Beberapa waktu lalu saya posting tentang kabar ibu yang ketiga balitanya tewas terbakar saat ditinggal ibunya shalat dhuhur di masjid. Sesuai tebakan saya, ternyata banyak orang menyalahkan sang ibu. "Bukankah sebaik-baik shalat bagi wanita itu di rumah? Suaminya lagi nggak di rumah, kenapa pula nekat keluar rumah meski shalat jama'ah di masjid? Kenapa rumahnya harus dikunci? Kenapa pula ninggal kompor yang masih nyala?" Dan suara-suara senada yang memojokkan si ibu. (Baca : Karena Anak Kita, Titipan dari-Nya)
Ah, sudah. Cukup. Andaikan kita menjadi si ibu itu, yang sudah kehilangan ketiga balitanya, bagaimana rasanya ketika orang yang melayat justru terus menghakiminya? Iya, mungkin ia teledor. Iya, mungkin ia lengah. Tapi manusia memang tempat khilaf dan lupa. Tidak ada ibu yang sengaja menyakiti anaknya. Kalau toh ada, jangan sebut mereka ibu.
Bahkan ketika di media sosial ada penggalangan dana untuk ibu ini, banyak facebooker yang menyalahkan sang ibu. Ada pula yang tega menyebutnya syiah. Ah, manusia. Betapa kita sibuk mencari kesalahan orang lain sedang kita merasa sudah paling baik sendiri. Na'udzubillah min dzalik. Semoga kita bukan orang seperti ini.
Baca juga : Merasa Lebih Suci
Salah satu teman facebook saya juga membeberkan kisahnya ketika putri kecilnya meninggal karena tersedak. Orang-orang yang melayat sibuk bertanya ini itu, mengapa bisa terjadi. Mereka pun enteng saja berkomentar, "Kenapa tidak ditepuk punggungnya?" Karena sebelumnya si kecil diajak piknik ke pantai, ada juga yang berkomentar, "Kenapa juga diajak jalan-jalan ke pantai? Jadinya masuk angin kan?"
Mereka seakan lupa dengan takdir Allah. Tidak ada yang tahu kapan kematian akan menjemput. Andai kita tahu, tentu kita akan tetap berada di rumah, menjaga anak-anak kita. Tapi kita hanyalah Makhluk-Nya yang tidak akan pernah tahu yang terjadi untuk nanti, esok, lusa, atau mendatang.
Hanyasanya, terkadang manusia sibuk mencari penyebab yang tanpa sadar seperti menyalahkan ibunya karena dinilai abai mengurus buah hatinya. Kenapa kita tidak menjadi pribadi bijaksana? Memilih menjadi pribadi seperti ini tentu jauh lebih menentramkan ketimbang kita sibuk mencampuri urusan orang lain.
Lalu bagaimana menjadi pribadi yang bijaksana?
Pertama, berusaha memahami keadaan.
Ada teman berkisah, di malam saat buah hatinya meninggal, seorang kerabat jauh yang kesasar, menelpon menanyakan dimana rumahnya. Padahal sang ibu baru saja menata hatinya selepas sejam yang lalu putri kecilnya meninggal dunia. Andai ia paham keadaan, tentu ia akan menelpon saudara atau kerabat lain yang tahu rumahnya, bukan? Kita terlihat peduli, dengan datang melayat malam itu juga, tapi kita mengabaikan bagaimana keadaan mereka yang tengah berduka.
Kedua, mengertilah dengan perasaannya.
Memang benar, mungkin balitanya meninggal karena keteledoran sang ibu. Tapi menghakiminya ketika ia sendiri baru dirundung duka, tentu kurang bijaksana. Percayalah, sang ibu sudah pasti akan menyesal dengan keteledorannya. Saya yakin, ia akan mengambil hikmah di balik musibah ini.
Alangkah bijaksananya jika kita menghibur, menguatkannya. Semoga ia bisa sabar dengan musibah ini.
Ketiga, berprasangka baik.
Seperti dialami ibu yang ketiga balitanya tewas karena terbakar usai ditinggal shalat dhuhur ke masjid. Betul memang, sebaik-baik masjid bagi seorang wanita itu di rumah. Tapi shalat berjama'ah di masjid bagi wanita juga tidak dilarang. Boleh jadi si ibu punya alasan lain, mengapa ia lebih memilih shalat berjama'ah di masjid. Mungkin anaknya memang terbiasa tidur lama saat siang hari, dan si ibu biasa meninggalkan mereka shalat dhuhur di masjid. Mungkin juga karena sekalian mau ada urusan lain. Atau memang suaminya sendiri mengijinkan istrinya shalat di masjid karena di rumah hanya shalat sendirian.
Kita tidak tahu apa yang sebetulnya terjadi, yang kita tahu hanya sebatas berita dari media. Boleh jadi ada hal yang luput oleh media, atau bisa jadi juga isinya ada yang tidak sesuai dengan kenyataan. Wallahu'alam. Alangkah bijaknya, jika kita berprasangka baik kepada sang ibu tersebut. Allah berfirman yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain..." (QS. Al-Hujurat 12)
Keempat, lebih baik diam, tidak ikut berkomentar lebih jauh jika belum tahu faktanya.
Beberapa waktu lalu, ada teman yang membagikan berita penculikan dari salah seorang pengguna facebook. Karena saya tak akan asal membagikan tanpa cari tahu lebih lanjut, saya kunjungi kronologinya. Saya baca komentar yang masuk. Ada seorang ibu yang langsung menyuruh untuk segera lapor ke polisi ketimbang curhat di facebook. Dia menyampaikannya dengan kalimat penegasan dan berulang. Padahal di komentar awal, si ibu muda ini sudah menjelaskan bahwa dia sudah melapor ke pihak polisi.
Betul memang, statusnya dalam dua hari terakhir hanya berisi berita penculikan anaknya. Kalau disebut curhat juga tidak keliru. Tapi, andai kita berada di posisinya yang kehilangan putri kecilnya karena diculik orang, mungkin usaha apapun akan kita lakukan termasuk terus mengunggah foto si kecil dan penculiknya--yang ternyata masih kerabat. Ya, kali saja ada orang yang tahu.
Tapi, umumnya manusia ya seperti ini. Belum tahu faktanya seperti apa, kita sudah sibuk mengomentari begini dan begitu, menyebut ini dan itu. Ah, bukankah diam di saat seperti ini adalah lebih baik?
Kelima, kroscek boleh, tapi tahu tempat dan kapan waktu yang tepat.
Tentu tidak etis ketika kita berusaha mencari tahu lebih jauh saat yang ditanyai adalah ibunya sendiri yang baru menata hati untuk ikhlas dengan kehilangan balitanya. Mungkin kita ingin kroscek lebih jauh kebenaran ceritanya. Namanya juga naluri manusia yang kepingin tahu.
Jika begini, ada baiknya kita kroscek kepada saudara atau kerabatnya yang lain yang bisa dipercaya tanpa menyinggung perasaan atau menyudutkan keluarganya. Pun begitu, sekali lagi, memilih diam tentu jauh lebih baik.
Keenam, mendoakan dan menyemangatinya agar tetap bersabar.
Ya, ketimbang kita kepo tanya ini, tanya itu, kenapa begini, kenapa begitu, lebih baik kita mendoakan semoga ia mendapat tempat terbaik di sisi-Nya, dan kelak bisa dipertemukan kembali dengan Ayah Ibunya. Yang anaknya diculik juga semoga lekas ketemu dan kumpul kembali dengan keluarganya. Doa yang tulus, apapun itu. Agar mereka kuat, kita terus memotivasi, menyemangatinya. Sehingga mereka yang diuji tetap bersabar dengan musibah yang menimpa mereka.
Bukankah lebih menentramkan jika kita menjadi pribadi yang bijaksana ketika mereka tengah diuji musibah? Ketimbang sibuk mencampuri urusan orang lain yang terkadang tanpa kita sadari justru menyinggung perasaan mereka, kenapa tidak kita memilih bersikap bijaksana? Ya, menjadi pribadi yang bijaksana. Semoga kita termasuk orang seperti ini.
Betul mbak....
BalasHapusAbsolutely agree Mbak, kadang suka miris sama orang yang sotoy ikutan komentar tapi bikin runyam. Btw, blogpostnya sama g plusnya udah tak add yah :)
BalasHapusHihi, makasih sudah difollow mbak. Langsung cus follow back ya... :)
Hapussetuju mbak
BalasHapusmeskipun sulit...tapi hrs di coba unt kebaikan kita sendiri ya mbak
Betul, mbak. Berkawan dengan orang seperti ini juga menentramkan. :)
HapusBijak itu emang cuma milik orang yg berhati baik, mba. Semoga kita termasuk itu. Iya, ada kalanya tanpa "ditumplekin", orang itu juga udah tau kok dia bikin salah, dia lalai. Misal ada anak yg sakit abis dikasih es. Si ibu juga udah tau kok, nggak akan biarin anak makan es lagi, tanpa harus dikotbahin, "Makanya .."
BalasHapusIya, mbak Nit. Semoga kita termasuk orang yang bijaksana. :)
HapusArtikel yg bermanfaat buat direnungkan. Aku suka sedih kalau dengar orang asal komentar tentang musibah atau kemalangan yg menimpa orang lain. Seolah-olah paling tahu segalanya. Giliran diri sendiri ditimpa kesusahan, mencak-mencak kalau dikomentari orang lain. Mbok ya jangan cari benarnya sendiri.
BalasHapusItu dia mbak. Yang namanya takdir kan kita nggak tahu. Kok malah manusia jadi sok tahu. :)
Hapussetuju mbak. lebih baik diam dulu. terlihat seperti orang kuper ga apa, yang lebih utama lisan terjaga.
BalasHapusNah, betul itu, mbak. Ketimbang ngomong tapi malah nyinggung kan lebih baik diem. Walo bagi emak itu nggak mudah ya mbak. :)
HapusKadang kita suka lupa berkaca pada diri sendiri, dan mudah melihat kesalahan orang lain. Saya baru minggu lalu meninggalkan anak saya yang paling besar di rumah sendirian, karena dia dipaksa juga nggak mau ikut, untuk pergi ke mini market walaupun sebentar. Dan setelah baca berita ini, saya lemes luar biasa. Nggak lagi2 lain kali deh, mending ditunda aja perginya.
BalasHapusIyup, mbak... Semoga kita nggak seperti itu ya, mbak. :)
HapusBiar si anak berani sendirian di rumah, sebagai ibu kita tetap ada was-was juga ya, mbak. Apalagi dengan adanya kejadian ini. :)
memang susah banget menjadi pribadi yang bijaksana yah Mba, sayapun kadang masih suka berprasangka buruk pada orang lain, hiks :(
BalasHapusItu manusiawi mbak. Saya pun juga kadang begitu. :)
Hapusga ngerti perasaannya di mana kalo ada yg malah nyalahin si ibu saat sedang berduka cita gitu... :(.. apa dipikir si ibu ga ngerasa sakit yg teramat sangat ya kehilangan 3 buah hati sekaligus... setuju dgn semua poin di atas mbak... kalo buatku pribadi ya, lbh bgs diam drpd bicara yg menyakitkan hati..
BalasHapusItulah mbak. Semoga kita bukan seperti itu. :)
Hapussusah susah gampang mau jadi bijaksana itu :(
BalasHapusapalagi kalo cuma dalam lisan duh gampangnya selangit, tapi kalo udah ke tindakan kadang banyak khilafnya >.<
Sama mbak Yusi. Saya juga banyak khilafnya banget. Kita hanya bisa berusaha menjadi yang lebih baik dari sebelumnya. :)
Hapus