Tampilkan postingan dengan label Hikmah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hikmah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 23 Juli 2017




Ini sudah ketiga kalinya aku melewati gang yang sama saat pertama kali belok dari Jalan Raya tadi. Motor matic warna putih yang kutunggangi melaju lambat. Kornea mataku mengitar kanan kiri, menyisir kembali rumah demi rumah yang dilalui. Hasilnya? Tetap saja nihil. 

Motor Vario itu terpaksa berhenti. Tepat di depan mushola tanpa halaman yang masih sepi. Tatapan penasaran beberapa orang yang duduk santai di emper rumah saat sore hari membuatku enggan untuk melanjutkan pencarian. 

Kutarik slayer motif batik itu hingga di bawah hidung. Ingatanku mencoba berkelana saat aku berangkat bersama suamiku--yang menaiki motornya sendiri--pagi tadi. Aku mendengus sebal. Jangankan rute jalan yang dilewati, bagaimana ciri rumahnya saja aku bahkan tak bisa mengingatnya. Ugh, payah!

Tanpa turun dari motor, tanganku merogoh smartphone dari saku jaket LDK yang kubiarkan resletingnya terbuka. Belum kugeser layarnya, sontak aku mendesis kesal. Apa-apaan ini? Istri mana yang nomor suaminya sampai tak ada di kontak hpnya? 

Beuh... Aku membuang napas frustasi. Kubenamkan wajah ovalku ke spidometer motor. Pasrah.

***

"Yakin? Nggak diantar ke kampus, Dek?" tanya suamiku saat motor kami  berhenti setelah keluar dari gang masuk kampung pagi tadi. Hanya sekadar memastikan lagi.

Aku menoleh ke arahnya. "Enggak usah, Mas. Aku udah biasa motoran sendiri kok. Mas nggak perlu khawatir," jawabku dengan senyum terkulum, meyakinkannya lagi. Aku tahu, ia mungkin khawatir jika aku sampai tersesat jalan. Tapi aku paham, ia juga punya kesibukan sendiri. Lagipula, toh arah kampus kami memang berlainan, tidak sejalur. 

Ya, kami baru saja menikah hari kemarin. Pernikahan yang kilat dengan proses se-ekspres mungkin. 

Seminggu lalu aku dibuat terhenyak saat Ustadz Burhan menelponku. Kata beliau, ada seseorang yang ingin ta'aruf denganku. Hari itu juga.

Aku kontan kelabakan. Usai jam mata kuliah jurnalisitik selesai, kugeber motor matic itu ke rumah ustadz Burhan di Solo Baru. Dari kampusku di Kentingan, hanya butuh waktu 20 menit untuk sampai ke sana.

Tanpa sempat membasuh muka atau sekadar membenahi jilbab, aku bertemu dengan lelaki itu. Aku tak peduli bagaimana penampilanku. Mungkin kulit langsatku diluluri debu dan asap kendaraan.

Pandanganku masih tertunduk. Jantungku berdetak tak karuan. Kaki dan jemari tanganku sedikit gemetar. Napasku seakan tertahan.

"Lihatlah dia, Azalea. Jangan menunduk terus. Saat begini, kamu boleh melihat calonnya," ucap Ustadz Burhan yang duduk di sebelah lelaki itu memecah kebekuan.

Aku menarik napas dalam. Kuberanikan untuk memandang lelaki yang duduk di sofa, tepat di depanku. Tatapan kami seketika bertemu. Seutas senyum tersungging dari sudut bibirnya. Aku balas dengan senyum malu-malu, lalu kembali menunduk agar rasa nervous itu tidak berlarut-larut menjalar di sekujur tubuh semampaiku. Entah mengapa, hanya sekali pandang hatiku langsung melumer. Mungkin warnanya sudah berubah menjadi merah jambu.

Aku tidak mengenal lelaki berjenggot tipis itu. Kata Ustadz Burhan, ia tahu saat melihatku muncul di televisi dakwah sebagai reporter yang mewawancarai jama'ah pengajian Ahad Pagi. Itulah kali pertama aku ditugaskan di sana setelah sebulan sebelumnya menjalani masa training. 

Namanya Wafi Alfiras. Dosen muda di Fakultas Ekonomi sebuah universitas Islam di Solo. Umurnya baru 27 tahun. Dari perawakannya, ia terlihat lebih muda dibanding usia aslinya. Kulitnya putih bersih, potongan rambut cepak dengan belah samping dan kemeja lengan pendek warna biru tosca dipadu dengan celana bahan warna hitam membuatnya sepintas seperti anak kuliahan.

Aku hanya diberi waktu empat hari untuk mempertimbangkan ta'arufnya. Ia memberiku segepok proposal berisi profil pribadi beserta visi misi saat menikah nanti. Sejak awal, hatiku sudah condong dengannya, apalagi setelah istiharah, keyakinan itu makin bertambah. Ya, aku memilihnya.

Dua hari kemudian ia beserta keluarganya dari Purwakarta melamarku. Dan secara mengejutkan, ayahku langsung menikahkan kami hari itu juga begitu tahu saksi dari pihak calon suami maupun istri sudah lengkap dan mahar juga sudah siap. Ayahku memang tegas soal ini, beliau tidak mau menunda-nunda untuk segera menghalalkan.

Karena kami sama-sama ada ujian semester esok hari, ba'da Isya ia langsung memboyongku menaiki maticku dari Sragen menuju rumahnya di Kartosura. Rencananya kami baru mendaftarkan pernikahan dua hari kemudian setelah sama-sama tidak ada jadwal ujian. 

"Dek..." Lelaki dengan motor Vixion warna merah itu membuyarkan lamunanku. "Semoga lancar ujiannya ya," katanya mengulang seperti yang sudah ia katakan di rumah tadi. 

Aku tersenyum, lalu mengangguk. "Semoga Mas juga," ucapku kepadanya. Ya, meskipun ia tidak ikut ujian, hanya sebagai dosen yang menjaga ujian.



Jalan dari arah barat tampak lengang.  Aku segera menaikkan gas motor setelah sebelumnya mengucap salam kepada suamiku. Matic kesayanganku lantas melenggang ke arah timur. Dari balik kaca spion, kulihat ia belum beranjak juga. Ia masih mengamatiku, seakan berat membiarkanku berangkat sendiri. 

***

Aku membuang napas melalui mulutku hingga memperlihatkan bibir tipisku agak maju ke depan. Kubenahi posisi dudukku agar tidak terasa pegal karena terlalu lama duduk. Kusandarkan tubuh kuyu itu ke dinding tembok teras mushola. Sesekali kulirik smartphone di tanganku. Belum juga ada balasan. Aku hanya bisa meninggalkan inbox di akun Facebook suamiku yang sudah meng-add friend seminggu yang lalu. 

Aku mendesah pelan. Sudah sejam aku duduk di sini. Mungkin tiga perempat jam lagi, mushola ini akan ramai dijejali jama'ah yang hendak menunaikan shalat Maghrib. 

Sepasang kaki dengan celana bahan warna hitam berdiri di sampingku. Aku perlahan mendongak, menelusuri tubuh tingginya hingga sampai ke wajah. Aku terpana. Iris mata meneduhkan itu masih menyiratkan segumul kekhawatiran di sana. Ada kelegaan dari gurat senyumnya. 

Ia duduk di sampingku. Tangan kokohnya meraih tanganku lembut. Digenggamnya jemariku erat. "Maaf ya, Dek. Aku seharusnya tidak membiarkanmu berangkat sendiri tadi pagi."

Aku masih mematung dengan perlakuan romantisnya. Senyumnya merekah. "Seharusnya kalimat pertama yang kutanyakan padamu selepas halal adalah menanyakan nomor hpmu, Dek Azalea."

Apa dia sedang mencoba becanda? Ah, benar. Momen romantis itu seketika buyar ketika kulihat lelaki di sampingku ini tengah menahan tawanya.

-selesai-

*cerpen ini dimuat di Majalah Al-Mar'ah edisi Juni 2017. Rubrik cerpen majalah ini cocok buat penulis pemula. Silahkan kirimkan cerpen bertema Islami. Panjang naskah sekitar 800 - 1000 kata. Kirimkan ke email muslimahmta@yahoo.com atau almarahsholihah@gmail.com. Jangan lupa sertakan nomor hp agar jika dimuat dapat kabar. 

*cerpen terinspirasi dari kisah saya sendiri : Uniknya Menikah Tanpa Pacaran

Selasa, 07 Februari 2017




Emang nggak enak ya jadi orang moody-an. Inilah yang terjadi pada saya beberapa waktu ini. Yep, saya mendadak terserang virus 'nggak mood' blogging entah karena alasan apa. Apa ada orang di luar sana yang kayak saya? Semoga saja tidak. Saya tidak berharap ada orang mendadak malas nge-blog tanpa alasan yang jelas. Hihihi.

Karena merasa nggak mood, saya memutuskan untuk rehat sebentar dari dunia perbloggingan. Hanya sebentar. Tapi yang terjadi malah terlalu kepanjangan. Bahkan di tahun 2017 ini saja, saya baru menulis tulisan nggak penting sarat curcolan nggak jelas macam ini.

Kenapa jadi malas blogging? Apa karena kekurangan ide? Hadeh, justru di otak saya sudah ngantre bejibun ide yang pingin dikeluarin tapi nggak kunjung dieksekusi. 

Selama satu setengah bulan ini, saya hampir nggak pernah ngintipin blog. Jangankan update blogpost, sekadar blogwalking pun saya malas.

Baca juga : Blogger yang Aneh

Pun begitu, ada rasa kerinduan yang membuncah ketika saya meliburkan diri dari dunia perbloggingan beberapa waktu. Saya rindu pada mereka, teman-teman blogger, meskipun hingga kini tak banyak yang saya kenal. Tapi jujur, saya rindu memberikan komentar saya untuk blogpost mereka sebagai bentuk silaturahim dan apresiasi dari tulisan mereka. Rasanya saya jadi enggan blogwalking jika blog saya sendiri nggak update. Ngerasa nggak enak saja kalau dia sampai berkunjung balik ke blog saya yang blogpost terakhirnya sudah kadaluarsa. Hahaha.

Semoga tulisan ini mengembalikan semangat saya untuk aktif ngeblog lagi. Hingga kini, saya memang belum berencana untuk monetize blog. Makanya, saya masih setia pakai blog gratisan. Saya merasa belum yakin bisa memberdayakan blog jika saya orangnya moody-an banget kayak gini. Ya, dijalani nyantai sajalah. Jangan terlalu terbebani. Nanti ndak malah tambah malas lagi untuk ngeblog. Iya kan? Iya kan?

Udah ah. Segini saja curcol gaje dari saya. Berharap tulisan ini jadi mood booster saya untuk segera update blog lagi. Semangkaaaaaaaa! :D

Senin, 12 Desember 2016




"Siapa ini yang jual?" tanya saya pada seorang anak laki-laki bertubuh mungil, 8 tahun, yang duduk di kursi berwarna putih di sebelah meja untuk jualan bakso bakar, sore itu. Saya tanya begitu karena saya pikir ada ayah atau kakaknya yang jualan. Dia hanya sekadar menunggu, pikir saya.

"Aku." jawabnya sambil berdiri. 

"Oh, kamu yang bakar sendiri?"

"Iya. Mau beli berapa?" tanyanya sembari mengibas-ngibas kipas agar arang kembali memerah. 

"Beli 5 ribu ya."

"Iya. Tunggu sebentar ya. Duduk dulu disini." Tangan mungilnya sigap menggeser kursi putih yang tadi didudukinya untuk didekatkan kepada saya.

"Emang ayah kamu kemana?" tanya saya setelah duduk sembari memangku si kakak yang ikut serta. 

"Lagi istirahat di rumah." Ya, saya tahu, ayahnya ini seharian jualan bakso bakar keliling dari kampung ke kampung dengan motornya. Jika dagangan belum habis, mereka akan gelar lapak di pinggir jalan raya dekat rumah saya. Biasanya yang nunggu anak-anaknya. Dan yang paling rajin adalah anak laki-laki bertubuh mungil yang hingga sekarang saya belum tahu namanya. Ba'da Maghrib, ayahnya yang akan menggantikan.

Hari mulai gelap. Angin berhembus kencang. Tangan mungil itu dengan kekuatan prima terus mengipasi bakso bakar dengan kipas anyaman bambu ukuran besar. Sembari menunggu, ia menyiapkan bungkus dari kertas minyak yang sudah dibentuk mengerucut. 

"Kamu kelas berapa?" 

"Kelas tiga."

Bakso bakar sudah matang. Diangkatnya lima tusuk bakso bakar itu lalu dilumuri saos kacang tanpa saos cabe sesuai permintaan saya di awal. "Makasih ya." ucapnya mengulas senyum. 

Pas di rumah, bakso bakar hasil kipasannya lumayan juga. Untuk anak sekecil itu sudah luar biasa. Saya sedikit maklum meski ada satu tusuk yang agak gosong. Ada pula satu tusuk lain yang isi baksonya lepas satu. Mungkin pas dibolak-balik di tempat bakar tadi ada yang jatuh. 

***

Pernah terpikir? Ibu macam apa yang tega meninggalkan anak semandiri ini hanya karena cinta pertamanya hadir kembali dalam hidupnya? Bahkan, ada sembilan anak lain yang juga ditinggalkannya? Anak terkecilnya malah, ketika ditinggalkan, masih usia batita (sekarang usianya sekitar 5-6 tahun).

Yang saya tidak habis pikir, kesepuluh anaknya sangat mandiri sekali. Mereka semua akrab. Jika orang tidak mengenal mereka, mungkin akan dikira teman sepermainan karena selisih usia berdekatan.



Saat siang hari, sepulang sekolah, mereka akan menjemput neneknya yang berjualan di pasar. Menjemput bergantian. Kadang kakak perempuan yang sudah remaja. Kadang berdua dengan kakak laki-lakinya yang entah nomor berapa. 

Sore hari, kakak perempuan yang sudah SMP naik motor dengan membawa bronjong berisi barang dagangan bakso bakar untuk dijajakan di pinggir jalan raya Sragen - Ngawi. Mereka sering berjualan bertiga. Terkadang hanya salah satunya.

Pernah satu ketika karena langit terlihat mendung, ia dan kakak laki-lakinya (yang sepertinya hanya selisih 2 tahun), terpaksa mengemasi barang dagangannya. Saya yang hendak membeli bakso bakar hanya bisa menelan ludah saat melihat mereka berdua berjalan kaki membawa tas berisikan bakso bakar ke arah jalan kampung. Manik mata saya terus mengamati mereka. Terutama anak laki-laki mungil itu.

Saya terpana. Tangan mungilnya tampak keberatan menenteng tas anyaman warna biru muda itu. Sesekali ia letakkan di jalan, istirahat. Lalu ganti tangan kirinya. Kakak laki-lakinya yang tubuhnya tidak sekurus adiknya, sigap menenteng satu tas anyaman dan satu box ukuran sedang.

Ah...lagi-lagi saya tak kuasa membayangkan, ibu macam apa yang sampai hati meninggalkan mereka yang bagi saya, sangat luar biasa. Meski saya tak mengenalnya, saat berpapasan di jalan, mereka--siapapun diantara mereka--akan menyapa saya atau sekadar melayangkan senyum. Kata tetangganya, mereka ini juga nrimo sekali dengan keadaan mereka. Apapun yang dimasak neneknya tetap lezat bagi mereka. Mereka akan menyantap makanan bagaimanapun lauknya. 


Sudah beberapa bulan ini mereka tak lagi jualan bakso bakar di pinggir jalan raya. Mungkin pasarannya kurang bagus. Padahal saya hanya beli bakso bakar milik ayahnya yang terjamin kehalalannya. 

Karena kurang laku, ayahnya kini berjualan bakso kuah keliling. Dalam hati saya berdoa, semoga dagangannya laku. Semoga Allah memberi kelancaran rezeki bagi mereka. Rezeki yang berkah karena ia harus menghidupi kesepuluh anaknya.

Anak pertamanya sudah lulus SMA. Mungkin usianya kini sudah 20 tahun. Entah kerja atau kuliah, saya kurang tahu pasti.

Semua anaknya ikut ayahnya. Dulunya mereka tinggal di Sumatra. Setelah ibunya lari dengan laki-laki lain--yang katanya cinta pertamanya--mereka pulang ke rumah neneknya di Sragen, Jawa Tengah, dekat tempat tinggal saya.



Ah, cinta pertama. Betapa banyak orang yang mudah terlena saat cinta pertama--yang dulu tak jodoh, hadir kembali dalam hidupnya.

Seperti si A, yang selingkuh dengan cinta pertamanya dan menjalani hubungan tanpa ikatan pernikahan. Bahkan si B, yang rela mendedikasikan rahimnya untuk dihuni janin hasil perzinaan dengan cinta pertamanya yang sudah menikah dengan yang lain. Katanya, untuk kenang-kenangan dan buah hatinya sebagai bukti cinta diantara mereka. Na'udzubillah min dzalik. Betapa cinta membutakan mereka. Cinta atas dasar nafsu. Cinta yang disisipi rayuan-rayuan syaitan. Dan mereka pun terlena hingga berbuat kemaksiatan.

Inilah mengapa cinta dalam pernikahan itu seharusnya tumbuh, bukan jatuh. Jika jatuh, maka benih cinta boleh jadi jatuh di tempat sembarangan. Mungkin ia tidak bisa tumbuh dan menjadi benih yang mengering. Mungkin juga bisa tumbuh, tapi tumbuh di lahan yang tidak tepat. Tanpa dirawat. Tumbuh sesukanya. Semaunya. Tidak ada aturan, kapan ia disiram, kapan ia dipupuk dsb. 

Lain jika pernikahan yang dijalani karena mengharap ridha Allah. Benih cinta akan tumbuh subur seiring perjalanan waktu karena terus dirawat dengan tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Sekalipun awalnya tak saling mengenal (karena mereka bukan penganut pacaran sebelum menikah), tapi ini tak menjadi soal. Karena Allah akan tumbuhkan cinta dan kasih sayang diantara mereka sebagaimana firman Allah SWT yang artinya, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (QS. Ar-Ruum 21)


Tanpa banyak kata, saya doakan, semoga anak-anak ini tumbuh menjadi anak yang shaleh dan shalehah. Mereka bisa menjaga akhlak mereka. Tetap berjiwa qana'ah. Teguh memegang prinsip. Dan tercapai cita-cita mereka. Amiin.

Senin, 21 November 2016


Siaran di box siar. Foto kiriman teman, karena foto siaran saya hilang semua gegara laptop minta diformat ulang sementara data belum sempat di-back up. :D

Mungkin banyak yang pingin jadi penyiar radio? Hihihi. Iya, profesi ini memang banyak diimpikan sebagian orang. Biar sering dianggap sebagai pekerjaan nggak jelas, batu loncatan atau bahkan gajinya cuman kecil tapi nggak dipungkiri kalau peminatnya lumayan banyak juga.

Terbukti saat stasiun radio tempat saya bekerja dulu, tiap kali membuka lowongan penyiar, pasti yang daftar segambreng. Sebelum siaran di radio dakwah di Solo, saya pernah juga melamar jadi penyiar di radio jaringan di kota lahir saya, Sragen, yang daftar pun juga puluhan. Padahal cuman diterima 2 penyiar doang. Hahaha. Bahkan sekelas radio kampus pun yang daftar juga banyak. 

Kenapa banyak orang kepingin jadi penyiar radio? Padahal kalau dilihat berapa gajinya mungkin tidak begitu besar dan bahkan tidak menentu karena hanya dihitung per jam siaran selama sebulan (beberapa stasiun radio punya kebijakan masing-masing. Kalau di radio saya, semua penyiar asal bukan penyiar trainee fee per jam-nya disamaratakan. Bedanya, tidak setiap penyiar punya jam mengudara sama. Ada yang jam on air-nya tinggi, ada pula yang siaran cuman 16 jam sebulan saja. Nah, yang jam siarnya sedikit inilah yang gajinya cuman sak umplik :D). 

Lalu kenapa peminatnya banyak? Beberapa alasan ini mungkin yang menjadikan profesi sebagai penyiar radio itu diminati banyak orang.

1. Eksis


Siapa sih yang nggak kepingin dikenal banyak orang? Mungkin hanya orang-orang introvert yang nggak ingin dikenal banyak orang (xixixi, bener nggak sih? :D). Paling enggak, nama kita dikenal seantero komplek lah. Heuheu.

Dan menjadi penyiar radio adalah salah satu cara agar kita dikenal banyak orang. Bahkan sekelas radio kampus yang siarannya hanya menjangkau hingga 5 km pun nyatanya bikin penyiarnya punya banyak fans. :D

Dulu ketika saya daftar jadi penyiar di radio kampus di Faperta UNS, saya tak menyangka jika nasib saya benar-benar berubah. Awal daftar sebetulnya hanya untuk melatih public speaking agar saya tidak grogi saat berbicara di depan. Tapi setelah beberapa waktu siaran, saya mulai menyukai bidang ini. Saya tak menampik jika saya saat itu juga sedikit keblinger dengan virus mendadak eksis.

Ya, saya yang hanya mahasiswi polos, pasif organisasi, anak rumahan, dan tidak banyak dikenal orang, tetiba berubah menjadi serasa 'artis'. Jika saya tidak siaran, pendengar yang rata-rata mahasiswa dan anak sekolahan, pada nyariin saya. Handphone saya yang tadinya sepi telpon dan sms (dulu belum ada WA, hahaha udah tua ya saya :D), tetiba mendadak jadi ramai. Bahkan saat tengah malam pun ada saja orang iseng yang main miss called. Fuihhhh...

Apalagi ketika saya siaran di radio dakwah di kota Solo. Nasib saya banyak yang berubah. 

Dulu, saat saya jalan berdua dengan teman saya, yang disapa pasti hanya dia seorang. Saya dicuekin. Padahal pernah sekelas. Hahaha.

Dulu, ketika teman-teman sekampus yang berasal dari SMA yang sama, jika ada kegiatan mereka diberitahu. Saya? Nggak pernah dikabari. Bahahaha.

Ngenes? Enggak. Saya tahu diri kalau (saat itu) saya memang nggak dikenal oleh banyak orang. Ohokohok.

Tapi, setelah saya jadi penyiar radio, mereka yang tadinya cuek dengan saya, kalau saya jalan, minimal senyum terulum dari bibir mereka. 

Teman-teman SMA yang saya pikir nggak tahu saya, eh ternyata mereka pada tahu saya. Saat saya beli aksesoris komputer, eh pemilik tokonya juga tahu saya. Saat saya angkat telpon di kantor majalah--tempat kerja saya yang lain, si penelpon langsung tahu saya. Bahkan saat saya mengenalkan diri hanya menyebut nama Isna, orang di seberang sms sana sudah langsung nyambung kalau itu Isna penyiar, padahal saya bilang dari redaksi majalah Respon. :D

Ini mungkin agak narsis. Tapi begitulah. Memang menjadi penyiar membuat kita (sedikit) eksis. Hanya satu pesan saya: jangan keblinger dengan keeksisan. :D


2. Kerjanya enak


Gimana nggak enak? Kerja cuman duduk di kursi siar, sambil ngomong, dapat duit. Pas nge-play musik atau iklan, kita bisa istirahat sejenak. Kadang leyeh-leyeh senderan di kursi putar sambil dengerin lagu nasyid (saya kan di radio dakwah) di headphone. Kadang online sebentar. Kadang sambil nyicil sarapan. Atau bahkan sampai tiduran sebentar di meja siar karena masih ngantuk--efek pagi-pagi siaran (hahaha, parah :D). 

Malah, di saat tengah siaran--karena lagi muter lagu, saya keluar sebentar dari box siar. Saat itu ada artis yang datang ke studio nengokin temannya. Saya diajakin partner siar saya buat foto bareng sebentar. Ngahaha, lebih parah kan? :p

Ruang siar radio Persada FM Solo, diambil dari ruang khusus narasumber yang tempatnya terpisah.

3. Menjadi Diperhitungkan


Iya, inilah yang juga saya rasakan. Dulu, mana ada orang yang ngelibatin saya untuk menjadi panitia dalam kegiatan? Nggak ada juga yang nawarin saya daftar organisasi kampus, entah BEM, entah rohis dsb. Padahal teman-teman saya ada yang daftar karena awalnya ditawari dulu. Kalau usul atau menyampaikan pendapat, saya juga lebih sering diketawakan karena suara saya saat itu malah kedengeran aneh saking ndredeg-nya. Hahaha. Overall, saya itu udah mirip kayak seorang figuran di sinetron yang sebenarnya menjadi bagian di dalamnya tapi perannya diabaikan penonton. Bahahaha.

Tapi semua perlakuan itu berubah drastis ketika saya jadi penyiar radio. Tiap kali ada kegiatan atau event-event tertentu baik yang digelar stasiun radio atau di luar itu, saya selalu dilibatkan dari awal hingga akhir. Bahkan tak jarang, saya yang awalnya hanya sekadar membantu justru malah jadi pemain inti karena ketua panitianya hanya eksis saat rapat saja. :D Saat saya usul, didengarkan bahkan langsung disetujui. Saya bahagia sebetulnya, tapi di balik itu ada rasa kecewa yang mendalam. Betapa banyak dari kita yang melihat dari covernya dulu: cover bagus berarti oke. Padahal belum tentu begitu bukan?

4. Banyak dapat gratisan


Bisa dibilang, saya untung banget jadi penyiar. Gimana enggak? Habis ngecuis siaran, ada pendengar datang bawain kacang rebus, kedelai rebus dan pisang rebus. Kadang tahu goreng, gulai kambing, cup cake, keripik dan aneka makanan lainnya. Kadang beli di warung yang mereka ini pendengar, nggak mau dibayar. Apalagi atasan di radio orangnya juga lomo banget. Kalau pas lagi ngumpul, "Yuk, kita makan disitu!" Atau pas habis acara--padahal saya dan teman-teman sudah kenyang makan prasmanan tamu--masih diajakin mampir kulineran.

Saat siaran bareng salah satu provider, dapat gratisan HP. Hanya becanda minta digratisi buku, ternyata beberapa waktu kemudian saya dikirimi buku. Dan entah mengapa, nomor saya sering dikirimi pulsa. Ada yang ngaku ngirim, tapi banyak juga yang enggak. Enak berlipat-lipat nggak tuh? Gaji sih cuman 200-300an ribu (ups, pura-pura nyeplos :p), tapi gratisannya banyak tak terkira. Wkwkwk.

Ini belum keitung kalau tiba-tiba saya diajakin salaman, nggak tahunya saya dikasih uang. Apa?! Nyogok? Bukan, cuman ngasih, dibalikin nggak mau. Akhirnya buat nraktir teman-teman radio. Ya, walau masih kurang, dan ujung-ujungnya yang diajakin yang nombokin. Ngahahaha.


5. Dapat tawaran kerja


Inilah mengapa profesi penyiar radio itu sering dijadikan sebagai batu loncatan. Ya, karena jadi penyiar radio itu menjadi nilai plus banget buat kita, terutama untuk mendapatkan pekerjaan lainnya. 

Saya ditawari jadi redaktur sebuah majalah dakwah juga karena saya penyiar dan tentu, karena mereka tahu saya juga bisa menulis (sebelumnya saya sudah lebih dulu bergabung menjadi tim redaksi lewat audisi). Karena tahu saya penyiar, saya sering jadi MC atau moderator di SMA saya dulu. Ada juga sekolah milik ibunya teman kenalan. 

Hanya sayangnya, saya tetap nggak enak kalau dibayarin. Merasa sini cuman apalah, karena belum bisa jadi MC atau moderator yang oke kayak teman-teman penyiar yang super duper lebih keren. Kalau diamplopin, biasanya saya kembalikan lagi. Kadang juga hanya dapat bingkisan parcel, tapi tetap saja saya ngerasa nggak enak nerimanya--walau tetap diterima. Ngahahaha.

Foto enam tahun lalu yang saya dapat karena di-tag pendengar di Facebook. :D

Gimana? Enak kan jadi penyiar radio? Hihihi. Tapi bagi saya, dikenal banyak orang justru membuat saya tidak nyaman. Gimana nggak nyaman? Orang tiap hari di-smsin pendengar. Kalau enggak balas, dia akan ngasih dalil, "jawab salam itu wajib lho." Padahal sehari dia bisa sms salam sampai lima kali bahkan lebih. Apa nggak terganggu tuh? Kadang diajak curhat, kalau nggak dibalas saya disebut sombong. Awalnya saya balas karena dia ini perempuan. Tapi kok ya lama-lama malah diajak curhat, bahkan curhat yang nggak penting. Kadang sudah malam pun ada saja yang masih sms atau telpon. Kalau di fb terkadang saya bisa kena unfriend, walau beberapa waktu kemudian dia add lagi. Hahaha.

Kadang kalau jalan di satu tempat, ada yang nyenyumin, karena merasa nggak kenal saya nggak balas tersenyum, saya bisa saja dicap anggak (bahasa Jawa) atau sombong. Lebih-lebih saya jadi penyiar di radio dakwah milik yayasan dakwah yang jumlah jamaahnya besar. Tingkah laku kita hingga gaya pakaian atau jilbab yang kita kenakan juga ikut disoroti. Bahkan hanya sekadar unggah foto kru yang putri ada di depan sementara kru putra di belakang saja dapat kritikan. Padahal biar kelihatan dekat, sebetulnya ada jarak sekitar satu meter lho. Hihihi.

Baca juga : Resign karena Panggikan Jiwa Menjadi Ibu

Sekarang saya sudah resign dan memilih menjadi ibu rumah tangga sejak pertengahan tahun 2012 lalu. Kini kehidupan saya kembali seperti saat saya belum menjadi penyiar radio. Saya hidup jauh dari orang-orang yang mengenal saya. Saya tak pernah lagi menjadi MC apalagi moderator. 

Kini, saya hanyalah emak erte biasa yang jarang kemana-mana. Pun begitu, saya justru menikmati kehidupan seperti ini. Serasa damai. Jika pergi ke satu tempat, saya tak perlu merasa bersalah ketika ada orang yang terlihat tersenyum ke arah saya. Ya, karena saya yakin, pasti dia tengah tersenyum kepada orang yang ada di belakang saya. Sama halnya yang sering saya alami saat belum jadi penyiar radio dulu.

So

Jadi penyiar radio itu enak nggak sih? Silahkan dijawab sendiri-sendiri. 

Lah?! Kok malah balik nanya? Ahaha ahihi. :D

Selasa, 06 September 2016



Beberapa waktu lalu saya posting tentang kabar ibu yang ketiga balitanya tewas terbakar saat ditinggal ibunya shalat dhuhur di masjid. Sesuai tebakan saya, ternyata banyak orang menyalahkan sang ibu. "Bukankah sebaik-baik shalat bagi wanita itu di rumah? Suaminya lagi nggak di rumah, kenapa pula nekat keluar rumah meski shalat jama'ah di masjid? Kenapa rumahnya harus dikunci? Kenapa pula ninggal kompor yang masih nyala?" Dan suara-suara senada yang memojokkan si ibu. (Baca : Karena Anak Kita, Titipan dari-Nya)

Ah, sudah. Cukup. Andaikan kita menjadi si ibu itu, yang sudah kehilangan ketiga balitanya, bagaimana rasanya ketika orang yang melayat justru terus menghakiminya? Iya, mungkin ia teledor. Iya, mungkin ia lengah. Tapi manusia memang tempat khilaf dan lupa. Tidak ada ibu yang sengaja menyakiti anaknya. Kalau toh ada, jangan sebut mereka ibu.

Bahkan ketika di media sosial ada penggalangan dana untuk ibu ini, banyak facebooker yang menyalahkan sang ibu. Ada pula yang tega menyebutnya syiah. Ah, manusia. Betapa kita sibuk mencari kesalahan orang lain sedang kita merasa sudah paling baik sendiri. Na'udzubillah min dzalik. Semoga kita bukan orang seperti ini.

Baca juga : Merasa Lebih Suci

Salah satu teman facebook saya juga membeberkan kisahnya ketika putri kecilnya meninggal karena tersedak. Orang-orang yang melayat sibuk bertanya ini itu, mengapa bisa terjadi. Mereka pun enteng saja berkomentar, "Kenapa tidak ditepuk punggungnya?" Karena sebelumnya si kecil diajak piknik ke pantai, ada juga yang berkomentar, "Kenapa juga diajak jalan-jalan ke pantai? Jadinya masuk angin kan?"

Mereka seakan lupa dengan takdir Allah. Tidak ada yang tahu kapan kematian akan menjemput. Andai kita tahu, tentu kita akan tetap berada di rumah, menjaga anak-anak kita. Tapi kita hanyalah Makhluk-Nya yang tidak akan pernah tahu yang terjadi untuk nanti, esok, lusa, atau mendatang.

Hanyasanya, terkadang manusia sibuk mencari penyebab yang tanpa sadar seperti menyalahkan ibunya karena dinilai abai mengurus buah hatinya. Kenapa kita tidak menjadi pribadi bijaksana? Memilih menjadi pribadi seperti ini tentu jauh lebih menentramkan ketimbang kita sibuk mencampuri urusan orang lain.

Lalu bagaimana menjadi pribadi yang bijaksana?

Pertama, berusaha memahami keadaan. 

Ada teman berkisah, di malam saat buah hatinya meninggal, seorang kerabat jauh yang kesasar, menelpon menanyakan dimana rumahnya. Padahal sang ibu baru saja menata hatinya selepas sejam yang lalu putri kecilnya meninggal dunia. Andai ia paham keadaan, tentu ia akan menelpon saudara atau kerabat lain yang tahu rumahnya, bukan? Kita terlihat peduli, dengan datang melayat malam itu juga, tapi kita mengabaikan bagaimana keadaan mereka yang tengah berduka.

Kedua, mengertilah dengan perasaannya.

Memang benar, mungkin balitanya meninggal karena keteledoran sang ibu. Tapi menghakiminya ketika ia sendiri baru dirundung duka, tentu kurang bijaksana. Percayalah, sang ibu sudah pasti akan menyesal dengan keteledorannya. Saya yakin, ia akan mengambil hikmah di balik musibah ini.

Alangkah bijaksananya jika kita menghibur, menguatkannya. Semoga ia bisa sabar dengan musibah ini.

Ketiga, berprasangka baik.

Seperti dialami ibu yang ketiga balitanya tewas karena terbakar usai ditinggal shalat dhuhur ke masjid. Betul memang, sebaik-baik masjid bagi seorang wanita itu di rumah. Tapi shalat berjama'ah di masjid bagi wanita juga tidak dilarang. Boleh jadi si ibu punya alasan lain, mengapa ia lebih memilih shalat berjama'ah di masjid. Mungkin anaknya memang terbiasa tidur lama saat siang hari, dan si ibu biasa meninggalkan mereka shalat dhuhur di masjid. Mungkin juga karena sekalian mau ada urusan lain. Atau memang suaminya sendiri mengijinkan istrinya shalat di masjid karena di rumah hanya shalat sendirian.

Kita tidak tahu apa yang sebetulnya terjadi, yang kita tahu hanya sebatas berita dari media. Boleh jadi ada hal yang luput oleh media, atau bisa jadi juga isinya ada yang tidak sesuai dengan kenyataan. Wallahu'alam. Alangkah bijaknya, jika kita berprasangka baik kepada sang ibu tersebut. Allah berfirman yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain..." (QS. Al-Hujurat 12)

Keempat, lebih baik diam, tidak ikut berkomentar lebih jauh jika belum tahu faktanya.

Beberapa waktu lalu, ada teman yang membagikan berita penculikan dari salah seorang pengguna facebook. Karena saya tak akan asal membagikan tanpa cari tahu lebih lanjut, saya kunjungi kronologinya. Saya baca komentar yang masuk. Ada seorang ibu yang langsung menyuruh untuk segera lapor ke polisi ketimbang curhat di facebook. Dia menyampaikannya dengan kalimat penegasan dan berulang. Padahal di komentar awal, si ibu muda ini sudah menjelaskan bahwa dia sudah melapor ke pihak polisi.

Betul memang, statusnya dalam dua hari terakhir hanya berisi berita penculikan anaknya. Kalau disebut curhat juga tidak keliru. Tapi, andai kita berada di posisinya yang kehilangan putri kecilnya karena diculik orang, mungkin usaha apapun akan kita lakukan termasuk terus mengunggah foto si kecil dan penculiknya--yang ternyata masih kerabat. Ya, kali saja ada orang yang tahu.

Tapi, umumnya manusia ya seperti ini. Belum tahu faktanya seperti apa, kita sudah sibuk mengomentari begini dan begitu, menyebut ini dan itu. Ah, bukankah diam di saat seperti ini adalah lebih baik?

Kelima, kroscek boleh, tapi tahu tempat dan kapan waktu yang tepat.

Tentu tidak etis ketika kita berusaha mencari tahu lebih jauh saat yang ditanyai adalah ibunya sendiri yang baru menata hati untuk ikhlas dengan kehilangan balitanya. Mungkin kita ingin kroscek lebih jauh kebenaran ceritanya. Namanya juga naluri manusia yang kepingin tahu.

Jika begini, ada baiknya kita kroscek kepada saudara atau kerabatnya yang lain yang bisa dipercaya tanpa menyinggung perasaan atau menyudutkan keluarganya. Pun begitu, sekali lagi, memilih diam tentu jauh lebih baik.


Keenam, mendoakan dan menyemangatinya agar tetap bersabar.


Ya, ketimbang kita kepo tanya ini, tanya itu, kenapa begini, kenapa begitu, lebih baik kita mendoakan semoga ia mendapat tempat terbaik di sisi-Nya, dan kelak bisa dipertemukan kembali dengan Ayah Ibunya. Yang anaknya diculik juga semoga lekas ketemu dan kumpul kembali dengan keluarganya. Doa yang tulus, apapun itu. Agar mereka kuat, kita terus memotivasi, menyemangatinya. Sehingga mereka yang diuji tetap bersabar dengan musibah yang menimpa mereka.

Bukankah lebih menentramkan jika kita menjadi pribadi yang bijaksana ketika mereka tengah diuji musibah? Ketimbang sibuk mencampuri urusan orang lain yang terkadang tanpa kita sadari justru menyinggung perasaan mereka, kenapa tidak kita memilih bersikap bijaksana? Ya, menjadi pribadi yang bijaksana. Semoga kita termasuk orang seperti ini.

Minggu, 03 Juli 2016



Hari Raya Idul Fitri tinggal sebentar lagi. Inilah hari yang paling dinantikan oleh umat Islam di penjuru dunia. Setelah sebulan berpuasa, diuji dengan haus dan lapar, lengkap dengan ujian-ujian lain yang menyertainya, umat Islam di hari nan fitri itu merayakan kemenangan.

Tampaknya kebahagiaan itu tak selalu mengekor usai menunaikan shalat Idul Fitri. Sudah jadi budaya, selepas shalat I'd, kita akan bersilaturahim dari tetangga ke tetangga, kerabat ke kerabat. Kita pun saling berkumpul bersama sanak saudara dari keluarga besar. Di sinilah sesungguhnya hati kita diuji. Terutama saat menghadapi serbuan pertanyaan dari mereka yang kepo dengan keadaan kita.

Semisal, "Kapan nikah?", bagi mereka yang jomblo. Atau, untuk mereka yang belum dikaruniai momongan akan ditanyai, "Udah isi belum nih?".

Buat mereka mungkin terasa ringan, tapi belum tentu bagi yang ditanyai. Boleh jadi itu terasa getir, apalagi saat kerabat lain mulai nyerocos asal, "Nunggu apa lagi sih? Entar keburu jadi perawan tua lho!" Atau, "Kok lama amat sih? Nggak pintar bikin anak suamimu itu." Bahkan, ada yang lebih kepo akut, "Emang udah periksa belum sih? Siapa yang masalah?"

Siapa yang nggak baper ketika diuji dengan pertanyaan ini? Mungkin hanya segempil saja. Tidak semua bisa tegar dengan rentetan pertanyaan, yang bahkan kita tidak tahu jawabannya.

Betapapun kita menggugah mereka dengan nasihat bijak atau sampai memelas, "tolong mengertilah". Bagi mereka, kepo tetaplah kepo. Ya, karena penasaran mereka sudah tingkat stadium lanjut hingga tak menyadari jika pertanyaannya amat menyinggung perasaan. 

Untuk itulah, kita lah yang harus menyiapkan hati dan pikiran yang lapang saat serbuan pertanyaan dilayangkan kepada kita. Ada beberapa alasan, mengapa kita tak boleh baper dengan rentetan pertanyaan itu.

Pertama, memang dasarnya mereka yang kepo. 


Naluri manusia itu memang selalu penasaran, khususnya dengan hidup orang lain. Jujur ya, saya pun terkadang ingin tahu alasan mengapa mereka belum dikaruniai momongan. Apa jangan-jangan karena gaya hidupnya yang tidak sehat. Atau karena sebab lain. Ya, meski itu hanya sebatas di batin. Perbedaan mereka dengan kita, mungkin karena kita lebih memahami perasaan pada yang ditanyai. Makanya nggak ikutan nanya rese ini-itu yang justru malah menyinggung perasaan. Karena mereka ini golongan kepo akut yang ceplas-ceplos bicara, nggak heran mereka menganggap enteng-enteng saja saat nanya ini nanya itu, komentar begini komentar begitu.


Kedua, apapun keadaan kita akan selalu dikepoin. 


Apa dikira setelah menikah, mereka nggak akan nanya-nanya yang bikin baper lagi? Setelah nikah ya otomatis mereka akan nanya, "Udah isi belum?" Betapapun sudah nikah lima tahun, belum juga dikarunia momongan, ada saja yang nanya polos kayak gini, "Lama banget? Emang sengaja nunda atau apa sih?" Saya yang emak berbocil dua begini, juga bakalan jadi sasaran tanya, "Udah bisa apa? Hah, masa' delapan bulan belum merangkak juga? Padahal anaknya si A sudah bisa trantanan?" Hihihi.

Ketiga, terlalu ke-GR-an. 


Kadang ya, kita gampang baper karena terlalu kegedean rasa. Mereka memang tulus nanya, "Kapan nikah?" Tapi reaksi kita malah berlebihan. Hanya terlihat seperti sedang memandang aneh ke kita saja, kita sudah menyana-nyana nggak jelas, "Pfff, kok aku dilihatin aneh kayak gitu? Apa karena aku lama belum punya anak?" Padahal bisa jadi mereka memandang obyek yang lain, makanya pandangannya aneh. Atau jangan-jangan karena kita sendiri yang merasa aneh? Jadi, jangan terlalu ke-GR-an. 

Keempat, banyak teman senasib. 


Nggak usah sakit hati kalau kita ditanya ini itu. Anggap saja kita selebritis. Hahaha. Lagian ya, banyak kok teman senasib di luar sana. Bahkan, betapapun keadaan kita nyaris tak ada yang perlu dikepoin, masih ada saja yang dikorek-korekin. Termasuk saya juga. Dulu pas anak pertama, mereka kepo dan coba bandingin tumbuh kembang anak dengan anak yang lain. "Kok, belum bisa bicara sih?" Ya, karena kemampuan motorik kasarnya yang lebih dulu maju, sebelas bulan sudah bisa jalan. "Itu anaknya si fulanah saja sudah lancar bicara, kok anakmu ngomong nggak jelas gitu?" Lah? Padahal lebih tua setahun dari anak saya, hahaha. 

Sekarang, anak saya yang nomor dua sudah sepuluh bulan, belum bisa berdiri, baru sebatas berdiri sambil pegangan. Itupun belum kuat benar. Apalagi dia nggak mau merangkak, tapi melata. Hahaha. Nah, pas momen kumpul lebaran, saya harus siap jika para bianger kepo itu pada nanya aneh, "Kok, belum merangkak juga? Masa' sepuluh bulan baru bisa ndlosor-ndlosor gitu? Padahal anakku saja lima bulan udah bisa begitu lho!" Tuh, kan? Saya pun senasib dengan kamu, mblo! :D

Untuk itulah, nggak usah dibikin baper gitu deh ah! Perlu bekal hati seluas samudra dan pikiran selonggar jalan Jakarta (pas ditinggal mudik), untuk ngadepin serbuan pertanyaan mereka. Dan kita harus menangkal balik serangan mereka agar mereka jadi malas nanya rese lagi. Gimana caranya?

1. Dibikin nyantai sajalah

Kalau seumpama mereka kepo, kapan nikah? Jawab saja, "Kok nanya kapan sih? Aku aja nggak tahu. Bantu cariin gimana?" Atau kalau mau yang lebih suit lagi, jawab saja begini, "Di jam, hari, tanggal dan tahun yang masih dirahasiakan oleh Allah. Doakan ya, semoga segera ketemu. Atau, mau bantu nyarikan? Biar aku lekas ketemu jodohku."

2. Minta didoain

Setiap mereka nanya, udah isi belum. Jawab saja, "Belum nih. Doain ya. Semoga segera isi." Lah, mereka komentar sok tahu gitu? Ya, balas saja, "Waduh, aku no comment aja deh. Yang penting doanya." Sambil melipir cuek, berburu makanan di meja. Hihihi.

3. Disenyumin

Setelah minta doa, disenyumin saja lah mereka. Senyum tulus selebar daun jati atau sepanjang daun pisang. Biar mereka jadi cles gitu, sampai nggak tahu mau nanya apa, saking terkesima dengan senyum kita. Wkwkwk, emang senyum manjur untuk melelehkan biangers kepo? :D Hihi, yang jelas, nggak rugi kalau kita tersenyum. Sabda Nabi Saw, senyum itu sedekah. :)

4. Kalau perlu dijelasin dengan ilmu

Ini penting, khususnya untuk para emak saat ditanya tumbuh kembang si kecil. Kalau mereka coba bandingin dengan anak lain, jawab saja dengan ilmu yang kita ketahui. Apalagi kalau yang dibandingkan beda umur, kan nggak lumrah. Kalau seandainya ada yang nanya, "Kok anakmu kurus gitu? Itu kurang gizi. Emang minumnya apaan? ASI doang? Kurang berarti. Tambahin sufor gitu kek!" Di saat begini, kemampuan sebagai emak-emak pro ASI diuji. Nah, jawaban sesuai ilmu adalah yang paling tepat untuk menangkis serangan mereka. Tapi, tetap yang santun ya. Kalem saja, nggak perlu pakai nyolot kayak mereka. Hihi.

Semoga membantu ya. Yang jelas kalau kita menyikapinya dengan positif insyaAllah nggak akan nyesek di hati kok. Ya, walau saya akui, ini bukanlah hal yang mudah. Demi kesehatan hati dan pikiran, tetaplah berprasangka baik. Anggap saja, mereka kepo karena peduli. Biar nyesek, yang penting nggak bikin misek-misek. Hihi.

Saya pribadi merasa terbantu, karena kehadiran dan dukungan suami. Dulu sebelum dikaruniai baby, mereka kepo nanya. Suami yang jawab nyantai, "Belum. Doain ya." Kalau sekarang, mereka kepo tumbuh kembang si kecil. Kadang diketawain. Saya biasa meredamkannya dengan dibuat lucu-lucuan sama suami. Kalau kamu? :)

Rabu, 25 Mei 2016




Mungkin sebutan itu pantas disematkan kepada saya. Iya, aneh. Saking anehnya, sampai detik ini saya merasa belum pantas menyebut diri sebagai blogger. Hihihi. 

Saya itu sebetulnya sudah nge-blog dari tahun 2008 lho! Blog pertama yang saya bikin juga di blogspot, entah dulu namanya apa. Tak lama kemudian, saya niru teman sesama penyiar, bikin blog gratisan yang dari Multiply. Setahun asyik di MP--sebutan tenarnya kala itu--saya bikin blog dari blogspot lagi dengan nama dunia maya yang aneh itu. Coba cek deh di blog ini

Tak puas kalau hanya punya satu blog, saya bikin blog di wordpress. Kacaunya, saya juga nekat membuat blog-blog lain untuk komunitas yang hendak dibentuk saya dan teman-teman.

Saya juga pernah jadi admin kedua di situs milik radio, menggantikan teman saya karena merasa dia tidak terlalu ngeh dengan dunia per-situs-an (#apasih). Saya juga pernah jadi kontributor di situs ini.

Dengan pengalaman saya di dunia perbloggingan ini seharusnya saya bisa menjelma jadi blogger sukses ya. Kalau ditekuni, mungkin pengunjungnya sudah lebih puluhan atau ratusan (ngayal boleh ya? :p).

Tapi, dasar saya yang suka mendua, mentiga, menempat (#eh). Bukannya ditekuni malah suka kelayapan kemana-mana. Alhasil, ya saya cuman disini-sini saja. 

Apalagi setelah saya resign tahun 2012 silam. Praktis saya vakum dari dunia perbloggingan karena saya harus tinggal di rumah, jauh dari sinyal hotspot. Pakai modem? Internetnya sering lemot. Pakai HP? Jujur, kala itu saya belum mampu beli smartphone, paling hanya nebeng punyanya suami (kok, jadi curcol? :D).

Baru tahun 2014 lalu saya bikin blog lagi dengan nama baru. Itupun miskin postingan karena kesibukan ngurus si kecil. Nah, sejak dua bulan lalu saya mulai sedikit rajin posting tulisan yang sebetulnya sudah saya lempar dulu di Facebook. 

Setelah aktif kembali, saya jadi tahu ada banyak komunitas blogger di sini. Blogwalking ke blognya blogger-blogger lain membuat saya jadi mupeng sendiri. Pengunjung mereka sudah ratusan ribu bahkan lebih dari sejuta.

Dalam hati saya menyesali, "Ah, andai dari dulu saya tekuni blog saya..." Tapi tak ada gunanya menyesal berkepanjangan. Saya harus merintis dari bawah lagi. Toh, mereka dulu juga mendaki dari bawah. Ya, kan? Ya, kan? :D

Nah, ini dia yang lucu. Lama vakum ngeblog membuat saya benar-benar harus belajar ilmu perbloggingan dari nol lagi. Sampai nyari template saja, saya nggak kepikiran harus sowan mbah google. Saya hanya melirik template bawaan dari blogspot yang macamnya hanya terbatas. Awalnya saya bertanya-tanya sendiri, "Perasaan dulu banyak pilihan template-nya, kok sekarang cuman segini?" Ya, pantes! Orang dulu saya nyari di situs lain yang menyediakan template gratis. Hahaha.

Gelinya lagi saat saya kebingungan nyari google followers. Berkali-kali saya nguplek-nguplek kolom 'tambahkan gadget' nggak ketemu juga. Sampai saya pasrah sendiri, mungkin sekarang sudah nggak ada kali, batin saya. Akhirnya secara kebetulan saya nemu artikel yang ngasih tahu dimana letak google friend connect ini. Setelah tahu, saya jadi tepok jidat sendiri. Ah, betapa dodolnya saya. Kenapa nggak kepikiran nge-klik ke "gadget lainnya" sih? Hadehhh...

Blogwalking


Setelah baca banyak artikel bagaimana meningkatkan jumlah pengunjung, salah satunya adalah blogwalking. Saya sudah lakukan itu jauh-jauh hari, tapi tetap nggak ngaruh buat perkembangan blog saya. Ya iya lah, orang saya cuman jadi silent reader. Hahaha. Saya hobi membaca artikel yang panjang, tapi jarang banget ninggalin komentar. Bukannya pelit, tapi bingung saja kalau harus komentar apa, kecuali jika saya punya kisah serupa.

Saya juga tipikal orang yang tidak suka basa-basi, apalagi SKSD. Bagi saya, akan merasa bersalah banget jika saya ninggalin komentar hanya sekadar untuk mencari imbalan dikunjungi balik. Artikel yang dikunjungi juga hanya dibaca judul, atau paling banter hanya paragraf pertama. Saya tidak mau menjadi orang seperti ini. 

Bagaimanapun mereka sudah susah-susah menulis untuk menyampaikan pesan kepada kita. Maka seyogyanya, hargailah karya mereka dengan membacanya secara tuntas. Paling tidak 75 % bagiannya sudah kita baca, andaikan kita tidak sempat membaca penuh.

Memang, adanya komentar, khususnya yang baik, menjadi penyemangat tersendiri bagi si penulis. Tapi jauh dari itu, saya percaya, dia akan lebih bahagia ketika apa yang ia tulis memberi inspirasi bagi pembacanya. 

Saya pribadi tidak berharap muluk-muluk. Tujuan saya meningkatkan jumlah pengunjung adalah agar apa yang saya tulis dapat menjangkau lebih banyak orang yang membaca. Soal yang lainnya, saya pikir, itu hanyalah bonus dari kerja keras kita.

Terakhir, tanpa banyak kata, semangat nge-blog wae lah! :)

Minggu, 22 Mei 2016




Tanpa disadari, terkadang kita dihinggapi perasaan seperti ini: merasa lebih suci. Kita sibuk menilai orang lain, bahkan sampai kadar taqwanya, sementara keburukan sendiri luput dari perhatian.

Ya, karena kita merasa lebih suci dari mereka!

Pernah satu ketika saya jalan dengan dua teman kuliah, satu tidak (belum) berjilbab, dan satu berjilbab mini. Saat itu ada kerabat yang melihat, dia langsung komentar begini, "Itu temanmu kok pada kayak gitu?" Tahu, kan maksudnya apa?

Ah, memangnya kenapa jika saya juga berteman dengan mereka? Orang mungkin akan sibuk menilai dengan dia yang tidak berjilbab, atau sudah berjilbab tapi masih mini. Tapi tidak tahukah mereka? Meski belum berjilbab, dia sangat lugu sekali. Dia tetap menjaga pergaulan dari lawan jenis. Dan seringkali saya diajak diskusi soal agama.

Saya tahu, dalam berteman, kita harus mencari kawan yang bisa mengarahkan pada kebaikan. Saya punya sahabat-sahabat seperti ini, mereka adalah sahabat dekat saya. Tetapi saya juga berteman baik dengan mereka yang belum berhijrah. Karena dengan beginilah, saya bisa berdakwah dengan mereka. Walaupun dakwah ala saya adalah dengan contoh dan sharing secara tidak langsung, lengkap dengan gaya saya yang sedikit kacau itu. Hehe.

Hanya sayangnya, banyak dari kita 'terhunus' oleh perasaan lebih suci. Kita merasa lebih suci dari mereka yang tidak berjilbab atau berjilbab tapi masih mini. Kita lupa bahwa mereka hanya belum berjilbab sesuai syariah seperti kita. Boleh jadi karena mereka belum paham, atau sudah paham tapi masih bimbang. Tanpa kita tahu, sebetulnya mereka tengah berproses menuju ke arah sana (sesuai tuntunan Islam).

Saya contohkan dari kisahnya seorang akhwat yang kerja di dekat kantor saya dulu. Ketika itu jilbabnya mini dan tipis. Orang mungkin akan sibuk nyinyir di belakang, "Itu kok ngerekrut karyawan yang jilbabnya mini?" Ya, karena dia juga bekerja di salah satu unit usaha yang dimiliki oleh yayasan dakwah, tempat saya mengaji.

Tapi tahukah mereka jika dia tengah berproses? Dia rajin ikut Tahsin. Dia semangat sekali belajar Tahsin. Bahkan saya saja kalah semangat darinya. Beberapa kali dia ketahuan tengah mengamati saya (hahaha, boleh ke-GR-an dikit ya? Karena dia bukan ikhwan, gak pa-pa, #ngek :D). Saya tebak, dia penasaran dengan gaya berjilbab saya yang tipis tapi 'didobeli' pakai jilbab tebal di dalamnya. Ya, karena saya sering dapat pertanyaan kayak gini.

Beberapa minggu kemudian, dia melebarkan jilbab tipisnya yang 'didobeli' dengan jilbab tebal di dalamnya. Dari belakang kamera, diam-diam saya tersenyum simpul. Dalam hati saya mengucap syukur dan berdoa agar dia istiqomah.

Maka, jangan kita merasa suci, teman. Allah berfirman yang artinya, "...janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa." (QS. An-Najm 32).
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!