekarang, cek profil socmed kita. Sudahkah mengganti status dari lajang menjadi 'married'? Jangan lupa juga untuk men-settingnya menjadi publik agar orang-orang tahu bahwa kita sudah menikah.

Selasa, 10 Mei 2016

Sumber gambar: Annida online

Sebetulnya suami yang shaleh itu tidak akan menuntut istrinya selalu tampil mempesona (secara fisikly) di depannya kok. Betul atau bener, suami? Maaf, kalau ngarang. :D

Ya, dia maklum betul dengan kondisi istrinya ketika ia sudah dibuntuti bocil-bocil. Betapa waktunya habis untuk mengurus rumah tangga dan si bocils yang selalu beredar kemana-mana. Jangankan memoles wajah, baginya, bisa mandi dua kali sehari saja sudah perawatan tubuh paling luar biasa. Malah, ada juga yang mandinya cuman sekali doang. Ini karena nggak sempet atau males? :p

Jadi, buat dia, meski istrinya bau terasi, bau ASI, bau karbol, bahkan bau ompol, sosoknya tetaplah mempesona baginya. Uhuk. Ehem. (Yang nulis bangun dulu!)

Eh, ini beneran tau! Kenapa istri jadi terlihat mempesona, pun dalam keadaan seperti ini, tentu ada sebabnya dong! Makanya, ist, jangan jadi istri nyebelin deh!

Kayak gimana istri yang nyebelin itu?

Satu, terlalu baper. Sedikit-sedikit sakit hati. Kesinggung sithik langsung air matanya menitik. Bahkan, suami maksudnya becanda, reaksinya malah dikira nyakitin beneran. Disakitin sekali, diingatnya sampai berkali-kali. Seolah suaminya selalu nyakitin, padahal dia sendiri yang terlalu baper.

Dua, cerewet biyut! Ada banyak hal yang dilakukan suami terkadang dianggap nyeleneh bagi istri. Seolah yang dilakukan itu tidak berguna. Sementara masih banyak pekerjaan lain yang lebih penting (menurut istri) yang harus segera dikerjakan. Bayangkan, apa reaksi istri ketika di lantai tersebar alat elektronik padahal dia bukan tukang reparasi barang elektronik atau sekadar benahin alat elektronik yang lagi rusak? Saat itu, saya bilang gini ke suami, "Andai istrimu bukan saya, pasti dia ngomelin njenengan lho!" Tak lama kemudian, ada seorang ibu mampir, melihat ada banyak potongan kabel disana-sini, dia langsung komentar gini, "Itu lagi ngapain? Aduh, nggak penting!" Setelah pergi saya ngelirik ke suami, "Tuh, kan!"

Tiga, sok pintar. Ini juga ciri istri nyebelin. Suami itu pemimpinnya istri. Walaupun 'S'-nya istri setingkat lebih tinggi ketimbang suami, tapi jangan merasa sok lebih pintar. Namanya juga sok, pasti ada bibit sombongnya. Nyampeinnya jelas dengan nada sengak bin meremehkan. Meski pendapatnya lebih oke, sampaikan itu dengan bijaksana. Jangan nyolot kalau ternyata pendapatnya tidak diterima.

Empat, komentator sok tahu. Gimana suami mau terbuka dengan kita? Sekali dia curhat masalah pekerjaan di kantor, istri dengan sok tahu malah ngomen yang bikin mood makin buthek, "Lha njenengan itu emang orangnya nggak cepat kalau ngerjain tugas, pantas saja bos marah!" Aih, kalau curhat dikomentarin kayak gini, nyebelin banget tau! Mending curhat di sosmed. Hoaaaa?!!! *melongo*

Lima, suka nuntut lebih. Padahal kewajiban suami menafkahi istri itu sebatas yang dia mampu. Kalau dia mampunya beli makanan di warteg, masa iya istri nuntut makan di pizza h**? :D

Enam, demen ngeluh. Sakit dikit,  ngeluh. Capek dikit, ngeluh. Beuh, lama-lama suami jadi hobi korek-korek kuping (hihi, apa hubungannya? :D ).

Tujuh, nggak pandai bersyukur. Selalu merasa kurang, kurang, dan kurang. Awas, nubruk karang! :D

Delapan, nggak bisa menghargai usaha suami. Kerja keras suami dianggap remeh karena merasa dirinya bisa mengerjakannya sendiri. Nggak beneran dikit, langsung ngomel-ngomel. Pffff...

Mau istrinya secantik apapun, kalau dia punya delapan dari yang saya sebutkan diatas, kecantikannya akan berasa blur di mata suami. Iya apa iya, suami?

Lain jika istrinya free dari ciri istri nyebelin diatas. Apalagi dia dilengkapi dengan pribadi yang murah senyum, bisa memahami, mengerti dan menghargai suami. Tanpa dipoles apapun, dia akan tetap terlihat adem bagi suami. Ihir.

Lebih-lebih jika istrinya juga merupakan sosok yang ceria dan humoris. Makin meriahlah hari-harinya. Yang tadinya besengut dengan kerjaan di luar rumah, begitu ketemu istrinya langsung sumringah. Bonusnya lagi, istri juga asyik kalau diajak sharing. Bener-bener paket komplit deh kalau punya istri macam ini.

Tentu, merawat diri, memoles agar terlihat cantik di depan suami, jelas lebih baik. Tetapi, sekali lagi, dia bisa memakluminya jika melihat kerepotan istri mengurus anak-anak dan rumah tangga. Lagian ya, pribadi istri yang banyak senyum dan ceria biasanya dia terlihat lebih segar meski tampil natural (emang iya? :D). Istri seperti ini akan terlihat awet muda, meski minim perawatan (masa sih?).

Udah. Selesai sampai disini. Entar ndak kebanyakan ngayal. Yang murah senyum, yang ceria, yang humoris nanti ndak pada melayang ke udara. Emang balon? Iya, kan sekarang body-nya udah melar kayak balon. *ngacir* :p

Selasa, 26 April 2016


Mustahil dalam rumah tangga itu tidak ada cekcok, adu pendapat, selisih paham dan sebagainya. Pasti ada lah ya. Namanya juga menyatukan dua insan yang berbeda baik secara sifat, sikap maupun pemikiran. Kalau toh rumah tangga yang dibina terlihat adem ayem loh jinawi, saya pikir, yang membedakan adalah karena mereka bisa menyikapi segala perbedaan itu dengan bijaksana. Bukan es gois dibalas es gois. Hehehe.

Pernah dulu ada yang nanya di kajian Ahad Pagi. Suami istri berseteru sampai saling ngeludah. Aduh, mak, serius amit! Betewe, udah sikatan belum? :p

Ahad pagi kemarin juga banyak yang curhat, dalam pertanyaan tertulis, soal kondisi rumah tangga mereka. Ada yang suami istri berselisih, saking kebawa es mosi, suami sampai mukul istrinya hingga akhirnya nyeletuk bilang, "cerai!". Jeduarrrrrr!!!!

Setelah amarahnya mereda, suami baru menyesali tindakannya memukul istri, apalagi dia sampai keceplosan dengan satu kata sakti yang bisa merobohkan bangunan pernikahan. Kasus seperti ini bukan satu dua terjadi, melainkan banyak!

Kalau kita pikir-pikir, sebetulnya masalah keluarga itu bermula dari yang sepele lho. Dulu saya pernah berkata, masalah semungil pasir saja bisa berubah ala kesatria baja hitam (#eh) menjadi sebiji kerikil tajam yang siap nyubit telapak kaki kita. Atau dia bahkan bisa berubah menjadi sebongkah batu ukuran sedang yang siap membuat kaki tersandung hingga jatuh tersungkur. 

Inilah rumah tangga. Jika kedua belah pihak gagal menyikapinya dengan kepala dingin, es gois vs es gois, selalu merasa benar etc...siap-siap ada batu jatuh dari gunung. :D

Ayat ini pas banget sebagai pengingat kita kalau lagi kepengen marrrrah-marrrah. "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya..." (QS. Ali Imran 133 - 134)

Kalau suami/istri lagi marah-marah, yang pikirannya lebih longgar ya tidak perlu ikutan marah-marah. Biarkan dia meletupkan es mosinya barang sejenak. Kalau perlu digodain, "cieeee...marah ya? Senyum kek, kakek!" wkwkwk. Atau niruin gaya marahnya dia yang lebih ekspresif lagi. Dijamin ngekek. :D

Nggak ngekek? Malah tambah marah? Hm, itu artinya karena selama ini hubungan yang dijalin semua serba dibikin serius. Nggak pernah saling bergurau. Seolah hubungannya kayak air dan minyak, berdampingan tapi tidak bisa bersatu. Padahal meski berbeda, mereka bisa menyatu andai ada sabun disana. Sabun disini kalau yang lebih gamblangnya adalah agama (Al-qur'an dan Sunnah Rasul).

Makanya, hubungan suami istri itu jangan terjalin kaku bin kelu ala bahasa baku. Mereka yang kaku sebetulnya bisa kok jadi fleksibel, pinter-pinternya kita menjalinnya gimana. Ya, kuncinya memang, saling memahami dan mengerti saja sih.

"Hadehhhh...aku udah berusaha ngertiin dia, tapi apa balasannya? Dia gak pernah ngertiin aku...."

Hehehe, iya sih. Tidak mudah membuat hubungan suami istri yang saling memahami dan mengerti. Tapi konsekuensi dari hubungan ini adalah kita harus bisa menjadi yang pertama untuk memulainya dan jangan sekali-kali mengharap balasan serupa dari pasangan kita. Apalagi suami yang nota bene adalah makhluk paling tidak tanggap dengan perasaan wanita. Tidak tanggap bukan berarti tidak perhatian lho ya.

Lebih baik istri terbuka saja. Jangan ngarep suaminya peka dengan perasaan istri. Kalau ada yang tidak disuka dengan perlakuan suami, mending katakan saja baik-baik. Jangan senjatanya cuman besengut doang, biar suami yang paham sendiri. Sikap terbuka istri untuk mengeluarkan unek-unek hatinya ini juga salah bentuk saling memahami dan mengerti lho. Yang jelas, istri jangan gampang baper disini. Bukan cuma istri yang ingin dimengerti, tapi tabiat suami juga pengen dipahami.

Kalau ini bisa terjalin dengan baik, insyaAllah hubungannya tidak akan seperti mereka yang saya sebut diatas. Kalau lagi marahan, paling hanya saat itu, lalu baikan lagi. Atau malah di tengah ngomel-ngomel dia ketawa karena suami/istrinya godain. Kalau lagi kesel dengan sikap pasangan yang ngeyel saat selisih paham, bukannya marah-marah, malah jadi gemes-gemes nyebelin. Hahaha.

Makanya, dibawa santai sajalah. Jangan dibikin spaneng. Okay...

Suami juga seharusnya berbenah diri, menata hati. Bagaimanapun kalian adalah pemimpinnya keluarga. Jika setiap masalah selalu dihadapi dengan marrrrah marrrrah, entar cepat tua lho! Kalau dulu saya pernah nyetatus di Facebook soal istri yang dikira ibunya suami, kalau keadaannya kebalik gimana? Mau? :p

Padahal kalau lagi marrrrah-marrrah, ngomongnya jadi asal njeplak. Nyeletuk cerai, baru menyesal kemudian. Diajak rujuk, istrinya terlanjur sakit hati. Jadinya, horaaa sudi! :)

Ingatlah, suami, kalian memegang amanah yang sedemikian besar, sebagaimana Allah firmankan dalam QS. At-Taĥrīm ayat 6 yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..." 

Kalau suami labil, keluarga yang dibina bakal jadi apa hayoo? Jawab sendiri-sendiri. PR di rumah yak! :D

*repost status fb :D
*sumber gambar : google

Minggu, 17 April 2016

Menanti memang butuh kesabaran. Tak mudah melewati masa-masa ini. Kita yang terus dibombardir dengan pertanyaan kapan, kapan dan kapan, serasa seperti ketusuk duri, andai membawanya sampai ke hati. Desas-desus orang di belakang, bahkan sampai omongan miring seakan menambah rasa sakit itu.

Kita ingin menutup telinga, mengunci rapat hati agar tak sampai sakit hati, nyatanya itu sulit ditunaikan. Kita berusaha kuat, mencoba untuk tegar, tapi cibiran mereka benar-benar menyesakkan. Seperti sebutan perawan tua, mandul, atau apalah itu.

Inilah sesungguhnya ujian penantian itu, ujian yang mengocok-ngocok kesabaran kita. Dulu saya pernah menulis sebuah artikel berjudul, "Ujian Kesabaran Ibarat Menanti Hujan Reda". Saya terinspirasi dari postingan teman di Facebook saat ia menanti hujan reda usai shalat shubuh di masjid karena tidak membawa payung.

Menunggu saat menanti hujan reda jelas menyebalkan. Kita bahkan tidak tahu sampai kapan hujan akan reda. Jika nekat, akan basah kuyub. Jika menunggu, mau sampai kapan?

Andai tak sabaran, mungkin kita akan memaki hujan. Kenapa turun hujan di pagi buta? Mengapa tiba-tiba? Bahkan sebelumnya langit tidak tampak digelayuti mendung?

Ah, apa salah hujan turun tiba-tiba? Dia datang atas perintah-Nya untuk membasahi bumi. Tak peduli manusia menolak atau mencoba mendikte kapan datangnya. Karena dia patuh pada perintah-Nya, Allah SWT-lah yang telah menciptakannya, bukan manusia.

Sesungguhnya hujan itu adalah rahmat dari-Nya. Allah berfirman dalam QS. Al-A'raaf 57 yang artinya, "Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan)..."

Dalam Surat lain Allah juga berfirman, "Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak..." (QS. Al An'aam 99)

Dengan hujan, tanaman akan tumbuh lebat hingga menghasilkan buah di kemudian hari. Tanpa hujan, makhluk di bumi akan mati. Itulah sesungguhnya buah dari kesabaran. Allah berfirman, "Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl 96)

Kembali pada postingan teman yang menunggu hujan reda selepas menunaikan shalat shubuh di masjid. Andai dia mau bersabar, dia akan masuk ke masjid, memanfaatkan waktu menanti ini dengan qiroah, berdzikir, membaca buku yang ada disana dan sebagainya. Jika masih hujan, dia keluar, menikmati hujan, bermain-main sebentar dengan menengadahkan tangan sehingga rintik-rintiknya berloncatan di telapak tangan. Lalu dia merenung, memahami kekuasaan-Nya. Hingga tanpa terasa, hujan akhirnya reda juga. Dia pulang ke rumah tanpa basah kuyub, dengan oleh-oleh ilmu luar biasa dari penantian tadi.

Lain halnya jika dia gagal bersabar. Dia terus menggerutu. Khawatir jika hujan tak kunjung reda. Serasa lama. Karena tak sabaran, dia nekat menerebos derasnya hujan. Padahal rumahnya lumayan jauh. Dia rutuki nasibnya karena baju basah kuyub, kaki penuh pasir, kedinginan dan sebagainya. Dia makin memarahi hujan karena tak jua berhenti.

Begitulah gambaran dari penantian itu. Tinggal kita memilih terus bersabar atau merutuki nasib?

Saya juga pernah berada di posisi penantian yang mengubek-ngubek kesabaran, menunggu jodoh dan menanti buah hati. Saya tahu bagaimana rasanya berada di posisi ini. Mereka terus bertanya kapan, padahal kita tidak tahu jawabannya. Mereka kepo bertanya, "Udah isikah?". Kita hanya bisa menjawab ngocol, "Isinya ada banyak..." Lengkap dengan senyum yang sedikit dipaksakan.

Saya selalu percaya, Allah akan mempertemukan kita dengan jodoh di waktu yang tepat, menurut-Nya. Pun dengan hadirnya buah hati. Ketika Ia menilai kita siap, pantas, dan layak bertemu dengan seseorang yang dinanti, saat itulah Allah datangkan ia pada kita. Mungkin kita menilai telah siap dan pantas, tapi belum tentu menurut-Nya.

Andai saya menikah empat tahun lebih awal, bisa jadi saya kesulitan mencintai suami karena saat itu saya masih terkungkung dalam pemahaman cinta yang salah kaprah. Andai saya nekat nikah tiga tahun lebih awal, ketika itu saya masih gamang menatap pernikahan. Andai saya menikah dua tahun lebih awal, boleh jadi saya akan menjelma menjadi ibu-ibu penggemar sufor dan hobi nyekokin anak dengan aneka junkfood. Andai saya menikah setahun lebih awal, mungkin saya akan meninggalkan anak-anak untuk bekerja di luar rumah.

Sungguh jalan-Nya sangat indah, teman. Saya tidak pernah berdoa untuk disegerakan jodohnya, tetapi jika saya dinilai oleh-Nya telah siap, pantas dan layak untuk menjadi istri, saya mohon kepada-Nya untuk mempertemukan saya di masa itu. 

Selama masa penantian itu, Dia banyak memberi petunjuk kepada saya. Dia tempatkan saya pada profesi yang kelak bisa jadi bekal saat menikah nanti. Saya siaran gizi bersama narsum sekaligus sahabat di bidang gizi. Saya juga jadi redaktur majalah yang mengharuskan saya membaca semua naskah yang masuk. Saya menulis belasan halaman di setiap edisinya. Karena profesi ini, saya harus rajin membaca, menggali ilmu lebih banyak lagi.

Setahun sebelum menikah, saya dihadiahi oleh Allah sebuah kecelakaan. Karena kondisi kaki yang belum stabil, untuk sementara saya tinggal di asrama. Niatnya sebetulnya hanya sementara, tapi karena ada banyak pelajaran berharga disana, saya bertahan sampai menikah. 

Di asramalah, saya mengenal banyak karakter anak-anak asrama. Menyadarkan saya, betapa ibu sangat berperan penting dalam pendidikan anak-anaknya. Karena inilah, saya harus bersama anak-anak kelak.

Pun, dengan hadirnya buah hati. Allah sedikit menunda memberi amanah buah hati, karena Ia ingin memberi kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan amanah pekerjaan yang belum maksimal ditunaikan. Karena saya sudah berazzam, jika saya jadi ibu, saya akan resign. Saya juga diberi kesempatan untuk belajar menjadi ibu, sedikit lebih lama lagi, sebelum saya benar-benar dipercaya menjadi ibu.

Karena pernah di posisi ini, saya jadi lebih memahami mereka yang dalam masa penantian. Biarpun tidak kenal, biasanya saya akan mendoakan mereka dalam diam. 

Inilah hikmah di balik penantian itu. Percayalah, meski terasa getir, sesungguhnya ada kebaikan di sana. Karena Dia tahu yang terbaik bagi kita, untuk yang lalu, saat ini, dan juga nanti.

Jumat, 15 April 2016

Sumber gambar : google
Bersyukurlah, suami. Di sampingmu sudah ada istri yang mengerti bagaimanapun keadaanmu. Dia tidak menuntutmu melebihi kemampuanmu. Dia ikut prihatin ketika hidupmu masih terseok-seok di dasar lembah.Mendapatkan istri seperti ini, itu anugerah lho, suami.Dari seribuwanita di muka dunia, belum tentu kamu mendapatkan satu diantara mereka istri macam ini.

Saya ingat obrolan rekan kerja ketika saya masih bekerja beberapa tahun lalu.

"Aduh, coi, aku kasihan sama si fulan itu,"katarekan bertubuh tambun itu.

"Emang kenapa dia?"tanya saya mewakili teman yang lain.

Dia senderan di kursi putar. "Aku kemarin mau nagih utang ke dia, tapi gak tega. Dia belum gajian. Aku lihat dia makan pake telur goreng sebutir dipotong dua sama istrinya.Bayangin, coi. Gimana perasaanmu?"ungkapnya dengan gaya ekspresif, khasnya.

Mungkin bagimu, ini hal biasa. Berbagi sebutir telur berdua malah romantis. Behehehe. Tapi ini bukan soal biasa atau romantis, ini tentang istrimu yang memahami bagaimanapun keadaanmu, brothers.

Dia tak mengapa meski tinggal di rumah kontrakan sempit nun dekil yang bahkan uang sewanya saja hasil bantuan teman baik yang meminjamimu tanpa tenggat waktu. Dia bahkanbahagia meski diajak tinggal di dalam kios yang sudah sesak oleh barang dagangan.

Dia tidak menuntutmu melebihi keadaanmu. Setiap teman-teman facebooknya memajang baju, jilbab, tas atau apapun barang dagangan mereka di lapak online, dalam ciut hati, sesungguhnya ia kesemsem dengan salah satunya. Tapi, godaan itu ia tahan karena diaingat dengan keadaanmu.

Padahal sebelum bersamamu, kehidupannya tidak seperti ini. Dia hidup berkecukupan, tinggal di rumah besar yang layak huni. Sementara denganmu?

Beberapa diantara mereka, atas ijinmu, ikut bekerja, membantumu menopang kebutuhan keluarga. Punbekerja, dia tidak mengabaikan anakmu. Dia jualan makanan, bawa bronjong, sambil gendong anak. Dia ngojek, sambil gendong anak. Ngajar,sambil gendong anak. Bahkan, manggul rumput untuk pakan ternak, sambil gendong anak. Ah, sungguh istri-istri macam ini amat langka jumlahnya, suami. Muliakanlah dia. Sayangi dan kasihi dia, suami.

Istrimu memang bukanlah sosok yang sempurna. Sekali dua kali mungkin dia lelah dengan pengertian ini. Mungkin dia sedikit iri dengan keadaan teman-temannya yang menikah dengan pria mapan secara finansial. Mengertilah, suami, perasaan ini wajar. Jangan kau sebut ia sebagai istri yang kufur.

Tanggungjawabmulah membimbingnya, terutama ketika ia sedang lengah sehingga mudah terbisiki syaitan seperti ini. Mungkin kilauan perhiasansedikit menyilaukan matanya, tetapi perhatianmu jauh lebih ia dambakan. Dia butuh semangatmu, dia nanti dekapanmu.

Dalam perjalanan waktu, istrimu mungkin tak secantik semasa single dulu. Tubuhnya semakin melar, kulitnya sedikit kusam. Bahkan seiring pertambahan usia, muncul guratan halus di sudut matanya.

Sementara kehidupanmu sudah jauh lebih mapan ketimbang dulu. Kau bahkan kini menempati jajaran petinggi di kantormu. Penampilanmu makin necis, dengan tatanan rambut klimis dan pakaian rapi.

Kau mungkin jenuh dengan keadaan istrimu yang tidak sesegar rekan kantormu. Hatimu bisa saja tergoda hingga tanpa sadar tertaut dengan salah satu diantara mereka. Sosok gadis manis dan ceria yang diam-diam menggelayuti sebagian hatimu.

Beruntung, Allah menjaga hatimu. Gadis yang kau taksir dalam diammu bukanlah sosok perempuan penggoda. Dia gadis shalehah yang menjaga hatinya untuk yang layak menghuni.

Andai istrimu tahu, jelas ia akan cemburu. Mungkin ia akan kecewa saat tahu kau tergoda olehnya. Kau, yang istrimu berusaha untuk mengerti keadaanmu saat masih terseok-seok dulu.

Maka, jangan lupakan ia yang telah memahami dan mengerti bagaimanapun keadaanmu, ketika merintis dari bawah kala itu, suami. Dia selalu ada bersamamu, sesulit dan segetir apapun kehidupanmu.

Jangan lupakan ia, istrimu yang berada di balik kesuksesanmu kini. Ia yang telah berkorban banyak untuk membantumu. Ia yang ikut prihatin dengan keadaanmu. Dan ia yang telah melewati suka maupun duka bersamamu, bertahun-tahun yang lalu.

Senin, 23 November 2015

Inget cerita "Finding Husband" yang banyak diposting di grup-grup kajian Islam beberapa waktu lalu gak nie? Istri sampai gak ngenali wajah suaminya karena beberapa (bulan atau minggu ya? Lupa ikh...) terpaksa harus LDR-an selepas menikah. Nah, inilah salah satu uniknya menikah dengan yang belum dikenal. Hehe.

Nikah dengan yang belum dikenal itu emang gak banyak pengikutnya. Was-was kalau dia nanti begini atau begitu kayaknya jadi alasan kenapa jombloers ogah nikah dengan yang belum dikenal.

Wajar sih ya, kalau kita was-was, khawatir. Saya sendiri dulunya juga sempat didera perasaan kayak gini. Apalagi saya yang kepalanya terisi banyak ilmu (wuissshhh padahal cuma secenthong ilmunya :p), tingkat kekhawatiran saya sudah merambah dari yang level paling error sampai horor.

Tapi kalau segala sesuatunya kita serahkan kepada Allah, insyaAllah Dia redam rasa was-was itu. Dia tunjukkan betapa pribadinya tidak seperti yang kita khawatirkan.

Saya dan suami walau sebelumnya tidak saling kenal, alhamdulillah tidak perlu waktu lama untuk menjalin hubungan yang tidak kaku. Bahkan kami cepat sekali menyatu seperti seorang sahabat. Sahabat hidup tepatnya. Mungkin karena faktor istrinya kali ya, yang suple dan gampang bergaul (hahaha ini emak pede nian cuinnn...).

Yang jelas, di balik 'horor'-nya nikah dengan yang belum dikenal, terselip cerita unik dari mereka. Selain 'Finding Husband', banyak juga dari mereka yang gak hafal jalan pulang menuju rumah suami. Alhasil tersesatlah kemudian. Kayak saya.

Sore itu, saya belokkan motor ke sebuah gang. Beberapa meter perjalanan, saya berhenti. Gak yakin kalau ini jalan yang biasa dilewatin pas diantar suami.

Saya balik arah, kembali ke jalan utama. Motor terus digeber lurus. Sampai pada tugu masuk kampung, saya belok mengikuti arah jalan.

Shhhhttt. Motor mendadak berhenti. Sengaja direm. Pandangan saya mengitari. Asing.

Lagi-lagi saya balik arah. Tiba di pertigaan dekat tugu, saya parkir motor pinjaman kantor itu di pinggir jalan.

Bingung. Berusaha mengingat tapi nihil. Bertanya? Ah, yang ada saya malah diketawain. Masa iya saya nanyain, "Dimana rumah suamiku?" Alamat saja saya tahunya hanya kecamatan dan kabupaten.

Pffff...saya membuang napas pasrah. Apa boleh buat, terpaksa minta dijemput suami. "Aku tersesat. Pick me up... :(" tulis saya kala itu yang sukses terkirim ke nomor suami.

Dia balik membalas, bertanya dimana saya karena tidak menerangkan tempatnya. Kontan saya menulis pesan balasan dimana tepatnya saya berada.

Sembari menunggu jemputan, saya duduk di pinggir jalan dekat sawah. Dua mata saya melirik ke samping. Ada kakek yang tengah mencangkul sisa akar pohon yang sudah ditebang. Tangan saya sontak mengeluarkan hp. Sang ibu jari sibuk memencet, memotret berbagai gaya si kakek mencangkul.

Tak berapa lama, motor berwarna merah itu menyembul dari kelokan jalan. Saya berjingkat sumringah. Dari kejauhan terlihat jelas, dia tertawa geli. Saya cuman bisa nyengir, malu-maluin. Hahaha.

Yah, inilah istrimu yang bisa mengingat setiap jengkal peristiwa penting, bahkan sampai warna pakaiannya, tapi paling dedel duel kalo ngapalin rute jalan, nama jalan sampai nama orang. Hehehe.

Inilah salah dua, uniknya menikah dengan yang belum dikenal. Ada cerita unik lainnya mungkin? :)

Sumber gambar : Cyberdakwah

Senin, 09 November 2015

Meski kita sudah mantap menerima pinangan seseorang, bisa jadi kita akan diuji dengan keadaan yang terkadang membuat keikhlasan kita sedikit goyah. Terselip pula sebetik penyesalan, andai kita menunda menetapkan pilihan.

"Kamu tahu si A itu?"
"Kenapa?"
"Dia berniat melamar kamu lho! Tapi karena kamu sudah keduluan dilamar orang lain, dia terpaksa mengurungkan niatnya."

Si A adalah teman SMA yang kita kenal yang kini sukses merintis bisnis rental mobil. Bukan hanya si A saja yang hendak meminang rupanya. Ada si B, seorang dosen muda di universitas negeri yang juga kita kenal (meski tak mengenal lebih detail). Ada pula si C, yang merupakan praktisi kesehatan.

Selain mereka, sosok-sosok yang sebetulnya punya niat untuk meminang--tanpa pernah mencoba mendekati lewat jalan ilegal-- ternyata baru bermunculan selepas kita memantapkan pilihan. Padahal sebelum ini, kita sempat dibuat bingung saat orang tua bertanya, "Apa kamu sudah punya calon? Jika sudah ada, suruh dia ketemu sama bapak."

Kita bahkan menunda-menunda mengirimkan profil/proposal ke pimpinan karena berharap bisa bernasib seperti mereka: tanpa menyetor profil, tahu-tahu sudah datang lelaki shaleh yang melamar. Tapi nyatanya, ditunggu-tunggu tak jua ada. Satupun tak ada. Sementara pimpinan terus bertanya, mau sampai kapan nyetor profilnya.

Dan saat kita memutuskan mengirimkan profil kepada pimpinan, beberapa kali kita dita'arufkan dengan ikhwan-ikhwan yang profilnya tidak 'sekeren' ikhwan yang ketahuan berniat meminang. Mereka hanya lulusan SMA, ada yang sarjana tapi masih pengangguran, ada pula yang sudah bekerja tapi gaji hanya seberapa. Mereka ini juga tidak kita kenal sebelumnya. Kita yang memimpikan suami aktivis dakwah ternyata juga tidak kita temukan pada sosok-sosok ini.

Sampai pilihan kita jatuh pada sosoknya, seseorang yang kita tidak menemukan alasan untuk menolaknya. Dia mungkin jauh dari angan kita, tapi, sekali lagi, kita tidak menemukan alasan yang dibenarkan agama untuk menolaknya. Pekerjaannya mungkin tak sekeren mereka yang terlambat meminang. Penghasilannya pun begitu. Dia juga bukan aktivis yang vocal di depan menyerukan dakwah, tetapi hanya warga ngaji biasa yang istiqomah mengamalkan hasil kajinya.

Tapi dialah pilihan kita. Dialah jawaban dalam shalat istikharah kita. Mungkin kita menilai, alangkah baiknya andai kita menikah dengan salah satu diantara mereka. Tetapi, Allah Maha Tahu yang terbaik bagi hamba-Nya. Dia menjodohkan hamba-Nya dengan sangat pas di waktu yang tepat.

Tentu adalah dilarang andaikan kita membatalkan pinangan yang telah disepakati hanya karena ada sosok lain yang dinilai lebih mapan. Rasulullah Saw juga bersabda, "Tidak boleh seseorang meminang atas pinangan saudaranya sehingga peminang sebelumnya itu meninggalkannya atau memberi ijin kepadanya." (HR. Ahmad, Bukhori, dan Nasai)

Dan sampailah kita pada hari pernikahan itu. Rupanya ujian keikhlasan belum berhenti sampai disini. Di hari bahagia itu, ada saja orang yang keceplosan memberitahu, jika sosok yang dinanti dalam diam itu ternyata juga punya niatan yang sama. Seperti mereka yang terlambat meminang.

Mendengar kenyataan ini, bagaimana reaksi kita? Bisa jadi keikhlasan kita bukan lagi sedikit goyah, melainkan sudah sangat-sangat goyah. Andai hati semakin dilingkupi syaitan, rasa ikhlaj menerima bagaimanapun keadaan pasangan bisa saja ambruk tak bersisa. Apalagi dalam perjalanannya sosok yang menjadi pasangan kita ternyata jauh dari yang diimpikan. Sementara ada banyak ikhwan lain yang sosoknya lebih "elok" dari pasangan kita, terpaksa mengurungkan niat meminang karena kita lebih dulu memantapkan pilihan.

Penyesalan mungkin menyelimuti. Andai kita tak buru-buru menetapkan pilihan. Andai kita sedikit menunda. Andai kita...

Ah, mengapa jadi berandai-andai? Padahal jika kita bijak menelaah ulang, kenapa kita mantab memilihnya? Siapa yang menjadikan hati kita yakin untuk menerimanya?

Semua karena Allah. Dia-lah yang kuasa menjodohkan hambaNya. Dia Maha Tahu yang terbaik bagi hambaNya. Mungkin kita menilai dia baik untuk kita, tetapi belum tentu menurut Allah. Allah berfirman yang artinya, "...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kami menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al Baqarah 216)

Karena jodoh itu bukan menurut angan kita, tetapi sesuai kehendakNya. Percayalah, tak ada jodoh yang keliru atau tertukar. Tak ada jodoh yang terlalu cepat atau terlambat. Karena Dia kuasa menjodohkan hambaNya dengan sangat pas di waktu yang tepat.

Sesungguhnya Allah hanya menguji keikhlasan kita, bagaimana jika dihadapkan pada keadaan seperti ini. Apakah kita akan tetap ikhlas, goyah atau malah kufur?

Tentu jawabannya adalah yang pertama. Karena bagaimanapun dialah pilihan kita. Bersamanya kita mantap membina rumah tangga. Dan yakinlah dengan pilihanNya. Jika kita memandang pasangan kita dengan kacamata ikhlas, insyaAllah Allah akan tunjukkan betapa pasangan kita sangat pas dan tepat bagi kita. Lewat perjalanan waktu, mata kita akan terbuka betapa dia yang terbaik bagi kita. Dia mampu melengkapi kekurangan kita, menyempurnakan kelebihan kita, sehingga kita bisa bersatu padu saling mendukung satu sama lain. Dan semoga karena perjodohan ini mengantarkan kita pada JannahNya.
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!