Tampilkan postingan dengan label Menghargai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Menghargai. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 13 Agustus 2016



Ya, ini yang harus diketahui dan dipahami oleh kita semua. Setiap anak terlahir dengan keunikan masing-masing termasuk tumbuh kembang tiap anak akan berbeda satu sama lain. Hanya sayang, terkadang orang selalu membandingkan kemampuan anak satu dengan yang lainnya.

"Loh, anakku saja sebelas bulan udah jalan, kok anakmu rambatan saja belum bisa?"

"Anakku aja setahun udah pinter ngomong, kok anakmu cuman panggil Mama aja belum bisa?"

Begitulah ketika mereka yang selalu membandingkan, seolah semua anak harus sama dengan anaknya. Ini pula yang sering saya alami. Betapapun keadaan anak saya, nyatanya juga tak luput dari "dibanding-bandingkan" dengan anak yang lain. Saya yakin, para bunda yang lain juga begitu. Iya, kan? Iya, kan? :D

Ya, saat anak pertama saya dulu, dia sebetulnya perkembangan motorik kasarnya terbilang cepat. Belum 3 bulan sudah tengkurap, tujuh setengah bulan sudah merangkak dan 11 bulan sudah jalan. Tapi kemampuan bicaranya yang sedikit lebih lambat. Ngecuis sih iya banget, tapi bahasanya pakai bahasa planet. Hahaha.

"Kok dia belum bisa ngomong sih? Cucuku saja sudah pintar ngomong," ada simbah yang berkomentar seperti ini. Padahal bedanya setahun lebih tua ketimbang anak saya lho. Hihihi. Ya, karena tingginya sepadan makanya dikira seumuran. :D

Nah, pas anak kedua saya ini kebalikannya. Perkembangan motorik kasarnya lebih lambat ketimbang kemampuan bicaranya. 

Di usia 8 bulan, dia pernah dapat pertanyaan begini, "Udah bisa merangkak ya?"

"Belum. Dia baru ndlosor-ndlosor (melata)," jawab saya santai.

"Loh, 8 bulan masa' belum merangkak?" tanyanya aneh lengkap dengan tawa yang terlihat meremehkan. Hihihi.

Pas lebaran kemarin, anak kedua saya juga dibandingkan dengan keponakan seumuran yang hanya beda 10 hari lebih tua ketimbang anak saya. Dia sudah minta ditetah kesana kemari tak mau berhenti. Sementara anak saya, 10 bulan baru bisa melata dan duduk saja. Hahaha.


"Padahal seumuran kan ya? Apa nggak dibiarin di lantai gitu biar dia merangkak sendiri?"

Iya. Saya malah membiarkan dia bermain di lantai. Sudah distimulus agar dia mau merangkak. Tapi dia tetap keukeuh: pilih melata saja! Itung-itung latihan militer. Hahaha. Dan sampai sekarang pun, usia 11m16d masih melata juga. Dia bisa berdiri sambil berpegangan saja masih dalam pantauan karena belum kuat benar pegangannya.

Apa saya risau soal ini? Baper karena kata-kata mereka? Hihihi, itu manusiawi ya. Sedikit mungkin iya. Wajarlah, naluri ibu. Tapi untungnya hanya bertahan sementara. Ya, nggak ada pentingnya juga kita tersinggung dengan kata-kata mereka yang asal keluar saja. Nah, biar tidak baper, ini sedikit tips dari saya.

1. Positive thingking

Boleh jadi mereka hanya nanya biasa, tapi kita terlalu bereaksi lebih. Seolah itu menyinggung hati kita, padahal cuman nanya. Jadi tetap berpikir positif sajalah.

2. Curhat dengan suami

Tempat curhat paling asyik ya suami kita. Saya biasa menjadikan guyonan kalau anak-anak saya dibanding-bandingkan orang. Suami sih nyantai, jadi saya ya tenang saja.

3. Sharing dengan teman-teman yang memahami kita

Saya biasa sharing dengan mahmud-mahmud yang mampu memahami perbedaan termasuk soal tumbuh kembang si kecil. Curhat dengan mereka lebih asyik.

4. Tetap memantau perkembangan si kecil

Meski sedikit lebih lambat ketimbang lainnya, ada baiknya kita harus terus memantau tumbuh kembang anak. Sekarang IDAI sudah meluncurkan aplikasi untuk memantau tumbuh kembang anak kan ya? Hanya sayangnya, kemarin saya download, aplikasinya nggak mau dibuka. Mungkin sistemnya belum fit benar kali ya, jadinya ngambek. :p

Selain itu, kita juga bisa baca buku tentang tumbuh kembang anak atau nyari referensi dari sumber yang jelas lewat mbah google. Dengan pembekalan pengetahuan ini, setidaknya kita bisa tenang karena tahu bahwa tumbuh kembang anak kita masih dalam kewajaran. Hanya sedikit lebih lambat saja jika dibanding dengan anak lainnya, tapi bukan berarti terlambat. :)

Minggu, 12 Juni 2016


Sumber gambar : dzulfikaralala.com

Kabar soal ibu penjual warteg yang dirazia oleh satpol PP di Serang, Banten, memang menyita perhatian publik khususnya netizens beberapa waktu belakangan ini. Sebetulnya, berita seperti ini bukan hal baru terjadi. Dalih untuk menghormati bulan puasa, beberapa daerah memang mengambil kebijakan, menghimbau atau bahkan sampai melarang para penjual warteg untuk tidak buka selama bulan puasa.

Saya tidak mau membahas lebih lanjut soal kasus ibu penjual warteg yang membuat heboh jagat sosial media ini. Fokus saya adalah pemahaman kita tentang arti menghormati dan menghargai.

Saya tanya sekarang. Apa dengan warteg tutup itu artinya sudah menghormati orang-orang yang berpuasa? Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak berpuasa?

Perlu kita tahu bahwa yang wajib berpuasa adalah orang-orang yang beriman, sebagaimana Allah firmankan dalam Qs. Al-Baqarah 183 yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Mereka yang tidak beriman (non muslim), jelas tidak termasuk dari orang yang wajib berpuasa. Karena tidak berpuasa, bagaimanapun mereka juga butuh makan. Mungkin ada banyak dari mereka yang tidak sempat memasak sendiri atau membawa bekal dari rumah. Bisa dibayangkan, jika mereka yang tidak wajib berpuasa ini seolah dipaksa untuk ikut berpuasa, dengan dalih untuk menghormati mereka yang berpuasa.

Saya jadi ingat saat teman kuliah saya yang non muslim mengeluh karena di jam 10 pagi dia belum sarapan lantaran warteg di belakang kampus, semua kompak tutup. Ah, inikah yang namanya menghormati? Kita menuntut dihormati, tapi bagaimana dengan mereka? Jika begini, bukankah ini gangguan namanya? Seolah Islam itu jahat, egois, intoleren dsb. 

Rasulullah Saw bersabda, "Mudahkanlah jangan mempersulit, gembirakanlah jangan menjadikan orang lari (takut), dan tenggang rasalah jangan berselisih (bertengkar)." (HR. Muslim juz 3, hal 1359)

Inilah indahnya Islam. Meski kita berpuasa, bukan lantas memaksa mereka yang tidak berpuasa untuk ikut "berpuasa". Puasa itu soal urusan kita dengan Allah. Betapapun kita melihat mereka menikmati makanan di warteg tak meruntuhkan niat kita berpuasa. Ya, karena bagimu agamamu, bagiku agamaku. 

Perlu kita tahu juga bahwa ada dari saudara-saudara kita yang muslim yang tidak berpuasa karena alasan yang dibenarkan agama. Siapa saja mereka? (Sumber: brosur kajian Ahad pagi, silahkan download disini)

1. Mereka yang boleh tidak berpuasa dan wajib mengganti di hari yang lain: orang yang sakit yang mana jika tetap berpuasa akan menambah berat atau memperlambat kesembuhan dan musafir. Allah berfirman yang artinya, "...Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain..." (QS. Al-Baqarah 184)

2. Mereka yang boleh tidak berpuasa dan hanya mengganti fidyah : wanita hamil, menyusui, orang lanjut usia, orang yang pekerjaan berat dan orang sakit menahun.

3. Mereka yang wajib tidak berpuasa dan wajib mengganti dengan puasa di hari lain : wanita haid atau nifas.

Selain ketiga orang diatas masih ada anak-anak yang belum baligh yang belum wajib berpuasa. Artinya, mereka yang tidak berpuasa bukan hanya yang non muslim saja. Mereka pun jelas juga butuh makan. 


Penjual nasi di pasar dekat tempat tinggal saya, dulunya pas bulan puasa semua akan libur, tidak jualan. Sejak ada warga ngaji--sebutan saudara sesama pengajian di tempat saya mengaji--yang memulai berjualan nasi saat bulan puasa, kini ada dua penjual nasi yang ikut berjualan juga. Mulanya, mereka yang jualan makanan ketika bulan puasa ini dianggap tidak elok. Tapi sekarang, orang tampak lebih bijaksana karena sadar betul jika ada dari mereka yang tidak puasa karena alasan yang dibenarkan agama. 

Penjual nasi di Pasar Paldaplang, Sragen, tetap berjualan di bulan puasa.

Seperti tahun lalu, saya juga terpaksa tidak berpuasa karena hamil. Awalnya saya kuat berpuasa, tapi setelah berbuka, tubuh saya justru rasanya gemetaran, kepala pusing jika berdiri, dan mata berkunang-kunang. Ini bahkan masih saya rasakan selama dua hari setelah saya tidak ikut berpuasa dan membayar fidyah. Terbayang repotnya saya andai penjual nasi di pasar libur jualan, bukan? Ya, karena saya hanya memasak pas sore hari. Berkat mereka, saya bisa membeli dua bungkus nasi untuk pagi dan siang, dan bubur untuk anak saya.

Pas kuliah dulu, saya dan teman saya yang sedang haid juga merasa lapar pas jam makan siang. Waktu itu, kami hendak pulang selepas menghadiri kajian di Kemlayan, Solo. Saat jalan keluar dari tempat kajian, kami tahu ada penjual mie ayam--warga ngaji juga--tengah mempersiapkan dagangannya setelah sebelumnya ditinggal mengikuti kajian. 

Saya saling pandang dengan teman saya. "Aku lapar..."

"Aku juga..." jawabnya. "Gimana kalau beli mie ayam itu saja, kan ada tendanya," lanjutnya.

"Nggak malu?" tanya saya.

"Kenapa malu? Toh, kita memang wajib tidak berpuasa dan kita lagi lapar," tegasnya.

Akhirnya kami makan disitu, karena jika kami makan di rumah, butuh waktu kurang lebih 1,5 jam lagi. Itupun bila di rumah ada makanan. Jika tidak ada?

Puasa untuk Mencari Ridha Allah, bukan Karena Manusia


Ada satu tulisan teman di Facebook yang cukup membuat saya ingin berkomentar lebih jauh. Bukan saya tidak menghormati pendapatnya. Tapi saya hanya menyampaikan apa yang menjadi pemahaman saya.

Dia berpendapat bahwa dengan semua warteg tutup, maka akan 'memaksa' mereka yang notabene orang Islam tapi ogah menjalankan kewajiban puasa, untuk ikut berpuasa. Contoh yang terjadi di Serang, Banten ini, karena disinyalir ada banyak orang Islam yang tidak menunaikan ibadah puasa mengingat Serang adalah Kota Santri.

Bahkan, penjual warteg yang nekat buka di siang hari saat bulan puasa ini disebut sebagai orang yang menolong kemungkaran. Ah, mungkin dia lupa, jika disana juga ada orang Islam yang tidak berpuasa karena alasan yang dibenarkan agama seperti yang saya sebut diatas. Andai ada banyak dari mereka, orang Islam KTP, yang tidak berpuasa tanpa sebab apapun, apa dengan menutup semua warteg adalah solusi agar mereka mau berpuasa?

Kita berpuasa karena mencari ridha Allah SWT. Jika hanya karena manusia, lalu dapatnya apa? Hanya lapar dan haus saja. Padahal tujuan berpuasa itu untuk mencapai takwa.

Jika dengan 'memaksa' mereka (baca: orang Islam KTP) ikut berpuasa--dengan menutup semua warteg--akan membuat mereka tersadar sehingga dengan kerelaan sendiri akan menunaikan ibadah puasa, betulkah  begitu? Bagaimana jika sebaliknya?

Islam itu lembut. Saya ibaratkan mereka yang Islam KTP ini bagaikan kaca yang berdebu. Jika kita mengelapnya dengan keras bahkan sampai mengetok-ngetok, kaca bisa saja pecah. Namanya juga Islam KTP, artinya pemahaman mereka masih sangat kurang tentang tuntunan Islam, maka tugas kita menyebarkan dakwah dengan kelembutan.

Allah berfirman yang artinya, "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu..." (Qs. Ali Imran 159)

Dalam Surat lain Allah juga berfirman yang artinya, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (Qs. An-Nahl 125)

Mari, bijaksanalah kita menyikapi perbedaan. Saya hanya berusaha menyampaikan apa yang menjadi pemahaman saya. Tak perlu diperdebatkan lebih lanjut. Saya harap, kita bisa saling menghargai perbedaan pendapat ini. Wallahu a'lam bishawab.
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!